Rumah Untuk Doa Yang Terjawab
Rumah mereka berdiri di ujung desa, sebuah gubuk reod berdinding papan yang sudah kian lapuk. Atapnya pun sering bocor saat hujan deras mengguyur, lantai tanahnya lembab. Gubuk ini berisi dua kamar tidur, dengan satu ruang tengah, satu dapur dan satu kamar mandi pada bagian belakang rumah.
Belakang rumahmya masih tersisa lahan kosong, yang mereka tanami, sayuran kangkung, cabai, sayuran sawi, terong, tomat dan pohon buah rambutan,pepaya dan umbi-umbian. Mereka gunakan, belakang rumahnya untuk menanam, agar dikala mereka tidak memengang uang, setidaknya ada sayuran atau buah yang bisa mereka makan.
Kepala keluarga, Pak Adi berkerja sebagai tukang kebun di rumah saudaranya sendiri, setiap pagi dia berangkat ke rumah kakaknya, Pak Herman. Bersama dengan istrinya, yang juga bekerja sebagai buruh cuci di rumah besar itu.
Walapun mereka bersaudara, perlakuan yang di terima mereka tidak lebih baik dari seorang majikan dan pembantu. “ Kalau seterika yang bener dong, lama banget. Jangan kebanyakan menghayal, nanti baju saya bisa rusak!! Ini baju mahal lho!!” Kata Bu Ratna, istri Pak Herman dengan nada tinggi.
Anak kedua Pak Adi, yang bernama Rara ikut mengantar ibunya pun menunduk. Dalam hatinya dia tidak terima ibunya di perlakukan seperti itu, terlebih saat melihat keringat bercucuran di dahi yang kian keriput itu.
“Tapi Tante… Ibu, sudah-“ tangan ibu Lastri langsung menepuk pelan bahunya. Memberi isyarat anaknya untuk tetap diam.
“Tapi Bu…” keluh Rara dengan nada pelan. Lastri tetap mengeleng. “Maaf mbak Ratna, saya akan bekerja dengan baik.” Ucap Bu Lastri dengan sabar.
Rara mendengus pelan, dia tidak bisa terus-terusan melihat ibunya diperlakukan seperti ini. Menurut Rara, sikap baik ibunya telah di salah gunakan oleh mereka.
Jarum jam menujukan pukul setengah lima sore waktunya ibu Lastri dan Rara pulang. Mereka merapikan dahulu pekerjaannya, dan meletakan cucian kotor baru, untuk mereka kerjakan besok.
“Pak, ngak pulang bareng pak?” Tanya Bu Lastri pada suaminya yang masih membersihkan kebun.
“Duluan aja bu, kerjan bapak belum selesai.” Sahut, Pak Adi sedikit berteriak, karena jarak mereka bicara lumayan jauh.
Bu Lastri dan Rara akhirnya pulang, cuaca makin mendung. Dengan cepat air hujan akan turun, Bu Lastri dan Rara pulang dengan sedikit berlari, mereka khawatir Riri akan menangis, karena Bu Lastri pulang lambat.
“Ayo ra, lebih cepat… kasihan Riri sendirian di rumah.” Ujar Bu Lastri pada Rara. Airi adalah adik mereka yang paling kecil, saat ini Riri baru menginjak usia tujuh tahun. Riri baru saja sd kelas satu.
“Iya Bu….” Sahut Rara. Saat di perjalanan mereka melihat mas Rafa yang baru saja pulang dari sekolah. Rafa ada pelajaran tambahan di sekolah, karena dia sudah sma kelas tiga, dan sebentar lagi akan lulus.
“Bu? Rara? Kalian baru pulang juga?” Tanya Rafa saat sudah mendekat. “Bapak mana? Bapak belum pulang?” Tanyanya lagi, saat tidak melihat bapaknya pulang bersama mereka. Biasanya Pak Adi akan pulang bersamaan.
“Ndak, Bapak mu masih ada kerjaan di rumah Pak Herman.” Ujar Ibu Lastri. Rafa sejenak berfikir, bahwa Pak Herman telah tidak adil dengan ayahnya. Pak Herman memberikan upah yang sedikit hanya lima puluh ribu seminggu, tapi pekerjaannya sangat lah banyak.
