Genteng bocor

Malam itu sekitar, setengah sebelas malam. Pak Adi kembali di antar pulang oleh mobil pak Rt. Beruntung, sesak yang di alami Pak Adi tidak terlalu parah hingga tidak diperlukan untuk rawat inap.

“Pak obatnya, Bapak minum obat dulu ya sebelum tidur. Ra…ambilkan air hangat buat Bapak, nak.” Ujar Bu Lastri.

Pak Adi langsung meminum obat yang sudah di resepkan. Obat yang di dapat di rumah sakit sudah di tanggung oleh pak rt. Jadi pak Adi tidak perlu membayar obat. Setelah selesai, meminum obat pak adi hendak berbaring.

Namun, suara ketukan pintu terdengar keras dari pintu berlapis triplek yang sudah lapuk. “Adi!! Keluar cepat!! Genteng rumah ku bocor! Harus di benerin sekarang juga!!.” Suara Ratna yang keras, bahkan bisa membangunkan seluruh keluarga Pak Adi.

Bu Lastri keluar dengan wajah yang panik. “Mbak Ratna, suami saya baru pulang dari rumah sakit. Ngak mungkin Bapak manjat genteng malam-malam seperti ini, besok pagi saja ya mbak. Atau, mbak Ratna cari orang lain saja ya.” ucap Bu Lastri.

Ratna malah mendengus pelan. “Alahhh!!! Cuma sakit begitu doang lebay!! Ingat ya, si Adi kalau nggak kerja sama saya! Dia mau makan apa? Kalian sekeluarga mau makan apa? Kalian nggak akan bisa hidup tanpa uang saya.” Teriak Ratna dengan sombong.

Pak Adi mendengar dari dalam kamar, dengan langkah gontai dia keluar menuju arah suara mbak Ratna dan istrinya. Pak Adi, tidak mau sampai anak-anak mendengar hinaan dari mbak Ratna lagi.

“Sudah Bu…biar Bapak coba sebentar, Bapak ngerasa udah enakan kok bu.” Ucap Pak Adi, dengan suara masih serak.

Rara yang ikut terbangun, langsung menahan bapaknya. “Jangan pak, Bapak baru saja pulang dari rumah sakit. Bahkan, Bapak baru saja minum obat. Jangan ya pak, Rara takut sesak nafas Bapak makin parah.” Ujar Rara.

Ibu Lastri pun ikut membujuk, “ Pak, jangan benar kata Rara, Bapak baru saja minum obat. Kita takut kalau Bapak sesak lagi, wajah Bapak masih pucat lo pak.” Ujar bu Lastri, dia berusaha agar suaminya mau menuruti kata dirinya dan Rara.

Ratna melipat tangannya di depan dada. “ Ya ampun, drama kali keluarga miskin ini. Pantes miskin mulu, orang baru sakit dikit doang lebay nya udah kayak mau mati.” Ucap Ratna dengan mulut nyolotnya.

“Cukup!!!” Suara berat dan tegas, rafa muncul dari dalam kamar. Sejak tadi, dia sudah mendengar keributan itu. Rafa pikir, tante Ratna akan paham dengan kondisi bapaknya. Nyata, tante Ratna malah semakin menghina keluarganya. Yang membuat, Rafa tidak bisa tinggal diam lagi.

“Jangan hina Bapak saya tante. Walaupun kita orang miskin, tapi itu tidak bisa dijadikan alasan buat tante menghina keluarga saya. Mana genteng tante yang bocor? Saya benerin!! Sekarang!” Ujar Rafa.

Ratna kicep, dia tidak menyangka bahwa keponakannya berani berbicara lantang seperti itu dengannya. Ratna mendengus pelan, tetapi dia tidak bisa membalas. “Ya! Terserah kamu! Cepat datang ke rumah saya! Biar saya bisa lanjut tidur lagi!! Dan, awas aja kalau sampai pekerjaan mu jelek.”

Ratna pergi dengan wajah masam, dia tidak menoleh lagi ke arah belakang. Rafa mengehela nafas, lalu menatap pak Adi yang berdiri di sampingnya. “Pak, maaf Rafa bicara terlalu keras sama tante Ratna tadi. Rafa, tidak bisa menahan diri.” Ujarnya dengan wajah yang masih menahan kesal.

