Luka kecil di lutut Riri

Bu Lastri membungkuk pelan sembari memetik sayuran yang tumbuh subur di samping rumah. Daun bayam, kangkung, dan kacang panjang. Ada juga, timun, terong dan cabai merah. Semuanya nanti akan di jual di pasar tak jauh dari rumah mereka.

Dengan lihai, Bu Lastri memelih sayuran yang sudah siap di jual, walaupun terik matahari menyentak. Bu Lastri tetap melakukan kegiatan dengan menggunakan topi sekolah Rara yang sudah usang.

Tak lama, terdengar suara riang dari depan rumahnya. “Assalamualaikum, Riri pulang Bu.” Ujar anak bungsunya yang baru saja pulang dari sekolah.

Bu Lastri menoleh, melihat Riri baru pulang sekolah dengan tangan kanannya menenteng kresek bening dengan dua mie instan dan telur ada juga jajanan yang dia bawa. Bu Lastri pun tau, jika itu belanjaan bukan dari uang jajan Riri.

Sebab Riri hanya jajan dua ribu rupiah, itupun di tabung seribu dan sisanya dia belanja dengan uang seribu rupiah saja. “Nak dari mana kamu dapat itu nak?” Tanya Bu Lastri saat Riri sudah mendekatinya.

“Ini di kasih sama mbak Ayu, Riri sudah bilang tidak mau, tapi mbak Ayu maksa Riri, jadi, Riri nggak mau menolak rezeki, hehe… tadi, Riri juga di belikan eskrim.” Ucap Riri menjelaskan asal usul kresek putih yang dia bawa.

“Oh, iya nggak apa-apa, Riri sudah bilang terimakasih kan sama mbak Ayu?” Tanya Ibunya lalu di jawab dengan anggukan patuh oleh Riri.

“Yasudah, kamu taruh mie instannya di dapur ya. Nanti kita makan sama-sama, kayaknya enak kalau nanti di tambahkan sayuran bayam, ibu ada petik banyak hari ini. Kamu ganti baju dulu ya sayang, habis itu bantu ibu…” ucap Bu Lastri.

“Wahh enak dong bu, jarang-jarang kita makan sayuran bayam dengan mie. Biasanya, sayuran bayam di buat urab.” Ucap Riri dengan wajah cerianya.

Melihat keceriaan anaknya bu Lastri jadi tersenyum lebar. Riri, kemudian masuk ke dalam rumahnya melalui pintu samping, ia sudah terbiasa mandiri sejak kecil. Saat masuk, Riri langsung mengantungi tasnya di dinding, tasnya sudah agak lusuh karena lungsuran dari kakaknya.

Setelah itu Riri membuka kancing bajunya satu persatu, dan menggantinya dengan baju rumah yang baru saja selesai di cuci oleh Rara kemarin. Lalu dia lanjut, mencuci wajahnya dan kakinya di kamar mandi berdindingan anyaman bambu.

Tak lama, Riri keluar dengan wajahnya yang sudah segar. Ia mengampiri ibunya yang tengah berjongkok mengikat sayuran kacang panjang. “Bu, apa yang bisa riri bantu?”

Ibunya menoleh, “oh, kamu sudah selesai ya sayang. Nak, makan dulu ya habis itu baru bantu ibu.” Ujar sang ibu menyuruh Riri makan terlebih dahulu, Riri langsung mengeleng menanggapi, “Tadi, Riri sudah makan sama mbak Ayu, mbak Ayu beliin Riri nasi kucing tadi Bu.” Ucapnya pelan, karena merasa tidak enak makan enak sendirian.

Bu Lastri pun paham dengan perasaan yang dirasakan anaknya, dari wajah Riri yang tiba-tiba menunduk. “Ndak apa-apa sayang, itu rezeki kamu nak, mbak Ayu memang sangat baik dan sayang sama kamu. Suatu hari nanti, kamu harus membalas kebaikannya mbak Ayu ya sayang. Karena, Riri sudah makan, ayo langsung bantu Ibu aja sini.” Ujar sang ibu, Riri langsung mendongkak dan berjalan ke arah ibunya.

“Nak, ambil tali rafia ya sayang, kamu ikat sayuran kacang panjangnya dulu. Biar Ibu gampang nanti jualnya. “Ujar Bu Lastri meletakan keranjang kacang panjang.

