BAYANGAN YANG HIDUP

Bayangan itu bergoyang, lalu merayap keluar dari rak buku, menelan cahaya senter seolah menolak keberadaan terang. Sosok samar itu tinggi, dengan lengan panjang seperti ranting kering. Wajahnya kabur, tapi dua titik gelap seperti mata menatap lurus ke arah Lisa.

“...Lisaaa…” suara itu menyeret, lebih jelas, seperti bisikan tepat di telinga.

Lisa mundur setapak, tubuhnya kaku. Ada dorongan aneh di dadanya, seakan sesuatu di dalam dirinya menjawab panggilan itu.

“Lis!” Ethan mengguncang bahunya. “Dengar aku. Jangan tatap terlalu lama!”

Sara menarik lengan Lisa, panik. “Kita harus pergi sekarang! Aku serius, Ethan, ini gila!”

Namun bayangan itu melangkah maju. Lantai kayu berderit di setiap pijakannya meski kakinya tidak menyentuh lantai. Cahaya senter Ethan bergetar, tak mampu menembus kegelapan yang menempel di sosok itu.

Lisa menggenggam jurnal erat. Jari-jarinya kaku, seakan buku itu menempel di tangannya. Simbol-simbol di halaman bergetar samar, seperti tinta hidup.

“Aku… aku nggak bisa melepaskannya,” suara Lisa serak.

Ethan menatapnya cemas. “Buku itu terhubung denganmu. Tarik napas! Fokus ke dirimu, bukan padanya!”

Sara menatap keduanya tak percaya. “Apa kalian dengar diri kalian? Itu—itu makhluk apa?! Kita harus kabur!”

Bayangan itu mendesis, suara seperti udara pecah. Lengan panjangnya terentang, mengarah ke Lisa.

Refleks, Lisa mengangkat tangannya. Dan sesuatu terjadi—bayangan di belakangnya terulur, menabrak sosok itu, seperti perisai hitam. Dentuman halus terdengar, rak buku di samping mereka berguncang, beberapa buku jatuh menimpa lantai.

Lisa terengah, keringat dingin membasahi pelipisnya. Rambut cokelat panjangnya menempel di wajah karena lembap. “Aku… aku melakukannya lagi…”

Ethan menatap lebar, takjub sekaligus takut. Pria tinggi dengan rambut hitam berantakan dan kacamata tipis itu jarang sekali kehilangan kata. Tapi kali ini ia hanya bisa bergumam, “Kau melawan balik. Kau… mengendalikan bayangan itu.”

Sara, dengan rambut cokelat gelap sebahu yang kini kusut karena panik, memeluk kepalanya. “Oke, oke, aku jelas nggak cukup dibayar buat jadi teman masa kecil kalian!”

Sosok hitam itu mundur sedikit, tubuhnya bergoyang seolah terpecah. Tapi tak lama, ia kembali menyatu, lalu mendesis lebih keras.

“Lis… ikut…”

Suara itu bergema, membuat lampu gantung tua berayun hebat.

Lisa terhuyung. Ia merasakan kepalanya penuh bisikan, ribuan suara kecil yang memanggil namanya. Simbol-simbol dari jurnal berkelebat di kepalanya, seakan ia pernah membaca semuanya sebelumnya.

Ethan meraih tangannya. “Jangan dengarkan. Itu bukan panggilan. Itu jebakan.”

Lisa menggigit bibir, berusaha fokus. Bayangan di lantai bergetar, mengikuti emosi campur aduknya.

Sara akhirnya maju selangkah, meski tubuhnya gemetar. “Kalau kita diem aja di sini, kita mati. Lis, lepaskan bukunya! Lempar, bakar, apa saja!”

Lisa menggeleng keras. “Aku… aku tidak bisa. Seperti menempel. Kalau aku paksakan, rasanya tanganku akan ikut terkoyak.”

Sara menelan ludah, wajahnya pucat. “Astaga…”

Bayangan itu tiba-tiba melesat. Lengan panjangnya menghantam udara, menghantam rak. Bunyi besi berderak, debu beterbangan. Buku-buku jatuh berhamburan, menimbulkan suara memekakkan telinga.

Refleks, Ethan menarik Lisa ke samping, sementara Sara menjerit dan menunduk.

Cahaya senter jatuh, berguling di lantai, menciptakan sorotan liar yang membuat bayangan terlihat lebih besar, lebih mengancam.

Lisa mengangkat kedua tangannya lagi. Bayangan di lantai menegang, lalu meledak keluar seperti cambuk gelap, menghantam sosok itu. Suara seperti kain robek memenuhi ruangan.

