Di mana, Lun? Pekan sunyi sudah tidak ada jadwal kuliah, Abi bingung mau ngapain. Nyimas sudah terbang ke Bali, sambang sang kakak sekaligus liburan. Teman satu-satunya yang bisa diandalkan Abi cuma Aluna. Bosan hanya di rumah, Abi tak minat nongkrong dengan teman SMA nya dulu. Menurut Abi, teman SMA nya lagi suka pamer saldo investasinya. Malas ah, berasa pertemuan mereka ajang prestasi. Sedangkan Abi sendiri tak punya prestasi yang bisa ditunjukkan baik kemampuan otak maupun kemampuan mengolah keuangan. Uang sih ada, barang mewah juga ada tapi dikasih orang tuanya semua.
Hufh, benar kata Aluna dan Nyimas, selama ini hidup Abi sudah di level 9, dirinya sudah terlalu nyaman hidup di ketiak orang tua. Mengalir saja toh masa depan terjamin. Kalau dipikir-pikir Aluna benar, seandainya Aluna menerimanya sejak dulu, tentu hubungan mereka pasti ada campur tangan mama Abi. Mana mau Aluna begitu, gadis mandiri seperti dia, kalau hidup terlalu ribet dan merugikannya ya lebih baik sendiri.
Kenapa juga Abi baru sadar sekarang, coba kalau sejak mengenal Aluna terus mengubah mindset dan kebiasaannya, mungkin dirinya sudah jadi anak yang hebat seperti harapan papa. Hufh, untuk memulai dari 0 ya susah, argh Abi bingung. Harus ngapain sekarang? Mengambil resiko juga dia masih belum berani.
Lun lo di kos atau pulang kampung?
Menunggu pesannya yang tak kunjung dibalas, Abi pun telepon pada Aluna, ternyata tak diangkat juga. Hingga chatnya dibalas lewat pukul 2 siang.
Di kos. Bikin stok aksesoris. Kenapa sih?
Ya elah kan bisa disambi, bikin aksesoris sambil balas chat gua. Sok sibuk lo!
Gak bisa lah. Bikin aksesoris tuh butuh mood. Baca chat lo semakin merusak mood. Ngeluh mulu.
Iya deh si paling aktif. Sekarang longgar gak? Temani gue makan dong. Lapar nih.
Udah longgar. Lah emang di rumah lo gak ada makanan?
Ada. Yang nemenin gak ada.
Ajak kencan lo?
Ya elah cuma makan doang Aluna Paramitha.
Bayar sendiri-sendiri.
Ya Salaaaaammmmmmmm. Dipikir gue gak mampu kali ya.
Bayar sendiri-sendiri atau enggak.
Oke!
Aluna memang begitu, ia tak akan mau ditraktir cowok, khawatir kalau diungkit suatu saat nanti jatuhnya rendahin harga dirinya, toh sang papa sering bilang gak ada cowok yang tulus seperti papa Mbak, jadi batasi pemberian cowok.
Hanya mengenakan kaos dan celana jeans serta jilbab instan, Aluna menuju cafe tempat janjian mereka, ia juga tak mau dijemput Abi. Aluna bukan gadis manja, motor punya jadi tak perlu dijemput segala.
Ternyata Aluna datang lebih dulu, ia memesan squash lemon sembari menunggu Abi. "Lebih dari setengah jam gue tinggal," Aluna mengirim pesan kepada Abi.
Tinggal aja. Balas Abi fast respond, ternyata Abi sudah masuk ke dalam cafe. Tersenyum saja baca chat Aluna.
"Katanya mau ditinggal?" tanya Abi lalu duduk di depan Aluna. Gadis itu berdecak sebal saja sembari menutup aplikasi marketplace, cek dagangan.
"Udah buruan pesan makan."
"Iya!" Abi pun memesan makanan, begitu juga dengan Aluna. Kebetulan Aluna juga belum makan siang. Memang kalau sudah fokus kerja, lupa makan juga. Sang mama pasti mengomel kalau tahu Aluna telat makan begini.
"Lo di kos mulu emang gak bosen Lun?" tanya Abi sembari menunggu pesanannya.
"Enggak, kan ada yang dikerjain, Bi!"
"Iya juga sih, pantas saja gue di rumah bosan karena cuma PS saja hiburan gue." Aluna memutar bola matanya malas, gemas juga kok bisa ada anak muda gak produktif sama sekali.
"Mama lo gak ngomel kalau kerjaan lo cuma main PS doang?" Abi menggeleng. Mana ada mamanya ngomel, malah mama suka karena Abi tidak nongkrong keluar, anteng di rumah saja.
"Ya tapi gak main PS doang, Bi. Jadi anaknya mama gue lo hidup gak sampai sehari kayaknya." Abi tertawa ngakak, emang ada ya orang tua yang menyuruh anaknya aktif terus. Bukannya orang tua lebih suka anak yang anteng.
"Kenapa?"
"Mama gue paling anti namanya orang mager. Setidaknya ada satu pekerjaan produktif yang harus dikerjakan."
"Ya elah, Lun. 24 jam itu lama ya kali produktif terus."
"Ya maksudnya itu, jangan menghabiskan waktu seharian untuk main game dan scroll HP doang. Main ke rumah teman kek, baca buku kek."
"Kok ke rumah teman malah boleh, bukannya malah bahaya ya, bisa aja dong saat main ke rumah teman melakukan hal yang aneh."
"Ya makanya orang tua harus tahu teman anaknya seperti apa, gak sembarang kasih izin juga, apalagi pakai nginep ya gak juga. Berangkat ke rumah teman juga diantar papa atau adik gue."
"Tapi gue yakin sih. Teman lo study oriented juga."
"Dih, sok tahu! Teman yang sering gue samperin juga anak produktif ya. Gue sering nebeng dia olahraga ke rumahnya. Masa' Bi, rumahnya ada lapangan tenis coba. Sekaya apa dia ya."
"Emang di kampung lo ada orang kaya sebegitunya?" salah satu sikap Abi yang tidak disukai Aluna adalah dia suka meremehkan kemampuan orang lain. Mungkin habit papa Abi menurun ke Abi juga kali. Asal saja meremehkan. Menganggap apa yang dilakukan orang lain, terutama urusan uang itu jauh di bawahnya.
"Lo kira kampung gue terbelakang gitu. Di sana juga gak miskin-miskin amat kali. Perumahan gue aja termasuk perumahan menengah ke atas. Kos milik orang tua gue aja pakai AC sejak awal berdiri. Orang kaya gak hanya di kota doang kali, Bi!" sewot Aluna agar bisa membuka pikiran Abi bahwa di mana pun berada pasti ada orang kaya, karena kaya itu relatif.
"Terus kalau lo kaya kenapa lo bisnis aksesoris?"
"Yang kaya orang tua gue, bukan gue."
"Ya tapi kan nanti dikasih ke lo?"
"Gue kok gak punya pikiran bakal dikasih ya, karena mama dan papa gak pernah bilang, dan gue juga gak mau tahu soal itu. Yang diajarin papa dan mama gue cuma satu hidup kamu tergantung di tangan kamu sendiri."
"Masa' orang tua lo sepelit itu sih, Lun?"
"Heh, mama dan papa gue gak pelit ya. Kalau beliau pelit gak mungkin sekolahin gue di SD - SMA IT. Tuh biaya sekolah juga mahal kali. Gue juga gak pernah kekurangan. Enak aja ngatain orang tua gue pelit."
"Ya bukan gitu. Masa' orang tua berada tapi gak diwariskan ke anak, ya buat apa."
"Ya itu orang tua lo yang kasih warisan harta. Beda dengan orang tua gue, kasih warisan ilmu, pendidikan karakter sehingga sejak kecil gue udah dikasih contoh buat handle hidup gue sendiri."
"Emang iya?" Aluna pun membuka ponselnya, menunjukkan akun ytb boxing mainannya bersama sang mama pada Abi. Sontak Abi melongo. "Ini kamu?" Aluna mengangguk. "Gemoy banget!"
Sialan, padahal Aluna menunjukkan akun itu agar Abi tahu bahwa orang tuanya mengajarkan pada anak-anaknya cara menghandle hidup dengan mencari uang sejak dini, bukan soal postur tubuh Aluna kecil. Nih anak boleh ditonjok gak sih, fokus kok pada hal yang tidak penting. "Tapi sejak kecil lo udah cantik sih, Lun."
"Anaknya mama Mbi mana ada yang gagal sih," ujar Aluna bersikap sombong dengan gaya centil, membuat Abi pura-pura muntah.
"Nama kontak lo gue ganti," ucap Abi tiba-tiba dan langsung membuka ponselnya.
"Apaan?" tanya Aluna dengan mencondongkan kepala, penasaran dengan keusilan apa yang akan dilakukan Abi. "Moyang?" tanya Aluna sembari mengerutkan dahi. Sedangkan Abi sudah tak bisa menahan tawa.
"Gemoy Sayang!" jawab Abi sembari tertawa ngakak. Aluna pun memonyongkan bibirnya, sebal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
betul...aq pun mnrpkan bginj tp dsr anak nya susah, dr hal2 spele srh gerak kerjaan rmh atau apa biar ajar tgjwb y yg krja ttp mak bpk e sdh dwanti2 mm bs pnya ini itu penuh perjuangan g tau2 pnya rmh kndraan dsb
2025-09-21
0
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
km hrs berubah 360° bi pola pikir pola hdp berbanding terbalik dg aluna..kl mau bs dttma ya hrs se frekuensi
2025-09-21
0