Dengan tangan mungilnya Riri mengikat kacang panjang sesuai instruksi dari ibunya, meski sampulnya masih kurang rapi, Bu Lastri tetap bangga dengan kerja keras putri bungsunya.

................... ...

Sementara, di sekolah smp nusa harapan satu. Rara baru saja mendapatkan kabar yang mengembirakan. Tadi saat kumpul di halaman sekolah, Pak Kiming menyebutkan nama siswa berprestasi dalam pelajaran matematika. Dan setiap siswa berhak mendapatkan hadiah berupa Tas sekolah, dan sepatu sekolah.

Pak kiming, memanggil nama Rara sebagai salah satu siswa berprestasi dan berhak mendapatkan hadiah tersebut, Rara menerima hadiah itu dengan malu-malu sekaligus bangga atas kerja kerasnya.

“Alhamdulillah” ucap Rara, saat kembali ke kelasnya setelah menerima hadiah dari para guru. Rara mendapatkan tas cantik berwarna biru muda, dan juga sepatu sekolah hitam yang saat Rara coba ternyata kebesaran baginya.

“Yah…sepatunya kebesaran, sepatuku ukurannya tiga sembilan, yang ini…Hm, empat puluh satu.” Gumamnya sendiri, kemudian dia teringat dengan ukuran sepatu abang Rafa yang cocok dengan sepatu hadiahnya.

“Aku kasih sepatunya ke bang Rafa aja…kayaknya ukuran kaki empat puluh satu, kalau nggak salah…iya, aku kasih bang Rafa aja, sepatu bang Rafa kan rusak pada bagian solnya, kadang menganga juga kalau di pakai. Kasihan bang Rafa, mungkin ini rezeki bang Rafa, makanya aku dapat sepatu yang kegedean. Alhamdulillah…” gumamnya sendiri.

......................

Kembali ke rumah, ibu Lastri dan Riri duduk membungkuk mengikat satu persatu sayuran dan juga memasukkan dalam plastik kiloan untuk cabainya.

Rencananya, satu ikat sayuran akan di hargai seribu sampai dua ribu rupiah, dan satu plastik cabai akan di hargai tiga ribu rupiah. Lebih murah, dari harga di pasaran.

Sebelum sampai pasar, rencananya Bu Lastri akan keliling kampungnya terlebih dahulu, menjajakannya dari rumah ke rumah.

“Ehh, pas banget saya belum masak buat makan malam!!” Langkah tergesa-gesa datang dari arah samping. Tanpa basa-basi, Ratna langsung mengambil beberapa ikat sayuran.

“Mbak Ratna, sebentar. Itu sayuran mau saya jual nanti di pasar, kalau mbak Ratna mau, mbak Ratna bisa petik sendiri, jangan yang sudah diikat di ambil mbak…soalnya, sudah saya hitung.” Ujar Bu Lastri, namun Ratna sama sekali tidak perduli.

“Alahhh apa bedanya sih, tinggal petik lagi aja kamu. Saya mau masak.” Ujar Mbak Ratna, berusaha mengambil lebih banyak. Riri, yang melihat itupun mencoba menghentikan pergerakan tangan tante nya itu.

“Jangan semuanya dong tante, nanti ibu saya jual yang mana? Tante,jangan ngerecokin dagangan ibu aku dong…” Seru Riri dengan keras.

Ratna mendengus, “Ehh!! Bocil ingusan, jangan banyak omong ya kamu, gigi aja kamu belum punya! udah sok-sokan nasehatin saya.” Ujar Ratna tetap mengambil sepuluh ikat sayuran yang segar-segar dan bagus.

“Ihh. Tante jangan di ambil semua.” Ucap Riri mencoba menahan tantenya. Namun, dengan kasar Ratna mendorong tubuh Riri hingga terjatuh di atas tanah berbatu.

“Aduh…”ringis Riri kesakitan, dorongan Ratna menimbulkan luka lecet pada lutut Riri yang mengakibatkan aliran darah segar mengalir di lututnya.

“Riri…” ucap Bu Lastri panik, melihat anaknya terjauh, lalu mengakat tubuh Riri yang tengah menangis pelan karena melihat darah pada lututnya.

Ratna sama sekali tidak menampakkan wajahnya yang bersalah, dia tetap membawa sayurannya. “Duh, itu anak jatuh sendiri ya, dia itu kualat karena berani sama saya.” Ucapnya tanpa bersalah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!