Makhluk itu terhuyung, tubuhnya retak-retak, lalu buyar menjadi kabut hitam. Kabut itu berputar, melayang ke langit-langit, lalu lenyap ke celah gelap di antara rak.

Hening.

Suara napas bertiga saling bertubrukan di udara.

Lisa jatuh berlutut, masih menggenggam jurnal. Tangannya bergetar hebat. “Apa… apa yang baru saja terjadi?”

Ethan berjongkok di sampingnya. “Bayangan itu nyata. Dan kau, Lis… kau bisa melawannya. Kau bisa memanggil bayanganmu sendiri.”

Sara masih di sudut, memegangi dada, wajahnya pucat pasi. “Oke. Jadi sekarang kita resmi gila bertiga. Karena aku barusan lihat Lisa jadi… jadi penyihir bayangan!”

Lisa menutup wajahnya dengan satu tangan, gemetar. “Aku nggak minta ini. Aku nggak pernah minta ini…”

Ethan menepuk bahunya pelan. “Tapi ini sudah terjadi. Kau dipanggil, Lis. Buku itu… memilihmu.”

Sebelum Lisa sempat menjawab, suara derit terdengar. Rak di belakang Sara bergerak sendiri.

Sara menoleh, lalu berteriak. Bayangan yang sama keluar lagi, kali ini lebih padat, hitam pekat. Lengan panjangnya melesat cepat, melilit tubuh Sara seperti asap pekat.

“SARA!” Lisa menjerit.

Sara berusaha meronta, wajahnya merah karena sulit bernapas. “Lis! Lepas—kan—!”

Ethan berlari ke arah Sara, menarik tubuhnya, tapi tangannya menembus asap. Bayangan itu dingin, menyengat, seperti es cair yang hidup.

Lisa berdiri, seluruh tubuhnya bergetar. “Jangan… jangan ambil dia!”

Tanpa sadar, bayangan di lantai mengikuti gerakannya. Dari bawah kakinya, bayangan naik seperti akar pohon, membentuk tangan hitam yang meraih ke arah sosok itu. Dengan teriakan, Lisa menghempaskannya.

Benturan bayangan melawan bayangan terdengar seperti dua benda logam dipukul. Sosok itu terlempar, Sara terlepas dan jatuh terhuyung ke lantai.

Ethan segera memeluk Sara, memastikan ia bernapas. “Kau baik-baik saja?”

Sara terengah, keringat membasahi wajahnya. “ukhuk....ukhuk... Aku… aku benci kalian… aku benci tempat ini…” Tapi ia tetap menggenggam tangan Ethan, tidak mau lepas.

Lisa menatap tangannya sendiri, terengah. “Apa… yang terjadi denganku?”

Bayangan musuh itu kembali menyatu, meski kini lebih rapuh, tubuhnya retak di sana-sini. Ia mendesis terakhir kali, menatap Lisa.

“Ditandai… kau ditandai…”

Lalu ia buyar menjadi debu hitam yang lenyap ke langit-langit, meninggalkan ruangan dalam keheningan mencekam.

Lisa jatuh terduduk. Cahaya senter yang masih terguling menyorot wajahnya yang pucat. Rambutnya berantakan, matanya berkaca-kaca.

Ethan meraih pundaknya. “Kau melindungi kita. Kau… kuat, Lis.”

Sara masih terengah, tapi suaranya pelan. “Kuat? Kau lihat apa yang terjadi barusan? Kalau makhluk itu datang lagi, dia bisa—dia bisa benar-benar membunuh kita.”

Lisa menatap telapak tangannya. Samar, garis hitam muncul, membentuk lingkaran patah—simbol dari sampul buku. Ia menutup cepat, jantungnya berdegup liar.

“Ini bukan berakhir,” katanya dengan suara nyaris berbisik. “Ini baru permulaan.”

Ethan menatapnya serius. “Ya. Dan kita harus memutuskan apa yang akan kita lakukan. Bersama-sama.”

Sara menoleh, matanya masih basah. “Aku benci harus bilang… tapi aku nggak bisa biarkan kalian berdua jalan sendiri. Kalau aku nggak ikut, siapa lagi yang bakal mengingatkan kalian kalau kalian sudah benar-benar gila?”

Lisa tersenyum samar, lega meski masih gemetar. “Terima kasih… Sar.”

Kabut di luar jendela makin menekan, menempel seperti tirai hidup. Di dalam ruangan, udara tetap berat, seolah perpustakaan itu sendiri menahan napas, menunggu langkah berikutnya.

Lisa menggenggam jurnal erat, simbol di tangannya berdenyut samar. Ia tahu—apa pun yang telah memanggilnya malam ini, tidak akan berhenti sampai ia menjawab.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!