Pak Adi mengangguk, dia tahu apa yang tengah anaknya rasakan saat melihat keluarganya di hina. Bu Lastri pun menatap putrinya juga, “nak kamu yakin?” Ujar Bu Lastri, semua anggota keluarga menatap Rafa dengan mata yang penuh pertanyaan.

“Kak…tante Ratna nggak mau besokan apa? Sekarang udah gelap, mana hujannya belum berhenti lagi dari tadi. Rara takut, kalau kakak naik sekarang.” Ucap Rara, khawatir dengan kakaknya.

“Udah dik, jangan khawatir, InsyaAllah kakak baik-baik aja. Kamu doain kakak dari rumah ya. Pak, Bu, Rafa pergi dulu ya. Biar tante Ratna, ngak makin marah-marah lagi sama keluarga kita.” Ujar Rafa bersiap berangkat ke rumah tantenya.

Rafa menyiapkan tangga bambu di samping rumah tante Ratna. “Bapak, sudah ngajarin caranya, aku yakin aku bisa.” Rafa mendongkak ke arah atas, dan mulai percaya diri menaiki satu per satu anak tangga.

Pak Herman dan tante Ratna berdiri di bawah dengan memegang payung. “Heh! Rafa! Kamu cepatan kerjanya!! Yang bener juga!! Jangan sampai bolong! Tar, dapur saya makin rusak!!” Ucap Pak Adi sembari melipat tangannya.

“Ya! Kerja yang bener kamu Rafa! Kalau sampai genteng saya makin bocor! Kamu harus ganti rugi!” Lanjut Ratna, sembari memayungi suaminya.

Rafa sampai di atap, air hujan mengalir di sela-sela genteng. Rafa menganti genteng lama dengan genteng baru dengan hati-hati. Meski hujan semakin deras, Rafa tetap fokus mengingat ajaran bapaknya di rumah tadi, sebelum dia berangkat ke sana.

“Pak, kok lama banget dia? Bisa kerja nggak si dia pak? Jangan sampai, rumah kita di buat rubuh sama dia! Dia kan miskin pak? Kalau rumah kita rubuh, mana ada duit buat dia ganti?” Sindir Ratna, namun terdengar jelas di telinga Rafa.

Rafa tetap diam, menahan dirinya agar tidak marah. Dia ingat dengan pesan ibunya. “Rafa, nanti kalau kamu dengar tante Ratna ngomong nggak-enggak lagi, kamu jangan masukin ke hati ya nak. Tante Ratna tidak akan kekurangan suara buat menghina orang, apalagi keluarga kita. Kamu tetap fokus dengan pekerjaan mu saja ya nak. Lalu pulang dengan cepat.” Ucapan ibunya terngiang-ngiang di benaknya.

Rafa kembali fokus menutup celah atap yang bocor, dia memastikan agar tidak ada celah air yang masuk ke rumah tante Ratna lagi. Bocor kecil itu benar-benar tertutup rapi. Rafa lalu turun lagi, air hujan menetes di rambut hingga bajunya yang membuatnya semakin basah.

“Sudah, Om, tante, atapnya sudah nggak bocor lagi.” Ucapnya. Pak Herman mendongkak ke arah atas, melihat hasil kerjanya rafa yang rapi. “Kerjaannya lebih bagus dari pada si Adi. Apa aku suruh dia jadi buruh juga di rumah ini ya? Biar aku pecat bapaknya. Atau, suruh kerja anak sama Bapak ini? Biar, aku bayar murah tapi dapat dua pekerja.” Batin Herman.

“Kamu kerja saja sama Om, nggak usah lanjutin sekolah kamu itu! Lagian! Kamu orang miskin juga, buat apa sekolah tinggi-tinggi. Mending kerja jadi kuli sama Bapak kamu itu!” Ujar Herman dengan angkuh, di timpali dengusan sang istri.

“Ya, bener itu. Kerja saja di rumah kami. Sama itu si adik kamu, si Rara juga suruh jadi pembantu di rumah saya. Ngapain, juga repot-repot sekolah. Kalian itu miskin! Dan bakalan tetal miskin! Keluarga kalian itu, sampai kapan pun akan menjadi budak di keluarga kami.” Nyirnyir Ratna, yang menusuk hati Rafa.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!