Rara pulang dengan wajah berseri, dia begitu amat senang mendapatkan tas baru dari sekolahnya. Karena, tas lama yang masih bagus bakalan di kasih ke Riri, dengan itu Riri bisa ganti-ganti tas buat kesekolah.
“Assalamualaikum.” Ucap Rara saat kakinya menginjak lantai tanah di teras rumahnya. “Waalaikumsalam…” sahut abangnya yang sudah lebih dahulu pulang ke rumah.
“Abang… oh iya, abang tunggu sebentar ya, ada yang mau Rara berikan ke abang.” Ujar Rara, dia langsung buru-buru meretakkan tasnya di dalam rumah. Lalu, mengambil bok sepatu yang dia simpan di dalam tasnya.
“Abang…” panggil Rara, yang membuat Rafa menoleh ke arahnya. Rara mengeluarkan sepasang sepatu hitam mengkilap dari dalam kotak sepatu.
“Ini, buat abang ya, ini, hadiah dari sekolah rara buat siswa yang menang lomba matematika. Sepatu ini kebesaran buat Rara, jadi ini buat abang ya bang.” Ucap Rara.
Rafa tertegun, ia menatap Rara sebentar lalu menatap sepatu itu. Matanya mendadak berkaca-kaca. “Ra? Kamu yakin sepatu itu buat kakak? Ini hadiah kamu lo ra? Ini buat kamu, bukan buat kakak. Sepatu, kamu juga sudah usang dan lusuh,kayaknya kamu juga butuh deh ra. Sepatu kakak nggak apa-apa, biar kakak sol lagi.” Tolak Rafa dengan hati-hati.
Rara menggeleng sambil tersenyum,“nggak bang, sepatu Rara masih bagus, ini juga kebesaran buat Rara. Ini rezeki Abang, yang mapir ke Rara. Terima ya bang, daripada sepatu ini nggak ada yang pakai.” Ujar sang adik.
Rafa mengangguk dengan senyum, dia menerima sepatu dari adiknya. Lalu rafa mengunakannya, sangat pas dan cocok di gunakan di kaki Rafa. “Keren banget bang.” Sorak Rara, ketika Rafa mengambil gaya keren.
“Iyalah…Abang kamu gitu lho.,” Seru Rafa, di iringi suara tawa bahagia mereka berdua.
Tawa itu sampai kedengaran oleh telinga sang ayah yang baru bangun dari berbaring nya. Mendengar suara putra purtinya Pak Adi mengampiri ke teras depan. “Ra? Rafa? Ayo masuk, ibu kalian sudah masak telur buat sarapan. Ayo, ganti baju dan sarapan.” Ajak Pak Adi.
Rara pun mengikuti ayahnya, “baik pak, ibu kemana ya pak?” Tanya Rara yang mengekor di belakang ayahnya. “Ibu, ke pasar sama Riri jual sayuran, sore nanti baru pulang.” Sahut sang ayah.
“Oh, biar nanti sore Rafa jemput mereka di pasar Pak. Kasihan Ibu sama Riri, pasti kecapean jalan kaki ke pasar.” Timpal Rafa.
Mereka pun makan bersama di ruang tengah, Bu Lastri memasakan telor dadar yang di campur mie goreng serta sayuran bayam. Satu menu, namun sangat lezat dan mengenyangkan bagi mereka, pagi jika di tambah dengan acar yang Bu Lastri buatkan.
Rafa dan Rara, menyatap habis makanannya, perut mereka sudah sangat lapar saat pulang sekolah tadi. Rara dan Rafa, ke sekolah hanya membawa uang jajan tujuh ribu rupiah, dengan tambahan bekal air minum dan juga singkong rebus.
Walapun seperti itu, mereka sangat bersyukur. Rafa dan Rara tidak pernah malu dengan keadaan ekonomi keluarganya, mereka menerima dengan lapang dada, walaupun sesekali Rara menahan tangisnya karena di ejek oleh temannya yang kaya.
“Adi!!!” Teriak seseorang yang tidak asing bagi mereka. Pak Adi beranjak membuka pintu, sebab Rara tadi sudah kebelakang mencuci piring, dan Rafa tengah memperbaiki ban sepeda yang bocor.
Dengan langkah gontai, Pak Adi membuka pintu depan. Saat baru terbuka setengah, suara Herman langsung terdenga, “Adi!, malas-malasan aja kerjaan kamu!! Kolam ikan saya belum beres juga sampai sekarang, gimana sih kamu!!!” Kesal Hendra.
Pak Adi menarik nafasnya panjang, tubuhnya masih belum sehat sepenuhnya. “Bukan apa-apa, tapi mas belum bisa ngerjain kolam ikannya. Mas, masih sering pusing dan sesak kalau kelamaan nunduk.” Jelas Herman dengan sopan.