Hari semakin malam. Hujan menguyur pun semakin deras. Pak Adi baru saja pulang dengan keadaan basah kuyup. Batuknya terdengar keras, tubuhnya juga menggigil, demamnya juga meninggi dan riwayat sakit asmanya pun kambuh juga.
“Pak… kita periksa ke dokter saja ya” kata Bu Lastri yang panik melihat nafas suaminya yang terengah-engah. Wajah Pak Adi pun memucat.
“Tidak usah, Bapak baik-baik aja, nanti pagi juga sembuh.” Ucap Pak Adi dengan serak.
Rafa, berdiri di ambang pintu. “Aku coba pergi ke rumah om Herman, mungkin kita bisa meminjam mobilnya sebentar.” Ujar Rafa.
Bu Lastri menghela nafas panjang, menatap ragu. Tapi, Rafa sudah keburu berlari menebus hujan, menuju rumah Pak Herman.
“Aku pasti akan mendapatkan pinjaman mobil dari Pak Herman. Aku tidak mau mengecewakan Bapak dan Ibu.” Gumamnya sendiri, Rafa punya sedikit keahlian mengendarai mobil, karena dia pernah bekerja jadi supir angkot saat libur sekolah.
“Apalagi Rafa? Ngapain datang menganggu ke rumah tante malam-malam? Tidak punya sopan satun kamu!!” Bu Ratna muncul dengan wajah masam.
Rafa menunduk sopan. “Bapak sakit tante, kami butuh pinjam mobil untuk mengantar Bapak ke Puskesmas.”
Rafa sangat berharap uluran tangan dari Saudara ayahnya itu. Tak lama, suara pendek terdengar menuju arah pintu. “Hah? Pinjam mobil? Jangan mimpi kamu! Mobil saya itu mahal! Nggak pantes buat nganterin orang sakit! Nanti bau obat!! Naik angkot saja lah! Kamu kan supir angkot!!”
“Tapi om..” suara rafa bergetar.
“Sudahlah, kamu nggak dengar apa kata suami saya? Jangan nyusahin keluarga saya!! Pergi sana! Saya mau tidur,” Pintu rumah di tutup keras oleh Bu Ratna.
Rafa pulang dengan langkah gontai, Bu Lastri melihat wajah anakmu pun mengerti, “tidak apa-apa nak, coba kamu ke pak rt saja. Siapa tau mereka mau bantu,” ujar Bu Lastri.
Tak berselang lama, Pak rt pun datang dengan dua hansip. Mereka mendapatkan pinjaman mobil dari pak rt. “Kita baw pak Adi ke rumah sakit sekarang, pak hansip satu tinggal di rumah dan satu lagi ikut saya ke rumah sakit. Bu Lastri dan Rafa ikut saya, biar Rara dan Riri di jaga pak hansip di rumah.” Jelas pak rt.
Bu Lastri pun merasa lega, saat mobil pak rt membawa suaminya ke rumah sakit. Setidaknya mereka punya rt yang sangat peduli dengan masyarakatnya tanpa memandang status.
Rara dan Riri, tinggal di rumah bersama hansip yang menjaga. Mereka di minta untuk berdiam di dalam rumah. Sementara pak hansip akan menjaganya di luar rumah.
“Riri, kamu jangan nagis lagi ya… Bapak sudah ditangani sama bu dokter, kita doakan Bapak Yu, biar cepat sembuh.” Kata Rara, berusaha membuat adiknya lebih tenang.
Dari arah jendela, Bu Ratna melihat mobil pak rt yang lewat depan rumahnya. “Ishh, ngapain sih pak rt, mau bantuin mereka? Keluarga kayak gitu nggak pantes di bantu. Ngapain juga bantuin mereka yang ngak bisa ngasih apa-apa ke kita nantinya. Palingan pak rt cuma di kasih ucapan terimakasih aja. Bensinnya ny ngak di bayar.” Ujar Bu Ratna sinis.
“Udahlah bu, biarin biar sembuh dia, biar besok bisa ngelajutin buat kolam di depan rumah kita. Bapak nggak mau harus bayar tukang lagi buat ngelajutin itu kolam. Biar si Adi aja, mumpung dia bisa kita bayar murah.” Ujar si Herman dengan santai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments