Perpustakaan kota akhirnya terlihat di depan. Bangunan batu tua itu menjulang gelap, jendelanya buram, pintu utamanya terkunci.
Lisa berhenti, menatapnya.
Sara menatap Lisa balik. “Kau yakin mau masuk?”
Lisa mengangguk pelan. “Aku yakin… di dalam ada jawaban.”
Lisa dan Sara berjalan berdampingan melewati jalan berbatu. Kabut semakin tebal, menutup gedung-gedung tua hingga hanya terlihat bayangan atapnya.
“Aku masih nggak percaya kau menyeretku keluar jam segini,” kata Sara, suaranya terdengar jelas di keheningan. “Besok aku kerja jam delapan pagi, Lis.”
Lisa menoleh sebentar, lalu tersenyum tipis. “Kau ingat waktu kecil kita kabur ke hutan belakang rumah Bu Redfield? Kau yang ngajak waktu itu.”
Sara mendengus. “Itu beda. Kita waktu itu cuma anak-anak bodoh. Sekarang kita sudah… ya, tidak sepenuhnya dewasa, tapi seharusnya lebih tahu.”
“Tapi kau tetap ikut,” balas Lisa.
Sara mendesah, lalu menendang kerikil kecil. “Ya. Karena aku tahu kalau aku nggak ikut, kau bakal nekat sendiri. Dan kalau kau hilang ditelan kabut, ibuku pasti nyalahin aku.”
Lisa terkekeh pelan, tapi suara tawanya cepat menghilang. Dari sudut matanya, ia melihat bayangan bergerak di dinding bangunan seberang jalan. Ia berhenti, menatap lebih jelas. Bayangan itu berbentuk manusia, tapi kepalanya condong seperti sedang memperhatikan mereka.
“Lis?” Sara menoleh. “Kenapa berhenti?”
Lisa mengangkat tangan perlahan, matanya tak lepas dari bayangan itu. Ia mencoba menariknya… dan bayangan itu bergeser, melebar seperti kabut hitam yang ditarik keluar dari dinding.
Sara ikut menoleh, wajahnya pucat. “Astaga, kau serius melakukan itu sekarang?!”
Bayangan itu bergetar, lalu pecah menjadi serpihan gelap sebelum menghilang. Lisa terengah, keringat dingin menetes di pelipis meski udara begitu dingin.
“Lis…” suara Sara pelan tapi tegas, “kau tahu kan itu nggak normal?”
Lisa menunduk, menutup wajah dengan tangan. “Aku tahu. Tapi itu datang sendiri, Sar. Aku nggak bisa selalu menghentikannya.”
Sara menatapnya lama. Akhirnya ia meraih bahu Lisa, menepuk pelan. “Kau nggak sendiri. Oke? Kalau kekuatan anehmu itu terus muncul, setidaknya aku ada di sini buat mengomelimu.”
Lisa tertawa kecil, walau masih gugup. “Itu bentuk dukunganmu ya? Mengomeliku?”
“Ya,” jawab Sara mantap. “Itu tugasku sejak aku lahir.”
Mereka kembali berjalan.
Saat belok ke jalan menuju perpustakaan, ponsel flip Lisa bergetar lagi. Pesan dari Ethan.
From ETHAN: Aku di dalam. Jangan masuk sendirian.
Lisa berhenti, menatap layar yang berpendar hijau. “Dia sudah di sana.”
Sara mengangkat alis. “Tentu saja. Ethan memang lebih gila dari kita berdua.”
Mereka sampai di halaman perpustakaan. Bangunan batu itu berdiri megah sekaligus suram, jendelanya buram memantulkan kabut. Jam besar di menara menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh.
Lisa menatap pintu utama yang terkunci, lalu ke pintu samping yang catnya terkelupas. Jantungnya berdegup kencang.
“Kalau kita masuk,” katanya pelan, “tidak ada jalan kembali.”
Sara menarik napas panjang. “Lis, kalau kau masuk sendirian, kau mungkin nggak keluar lagi. Jadi ayo. Kita lakukan ini sama-sama.”
Lisa tersenyum samar, lalu mendorong pintu kayu samping. Engselnya berderit panjang, suara yang menggema ke dalam kegelapan.
Aroma debu dan kertas tua langsung menyambut, menusuk hidung.
Mereka saling pandang sejenak, lalu melangkah masuk.
Kabut tetap menempel di luar, tapi di dalam perpustakaan, hawa terasa lebih berat—seolah bangunan itu menyimpan napas sendiri.
Lisa menyalakan senter kecil, cahayanya menyapu rak-rak tinggi. Suara langkah mereka terdengar jelas di lantai kayu.
“Lis,” bisik Sara. “Aku nggak percaya aku benar-benar melakukan ini.”
Lisa menggenggam catatan kecil di tasnya erat-erat. “Aku juga.”
Malam itu, di balik rak perpustakaan, sesuatu sudah menunggu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments