Perjalanan menuju Rumah Sakit Pusat Silverhaven terasa kabur. Elara terus menelepon kerabatnya, suaranya bergetar menahan tangis, sementara Jay mengemudikan mobil tua mereka dengan kecepatan yang stabil namun cekatan, melewati lalu lintas malam dengan fokus yang dingin. Keheningan di pihaknya terasa kontras dengan kepanikan Elara, namun entah mengapa, ketenangannya itu terasa seperti sebuah jangkar di tengah badai emosi istrinya.
Mereka tiba di ruang tunggu ICU yang steril dan mencekam. Lyra dan suaminya, Bastian Tremaine, sudah ada di sana. Wajah Lyra sembap karena air mata dan amarah.
"Ini semua salahmu!" desisnya begitu melihat Jay, menunjuk dengan jari gemetar. "Kalau saja Elara menikah dengan pria yang benar, ia tidak akan stres setiap hari, dan ibuku tidak akan terus-terusan mengkhawatirkan nasib cucunya!"
"Lyra, sudahlah," kata Bastian letih, memijat pangkal hidungnya.
Sebelum Jay sempat merespons, seorang dokter paruh baya keluar dari ruang ICU. Raut wajahnya serius. "Keluarga Nyonya Besar Tremaine?"
Semua orang langsung mengerubunginya. "Bagaimana kondisi ibu saya, Dok?" tanya Lyra cemas.
Dokter itu menghela napas berat. "Kami sudah melakukan yang terbaik. Terjadi penyumbatan arteri koroner akut. Jantungnya sangat lemah. Kami sudah mencoba berbagai tindakan, tapi responsnya minimal. Sejujurnya, saat ini kami hanya bisa berharap pada keajaiban. Sebaiknya keluarga bersiap untuk kemungkinan terburuk."
Vonis itu menghantam mereka seperti palu godam. Elara terisak dan bersandar pada dinding, tubuhnya lemas. Lyra meraung tertahan.
Saat itulah seorang pria muda yang gagah dengan setelan rapi datang terburu-buru. "Paman, Bibi, Elara... aku baru dapat pesan. Apa yang terjadi?"
Itu Kevin Zhang, putra dari mitra bisnis keluarga Tremaine dan seorang dokter muda yang kariernya sedang menanjak di rumah sakit paling bergengsi di ibu kota. Dia adalah pria yang selalu diharapkan Lyra menjadi menantunya.
Kevin dengan cepat mengambil alih situasi, berbicara dengan dokter menggunakan istilah-istilah medis yang rumit. Ia menelaah hasil CT scan di tablet, dan wajahnya pun berubah muram.
"Dokter benar," katanya pada keluarga Tremaine dengan nada prihatin. "Ini kasus yang sangat berat. Tidak banyak yang bisa dilakukan." Ia kemudian menoleh pada Elara, meletakkan tangan di bahunya dengan sikap melindungi. "Elara, aku turut prihatin. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah berdoa."
Lyra menatap Kevin dengan penuh terima kasih, lalu melirik Jay dengan kebencian murni. Di tengah para profesional medis, suaminya hanya berdiri diam di sudut, tampak tidak berguna seperti biasanya.
"Bisa aku melihat Nenek?"
Pertanyaan itu datang dari Jay. Suaranya pelan, namun terdengar jelas di tengah suasana duka.
Semua mata tertuju padanya. "Untuk apa?" bentak Lyra. "Kau mau mengejeknya di saat terakhirnya? Pergi dari sini!"
"Aku hanya ingin melihatnya sebentar," ulang Jay, tatapannya kini tertuju pada Elara.
Kevin tertawa kecil, tawa yang meremehkan. "Teman, tidak ada yang bisa kau lakukan. Serahkan ini pada ahlinya."
Tapi Elara, dalam keputusasaannya, menatap suaminya. Ia teringat gerakan tangan secepat kilat di meja makan. Ia teringat sisir kayu cendana yang dibuat dengan kelembutan. Entah didorong oleh apa, ia mengangguk pada perawat. "Sebentar saja."
Jay masuk ke dalam ruang ICU yang dipenuhi bunyi mesin. Nyonya Besar Tremaine terbaring pucat di ranjang, kabel dan selang melilit tubuhnya yang rapuh. Jay tidak melihat monitor atau grafik yang berkedip. Ia hanya berdiri di samping ranjang, menatap wajah sang nenek.
Ia mengamati warna kebiruan yang tipis di bawah kuku jarinya, melihat pola napasnya yang dangkal, dan mencium aroma samar yang aneh di udara—aroma yang tidak akan terdeteksi oleh orang biasa. Ia menyentuh cincin logam hitam di jarinya.
Seketika, di benaknya, bukan lagi Jay si menantu pengangguran yang berpikir. Ribuan tahun pengetahuan leluhur Valerius berputar. Teks-teks medis kuno, diagram jalur energi tubuh manusia yang rumit, dan catatan tentang penyakit-penyakit yang terlupakan oleh zaman modern melintas di kepalanya. Ini bukan penyumbatan biasa. Ini adalah kondisi langka yang disebut Pembekuan Energi Dingin—di mana energi vital di titik jantung membeku karena guncangan emosional dan pola makan yang salah selama bertahun-tahun, menyebabkan penyumbatan fisik yang tidak bisa ditembus oleh obat-obatan modern.
Jay keluar dari ruangan dengan ekspresi yang sama tenangnya.
Ia berjalan melewati Kevin dan Lyra, berhenti tepat di depan Elara yang sedang menangis.
"Aku bisa menyembuhkannya," katanya.
Keheningan sesaat, lalu pecah oleh tawa sarkastis Kevin. "Apa kau bilang? Menyembuhkannya? Kau pikir kau ini dewa? Para dokter spesialis terbaik di kota ini sudah menyerah!"
"Kau sudah gila!" jerit Lyra. "Elara, lihat suamimu! Di saat seperti ini dia masih sempat-sempatnya berhalusinasi! Usir dia!"
Jay tidak bergeming. Matanya hanya tertuju pada istrinya. "Aku butuh satu set jarum perak dan beberapa jenis tanaman herbal. Aku bisa menstabilkan jantungnya dalam satu jam."
"Omong kosong!" cibir Kevin. "Akupunktur untuk serangan jantung akut? Kau bisa membunuhnya! Itu malapraktik!"
Semua orang menatap Elara, menunggunya untuk mengusir suaminya yang tidak waras itu. Tekanan di pundaknya terasa begitu berat. Di satu sisi ada logika, sains, dan para dokter. Di sisi lain, ada suaminya yang aneh, yang memberinya hadiah paling perhatian yang pernah ia terima, yang bisa menghentikan mangkuk jatuh tanpa menumpahkan setetes pun isinya.
Ia menatap mata Jay. Tenang. Dalam. Penuh kepastian yang tak tergoyahkan. Itu bukanlah mata seorang pembohong atau orang gila.
Dalam keputusasaan total, sebuah benih kepercayaan yang rapuh mulai tumbuh.
Elara menegakkan punggungnya. Ia menghapus air matanya, dan dengan suara yang lebih kuat dari yang ia duga, ia membuat sebuah keputusan yang mengguncang semua orang di ruangan itu.
"Biar dia coba."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments