Beberapa jam setelah meninggalkan rumah, langkah Rea terasa seperti menyeret beban berat. Pusing yang ia rasakan bukan hanya karena sakit kepala, tetapi juga karena beban emosional. Ia berjalan linglung menuju gerbang kampus.
Bruk!
Rea tersandung sesuatu, dan tumpukan buku yang ia dekap jatuh berserakan di aspal. Ia hampir kehilangan keseimbangan jika saja sebuah lengan tidak dengan sigap menahan tubuhnya.
“Rea! Kamu melamun, ya?”
Jeremy, dengan wajah khawatir, memegang bahunya. Rea sedikit tersentak, lalu tersenyum tipis.
"Aku baik-baik saja, Jem. Terima kasih," jawab Rea, suaranya parau. Ia segera berjongkok untuk memunguti buku-bukunya yang tercecer, dibantu oleh Jeremy.
"Maaf jadi merepotkanmu lagi," lirih Rea saat mereka berdiri.
Jeremy balas tersenyum, lalu tanpa ragu, ia meletakkan telapak tangannya di dahi Rea. Tindakan yang begitu mendadak itu membuat Rea mematung.
"Ya ampun, badanmu panas sekali. Kamu demam," kata Jeremy terkejut.
"Cuma pusing biasa. Nanti juga hilang," Rea mencoba meremehkan.
"Tidak bisa. Kamu harus pulang dan istirahat. Atau kita ke rumah sakit sekarang? Aku bisa mengantarmu, aku punya waktu luang," ajak Jeremy, menunjuk motornya.
"Ke rumah sakit saja, Jem," Rea akhirnya setuju, senyum getir menghiasi wajahnya. Ia sempat melirik ke jalanan, sebuah kebiasaan otomatis, berharap melihat Azelio menjemputnya. Tapi seperti biasa, suaminya tidak ada.
Mereka tiba di rumah sakit. Saat berjalan di koridor menuju ruang pemeriksaan, ponsel Jeremy berdering keras.
"Rea, kamu jalan duluan saja ke meja registrasi. Mama telepon," pinta Jeremy, menunjukkan nama Mama Azura di layar.
Rea mengangguk pelan, melanjutkan langkahnya. Namun, ia tidak menuju meja registrasi. Langkahnya melambat, lalu terhenti total di sebuah persimpangan koridor. Matanya tertuju pada lorong di sebelah kanan, yang mengarah ke kamar Emira.
"Ada apa, Ma?" Jeremy berbisik ke ponselnya, khawatir.
"Kamu di mana? Dengan siapa?" tanya Mama Azura, cemas.
"Di rumah sakit, Ma. Rea sakit, jadi aku bawa periksa. Maaf kalau aku telat pulang." Jeremy melihat ke depan, namun Rea sudah menghilang. Ke mana dia secepat ini?
"Mama telepon cuma mau kasih tahu... Emira sudah sadar, Jem. Baru saja Abangmu menelepon Mama. Tolong jaga Rea baik-baik, jangan sampai Abangmu tahu dia ada di sana."
Mendengar itu, mata Jeremy membelalak. Bang Zilo ada di sini? Dan Emira sadar?
Setelah telepon terputus, Jeremy segera berlari, mencari Rea. Firasatnya menuntunnya ke lorong kamar Emira.
Rea berdiri di samping ranjang Emira. Rea sedang menggenggam lembut tangan Emira yang terbalut infus.
“Kak Emi… maafkan Rea. Maafkan Rea sudah menikah dengan Kak Zilo. Bukan niat Rea merebutnya,” lirih Rea, air matanya mulai menetes. "Tante Luna benar, aku tidak pantas berada di keluarga ini. Seharusnya aku yang di sini, Kak. Seharusnya aku yang kena sial..."
Tangisnya pecah. Ia teringat kembali hari insiden itu. Mereka berdua hendak menyeberang zebra cross ketika mobil itu melaju kencang. Emira mendorongnya sekuat tenaga, dan Emira yang tertabrak. Sejak saat itu, Rea dicap pembawa sial oleh semua orang yang menyayangi Emira.
“Karena aku, Kakak jadi begini. Aku memang tidak berguna. Maafkan aku, Kak. Kalau Kakak bangun, Rea janji akan pergi. Pergi jauh dari kalian, supaya Kakak bisa kembali bersama Kak Zilo,” Rea menyeka air matanya dan menghela napas. "Kumohon, bangunlah sekarang."
Ia terdiam sejenak. Sebelum pergi, Rea melihat selang pernapasan Emira sedikit terlilit di sisi ranjang. Ia mendekat, hendak meluruskannya.
Tiba-tiba, sebuah tangan kokoh mendorong bahunya dengan keras.
"Apa yang kau lakukan?!"
Teriakan marah itu membuat Rea menjerit kaget, tubuhnya nyaris mencium lantai. Azelio berdiri di ambang pintu, matanya menyala penuh amarah, lebih menakutkan dari malam pengantin mereka.
"Kamu mau menghabisinya, kan?! Sudah kubilang jangan dekati dia! Dasar ibllis!" bentak Azelio.
Rea menggeleng cepat. "Tidak, Kak! Aku tidak... Selangnya terlilit, jadi aku..."
Ucapan Rea terhenti. Azelio mencengkeram rahangnya kuat-kuat, memaksa Rea mendongak dan menatap mata Azelio yang penuh kebencian.
"Membela diri?! Aku melihatnya sendiri! Tanganmu sudah mendekati wajahnya! Pergi! Keluar dari sini, sekarang!" Azelio melepaskan cengkeramannya, lalu menunjuk pintu dengan tangan gemetar.
Hati Rea mencelos. Pria yang seharusnya melindunginya, kini menuduhnya sebagai pembunuh dan mencekalnya. Rea tidak sanggup menatapnya lagi. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berbalik dan berlari sekuat tenaga.
Ia terus berlari tanpa tujuan, hingga akhirnya menabrak Jeremy di koridor utama.
“Rea! Ya ampun! Kenapa kamu menangis?! Siapa yang berani menyakitimu?” tanya Jeremy, diliputi panik melihat air mata Rea yang tumpah deras.
Jeremy merengkuh bahunya. Begitu dipeluk, semua kesedihan, rasa sakit, dan rasa bersalah yang Rea tahan selama ini tumpah ruah. Ia menangis terisak dalam pelukan adik iparnya.
Kenapa aku dibenci? Apa karena aku memang... pembawa sial?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Yus Nita
duplikat kang zander si Azelio, padahal Bapak nykang koeson..
sama2 farah mafia
2025-10-02
0