Hendra langsung mendecak, “Alasann!! Bilang aja kamu males Adi. Kalau, kayak gini kapan kolam ikan saya beres? Saya mau pamer ke teman-temanya Bayu! Pokoknya, sebelum Sabtu depan, itu kolam harus sudah selesai, titik.” Kekeh Herman.
Rafa yang mendengar suara Om Hendra itu pun geram. Dia menghampiri mereka di teras depan. “Biar saya saja yang menggantikan Bapak lagi, saya bisa kok bikin kolam ikan.” Ujar Rafa, yang membuat wajah Herman langsung senang.
“Nah, boleh…Kamu aja yang gantiin Bapak kamu.” Ujar Herman, dia punya maksud terselubung, Herman memang pengen Rafa yang mengerjakannya, karena hasilnya bakalan lebih rapi dari pekerjaan Bapaknya.
Pak Adi segera mengeleng, “jangan nak, biar Bapak saja. Insyaallah, Bapak bisa.” Tolak Pak Adi, dia tahu adiknya ingin kinerja anaknya dan di bayar murah. Pak Adi, tidak mau anaknya di perbudak juga oleh keluarga pak Herman.
Rafa pun mengangguk patuh tanpa membantah ucapan bapaknya, walaupun dia sedikit tidak tega. “Udah Herman, saya aja yang lanjutin nanti. Kamu pulang saja.” Ucap Pak Adi, Herman pun mendengus sinis.
Hari semakin sore, Bu Lastri dan Riri pulang setelah di jemput Rafa. “Alhamdulillah pak, hasilnya hari ini lumayan banyak, ibu dapat uang sekitar dua ratus lima puluh ribu pak, alhamdulillah ya pak.” Ucap Bu Lastri tidak henti-hentinya mengucap syukur.
“Alhamdulillah bu.” Ucap Bapak dan anaknya serentak lalu sedikit tertawa bahagia. Rara melihat lutut adiknya yang di plaster. “Itu kaki kamu kenapa Riri ? Kenapa bisa luka gitu?” Tanya Rara dengan khawatir.
Riri dan ibunya saling pandang, pak Adi menatap raut wajah sang istri yang berbeda. “Apa itu ulah istrinya Herman?” Tanya Pak Adi tiba-tiba, Bu Lastri mendongak kaget.
“Darimana Bapak tahu?” Tanya Riri, membuat semua anggota keluarga menghela nafas panjang. “Kurang ajar tante Ratna…” Kesal Rafa, yang langsung menerima gelengan dari ibunya.
“Sudah pak, nak, tadi ibu juga yang salah melarang mbak Ratna mengambil dagangan ibu. Jadi, Riri yang menjadi korbannya. Sudah ya, nak, Pak, jangan diperpanjang lagi.” Ujar Bu Lastri.
“Iya mbak, bang, pak, lutut Riri juga sudah di plaster nggak sakit lagi kok.” Ucap Riri, tadi Bu Lastri melarang Riri untuk memperpanjang masalah ini, agar tidak menjadi keributan lagi.
“Yasudah kalau begitu, nanti pasternya di ganti lagi ya sama mbak Rara. Biar tidak infeksi,” ucap Bapaknya. Bu Lastri pun merasa lega.
“Oh iya, Pak, tadi ada teman Ibu yang nyuruh ibu buat jual jajanan tradisional di pasar, soalnya, yang biasa jualan sudah pulang kampung dan menetap di kampungnya. Jadi, nggak ada yang jualan jajanan tradisional di pasar. Gimana pak ibu terima nggak ya? Soal tempatnya udah ada. “ tanya Bu Lastri bingung.
“Terima aja bu, lagian ibu bisa buat jajanan tradisional kan? Jajan Ibu enak sesekali apalagi dodol wajiknya, bikin saja Bu… Bapak masih ada tabungan di celengan buat bantu modal.” Ujar Pak Adi.
“Iya Bu, buat aja biar Rara yang bantu Ibu buat jajanan, nanti sepulang sekolah juga bisa rara bantu Ibu di pasar.” Ucap Rara antusias. “Riri juga…Riri mau bantu ibu.” Sorak Riri dengan semangat.
“Iya Bu, Abang Rafa juga mau bantu! Biar, abang yang bantuin jemput dan antar ibu pakai sepeda abang.” Lanjut Rafa.
“Alhamdulillah, kalau abang, Bapak, sama Rara dan Riri dukung Ibu, Ibu jadi lebih semangat.” Ujar Bu Lastri, membuat ceria ruang tamu sederhana mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments