Lisa mengangkat kepalanya, menatapnya balik. “Justru itu alasannya aku harus melihat.”
Sara mengangkat tangan tinggi-tinggi. “Baiklah. Aku ikut. Tapi kalau salah satu dari kalian kerasukan, jangan salahkan aku kalau aku kabur duluan untuk panggil bantuan.”
Lisa memberi senyum tipis. “Terima kasih atas dukunganmu.”
Mereka bertiga menuruni tangga sempit menuju ruang arsip. Tangga kayunya berderit di setiap pijakan, seperti memprotes kehadiran mereka. Udara semakin dingin, menusuk tulang.
Lampu bohlam tunggal di langit-langit menyala redup, berayun pelan meski tak ada angin. Rak-rak besi berderet di ruangan luas itu, penuh buku berdebu dan kotak karton tua.
Di sudut lantai, sebuah buku tebal bersampul kulit cokelat tergeletak. Kait besinya terbuka, seolah ada tangan tak terlihat yang baru saja melepaskannya.
Lisa mendekat perlahan, senter di tangannya bergetar. Simbol lingkaran dengan garis patah tergores samar di kulit yang retak. Ia mengenali simbol itu—sama persis dengan yang ia gambar di catatannya sejak kecil.
Napasnya tersengal.
“Lis, jangan,” suara Ethan menahan. “Jangan disentuh.”
Lisa berlutut, menyorot sampul. Jemarinya bergetar, tapi ia tidak bisa menahan diri. “Kalau ini yang memanggilku sejak tadi siang… aku tidak bisa lari.”
Sara berdiri dua langkah di belakang, wajahnya pucat. “Aku nggak suka ini. Sama sekali nggak suka.”
Lisa meraih buku itu. Begitu ujung jarinya menyentuh kulit sampul, hawa dingin menyengat. Kait berkarat berbunyi klik, terbuka sendiri. Halaman berwarna kuning tua terbuka, penuh tulisan tangan berantakan.
Tulisan tinta pudar itu dipenuhi simbol: garis patah, lingkaran, tanda silang. Beberapa halaman bahkan penuh coretan mirip mantra.
“Ya Tuhan…” Lisa berbisik. “Aku pernah lihat ini. Di mimpiku.”
Ethan berjongkok di sampingnya, wajahnya menegang. “Itu jurnal Cormac. Kolektor legenda Eldridge. Dia hilang lima tahun lalu. Ada yang bilang… ditelan kabut.”
Sara mengangkat tangan, frustrasi. “Ditelen kabut? Kalian dengar diri kalian? Ini gila.”
Lisa menelusuri halaman dengan jari.
Kata-kata samar terbaca: bayangan hidup… pintu… darah…. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena dingin.
Tiba-tiba aroma besi samar tercium—bau darah? Lisa tersentak, menutup hidung. “Kau cium itu?”
Ethan ikut terkejut. “Ya.”
Sara menggeleng. “Aku cuma cium debu. Kalian berdua pasti kebanyakan baca horor.”
Kenangan masa kecil tiba-tiba muncul—saat ia bersembunyi di balik rak bersama Ethan dan Sara, tertawa menahan napas agar tidak ditemukan. Dulu, perpustakaan adalah tempat aman. Sekarang, tempat ini terasa seperti jebakan.
Udara tiba-tiba berguncang. Bohlam di langit-langit berkelip, lalu padam. Gelap menelan ruangan, hanya cahaya senter mereka bertiga yang tersisa.
Sara meraih lengan Lisa erat. “Kau merasakannya?”
Lisa mengangguk pelan, matanya menatap sekeliling. Bayangan di rak mulai bergerak. Bukan mengikuti cahaya, tapi merambat sendiri, melawan arah senter.
Suara berdesis muncul dari kegelapan, rendah, bergaung, merayap ke telinga.
“...Lisa…”
Lisa membeku. Itu nyata. Itu bukan halusinasi.
Ethan segera meraih bahunya. “Jangan jawab! Itu bukan manusia.”
Sara hampir menjerit. “Aku sumpah, kita harus keluar sekarang juga!”
Tapi Lisa tidak bisa berpaling. Sosok samar terbentuk dari bayangan: tubuh tinggi, lengan panjang, wajah kabur.
“Lis…” suara itu lagi, lebih dekat, lebih jelas.
Lisa menelan ludah, dada naik turun cepat. Kepalanya berdenyut, seperti ada dua suara di dalam kepalanya—satu menyuruhnya lari, satu lagi menyuruhnya mendekat. Kilasan mimpi masa kecilnya muncul begitu saja: ia berdiri sendirian di lorong, bayangan menutupinya, lalu sebuah tangan hitam meraih keluar.
“Kenapa aku…” bisiknya, “kenapa aku yang dipanggil?”
Ethan menatapnya, wajah pucat. “Karena buku itu memilihmu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments