Abimanyu pulang dalam keadaan lelah. Proposal skripsi dicoret begitu banyak oleh dosen pembimbing, semakin membuatnya frustasi saja.
"Bagaimana skripsi kamu?" tanya papa hanya melirik sekilas pada sang putra, sembari melihat kenaikan grafik saham sebelum penutupan pasar modal.
"Masih proposal, Pa!"
"Iya, sampai mana? Sudah kamu ajukan atau bagaimana?" tanya papa ingin tahu. Memang untuk jurusan psikologi ini, papa yang menentukan. Rencana papa, setelah S1 Abi akan dikirim keluar untuk mengambil jurusan manajemen bisnis. Semua dipilihkan oleh sang papa dan mama sebagai bekal memegang rumah sakit jiwa milik sang papa nantinya.
"Banyak coretan lah, Pa. Orang baru pertama bikin beginian," kesal sudah Abimanyu bila ditanya terus oleh sang papa. Dia tidak suka ditanya, biarlah proses dijalani Abimanyu tanpa laporan kepada sang papa. Cukup hasil yang akan diberikan kepada papa, prosesnya tak perlu ditunjukkan.
"Kalau kamu gak belajar dari dulu, bikin skripsi pasti sulit. Lebih tekun lagi buatnya, kamu nanti akan pegang rumah sakit besar, tentu dibutuhkan ketelitian juga dalam membaca laporan. Jangan malas."
Badan capek, eh dibilang malas pula, rasanya Abimanyu semakin frustasi saja garap skripsi. Sebagai orang tua harusnya menenangkan dong ya, bukan menjatuhkan seperti ini. Kalau Abimanyu malas, mana mau dia garap skripsi. Lebih baik lewat joki saja, toh uang juga ada.
"Jangan sampai skripsi pakai joki. Ingat setelah sarjana kamu akan papa sekolahkan ke Ausie, jelas makin berat sekolah kamu! Gak usah manja."
Abimanyu mendengus sebal, rencana liciknya sudah terbaca oleh sang papa. Sial. Otak rasanya ingin meledak, malah ditambah rencana sekolah lagi, Abimanyu sudah tidak ingin sekolah lagi, otaknya tidak mampu. Kalau saja dia diizinkan untuk masuk ke teknik sesuai minatnya tentu dia akan enjoy saja kuliah, lah ini jurusan yang tak pernah dilirik Abi, hingga semester 6 akhir begini, ia tak punya chemistry di setiap mata kuliah. Tinggal datang, absen, presentasi seadanya malah sering ngelantur. Papa sendiri sudah tahu nilai Abi, beliau ngomel tapi Abi bisa apa kalau kemampuannya hanya sampai situ.
"Sekali kamu gak berubah, jangan salahkan rumah sakit nanti akan papa turunkan pada kakakmu!" ancam papa untuk kesekian kalinya.
Sampai usia 21 tahun ini, Abimanyu tak pernah tahu soal kakaknya, namun papa selalu menyebutnya, makin sebal saja. "Kakak, mana kakak Abi, Pa? Masa' iya papa halu." Omongan Abi tak dijaga, asal ceplos dan membuat papa menatapnya tajam.
"Kakakmu hidup dengan baik, kerja keras dan otaknya encer. Tidak seperti kamu."
Abimanyu tersenyum sinis, "Oh ya? Dia bisa kerja keras dan punya otak encer karena tidak hidup dengan papa. Dia bisa bebas menentukan pilihan sesuai minatnya. Bukan seperti aku yang harus menurut sama papa dan mama. Soal jurusan saja aku harus dipilihkan papa dan mama. Coba kalau papa mengizinkan aku masuk teknik, tentu otakku juga encer. Papa tahu gak sih, orang bisa sukses pada suatu bidang karena minat dari dirinya sendiri, bukan karena arahan atau paksaan dari orang tuanya. Lagian, kakak yang papa maksud itu belum tentu bisa mengolah rumah sakit jiwa kan? Jadi jangan bandingkan aku dan kakak itu, selagi bakat kita berbeda." Abi langsung mengambil jaket dan draft proposal pergi meninggalkan sang papa. Puas saja bisa memojokkan sikap papa selama ini.
Abi sendiri penasaran siapa kakak yang dimaksud sang papa, ia pun menuju ke ruang yoga sang mama, tampak wanita cantik itu sedang meditasi di pinggir kolam renang. Sudah cukup Abi penasaran dengan sang kakak, kali ini ia mau mencari tahu. "Siapa sih Ma, kakak Abimanyu itu?" tanya Abi sudah duduk di samping sang mama. Kakinya dicelupkan di dalam kolam.
Perlahan mata mama terbuka, tersenyum melihat putra kebanggaannya berada di depannya sekarang. "Kamu tanya apa?"
"Kakak Abi siapa? Dan di mana sekarang?" ekspresi kaget tertangkap Abi, pasti sang mama tahu. "Gak usah disembunyikan lagi. Abi muak sekali papa begitu membanggakan kakak tersebut."
"Kamu tidak tanya kepada papamu?"
"Mana mau dia terbuka sama aku. Oh ya Ma, kadang aku berpikir aku ini anak papa dan mama gak sih? Kok papa selalu saja memojokkan Abi."
"Perasaan kamu saja!"
"Enggak deh. Yang sayang sama Abi kayaknya mama doang, papa bawaannya temperamen terus sama aku."
Mama pun menghela nafas pendek, wajar sang suami bersikap pada Abi seperti itu, karena memang Abi bukanlah anak dari perempuan yang dicintai papa. Mama dan papa Abi menikah karena perjodohan, setelah Abi kawin lari dengan seorang perempuan yang berprofesi sebagai guru swasta. Perbedaan strata sosial inilah yang membuat papa Abi menceraikan istri pertamanya karena intervensi dari kakek Abi.
Diketahui istri pertama papa Abi membawa seorang anak laki-laki sekitar umur 3 tahun saat perceraian itu, sehingga usia Abi dan sang kakak terpaut kurang lebih 4 tahunan.
"Sabar ya, mungkin saja papamu ingin mendidik mental kamu agar seperti baja. Persiapan menjadi pemilik rumah sakit, gak mungkin doang mental pemimpin menye-menye."
"Abi gak gitu, Ma. Abi mandiri kok!"
"Kalau mama sih percaya, tapi tidak dengan papa, maka buktikan. Lagian apa kamu gak capek diremehkan papa kamu terus."
Abimanyu diam, otaknya mulai berisik, gengsinya tersentil dengan sikap papa. Hati kecilnya mulai tergerak untuk membuktikan bahwa dia anak yang hebat, dan bisa mandiri.
Abimanyu merebahkan diri di kamar, sedang berpikir kira-kira dia bisa membuktikan dengan cara apa. Sedangkan urusan kuliah saja dia tidak berminat.
Lun. longgar gak? Pada akhirnya Abimanyu mengirim pesan pada gadis cerewet itu. Aluna dianggap Abi sebagai gadis yang memiliki otak encer khususnya urusan bisnis. Abimanyu tiba-tiba mendapat ilham, cara membuktikan kalau dirinya mandiri dan tidak bisa diremehkan adalah dengan memiliki uang dengan kaki tangannya sendiri. Tapi Abi belum punya ide untuk mendapatkan uang dari mana. Solusinya adalah bertanya pada Aluna.
Sibuk dong. Perintis gituloh. Gak mungkin nganggur. Lagi mengejar cuan. Ada apa?
Lo nyindiri gue?
Dih baper amat bos RSJ ini.
Gue timpuk lo kalau panggil begitu lagi.
🤣🤣🤣🤣.
Lun bantu gue dong.
Apa?
Gimana caranya biar dapat uang banyak.
Ngepet.
Sumpah gue tonyor lo nanti ya.
😅😅😅😅. Kerja lah. Lagian bukannya uang situ banyak ya. Ngapain cari uang lagi?
Diremehkan bokap sendiri tuh nyesek tahu, Lun.
Baru tahu?
Sialan.
Lun
Lun
Lo sibuk apa sih? Jengkel rasanya Abi melihat pesannya yang tak dibalas Aluna, padahal gadis itu online.
Dih gue udah bilang sibuk, Aluna akhirnya membalas dengan menyertai sebuah video rekaman berupa cetak resi.
Waoooowww. Uang lo banyak dong ya.
Alhamdulillah.
Emang harga 7000 an gitu bisa kaya, Lun?
ini Abi sedang meremehkan harga jual aksesoris Aluna kah?
Otw kaya. Ya setidaknya gue gak pernah diremehin orang lain terutama orang tua gue. Balas Aluna sengaja, dia tak suka dengan gaya Abi yang sepertinya meremehkan usaha kecilnya. Standar kaya tiap orang tuh beda. Mungkin uang 7000 bagi Abi sangat kecil, tapi bagi Aluna enggak, karena bila orderannya sehari ada 100 biji, maka sehari Aluna bisa mendapatkan omzet 700ribu. Tentu saja omzet segitu untuk anak mahasiswa banyak, tanpa menyewa toko dan pegawai semua dilakukan Aluna sendiri. Merintis sejak SMP lagi, tentu Aluna tak terima lah dianggap emang bisa kaya oleh laki-laki yang tak pernah merasakan jadi perintis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
bener loh ambil jurusan semata krn d srh orgtua itu rasane gmn gt..wlpn g yg seenaknya ttp bljr dan nilaii bagus tp g enjoy krn terpaksa. aku j dpaksa farmasi y anggep aja dpt ilmu tp u bnr2 bljr detail smpe pinter tu g ada krn bkn minatnya😁
2025-09-21
0
Deera
Aluna anak Mami mbi niee bossz, senggol dung/Tongue/
2025-09-20
0
mbu ne
wuihhh...mantap nih boss accessories...😍
2025-09-20
0