Keheningan yang mengikuti insiden mangkuk sup itu terasa lebih berat daripada semua cemoohan yang pernah dilontarkan Lyra. Makan malam ulang tahun pernikahan yang ketiga itu diakhiri tanpa sepatah kata pun. Lyra Tremaine, untuk pertama kalinya, tidak menatap Jay. Ia seolah takut pandangannya akan bertemu dengan sesuatu yang tidak ia pahami. Ayah Elara menyelesaikan makannya dengan cepat dan menghilang di ruang kerja.
Di kamar mereka yang sempit—lebih mirip gudang yang diubah fungsi—Elara duduk di tepi ranjang sambil menatap suaminya yang sedang melipat selimut dengan rapi. Pemandangan yang biasa, namun malam ini terasa berbeda. Pria yang sama yang mencuci piring dan membersihkan toilet tadi pagi adalah pria yang menghentikan waktu di meja makan.
"Jay," panggil Elara pelan, suaranya memecah keheningan di antara mereka.
Jay berbalik. Wajahnya tenang seperti biasa. "Ya?"
"Tadi... di meja makan. Bagaimana kau melakukannya?" tanyanya langsung. Ia tidak bisa lagi berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
Jay berhenti sejenak, seolah memikirkan jawaban yang tepat. "Refleks, mungkin," jawabnya singkat.
"Refleks?" Elara menggeleng tak percaya. "Itu bukan refleks, Jay. Aku melihatnya. Tanganmu... mangkuk itu... tidak masuk akal. Kau bahkan tidak terlihat terkejut."
Jay berjalan mendekat dan duduk di kursi kayu tua di hadapan istrinya. Ia menatap Elara dengan tatapan yang jarang ia tunjukkan, sebuah kelembutan yang dalam. "Mungkin aku hanya lebih cepat dari yang kau kira selama ini."
Jawaban itu tidak memuaskan Elara, tetapi ia tahu ia tidak akan mendapatkan lebih. Selama tiga tahun, suaminya adalah sebuah teka-teki yang terbungkus dalam kesederhanaan. Malam ini, ia baru sadar bahwa ia bahkan belum membuka halaman pertama dari teka-teki itu.
"Aku... aku minta maaf soal Ibu," kata Elara, mengubah topik.
"Aku sudah terbiasa," jawab Jay tanpa beban. Lalu, ia merogoh saku celananya yang usang dan mengeluarkan sebuah benda kecil terbungkus kain. "Ini untukmu."
Elara menerimanya dengan ragu. Ia membuka bungkusan kain itu. Di telapak tangannya, tergeletak sebuah sisir kayu sederhana. Namun, sisir itu luar biasa. Dibuat dari kayu berwarna gelap kemerahan, permukaannya halus sempurna seolah dipoles ribuan kali. Setiap geriginya diukir dengan presisi yang mustahil dikerjakan oleh tangan biasa. Aroma wangi yang menenangkan menguar lembut dari sisir itu.
"Ini... indah sekali," bisik Elara, terpukau. "Tapi, Jay, dari mana kau mendapatkan uang untuk ini?"
"Aku tidak membelinya. Aku membuatnya," jawab Jay. "Itu kayu Cendana Merah. Aku menemukannya saat bekerja serabutan di pelabuhan beberapa waktu lalu." Ia menatap rambut Elara. "Kau sering mengeluh sakit kepala setelah bekerja. Leluhurku pernah berkata, menyisir rambut dengan kayu cendana sebelum tidur bisa melancarkan peredaran darah di kepala dan membuat tidur lebih nyenyak."
Elara terdiam. Hadiah itu begitu personal, begitu penuh perhatian. Bukan perhiasan mahal yang biasa dipamerkan teman-temannya, tetapi sesuatu yang jauh lebih berharga. Sesuatu yang menunjukkan bahwa di balik sikap diamnya, Jay selalu memperhatikannya. Tanpa sadar, matanya terasa panas.
Malam itu, setelah Elara tertidur pulas dengan napas teratur—aroma cendana samar-samar tercium di kamar—Jay duduk sendirian di tepi jendela, menatap lampu kota Silverhaven yang berkelip di kejauhan.
Ia mengangkat tangan kirinya. Di jari manisnya, tersemat sebuah cincin yang tidak pernah ia lepas. Cincin itu tampak kusam dan tua, terbuat dari logam hitam yang tidak memantulkan cahaya. Tanpa hiasan, tanpa permata. Cincin yang akan diabaikan oleh siapa pun.
Jay mengusap permukaan cincin itu dengan ibu jarinya. Cincin Valerius.
"Menggunakan kekuatan ini, bahkan untuk hal sekecil itu, selalu berisiko," bisiknya pada dirinya sendiri, pada keheningan malam. Ia tahu insiden tadi akan menimbulkan pertanyaan. Pertanyaan adalah awal dari perhatian, dan perhatian adalah hal terakhir yang ia inginkan. Ia hanya ingin menjalani sisa hidupnya dalam ketenangan, sebuah kemewahan yang telah direnggut darinya sejak ia masih kecil.
Tiba-tiba, keheningan dipecah oleh dering ponsel Elara yang diletakkan di atas meja nakas. Getarannya terasa begitu keras di kamar yang sunyi.
Elara terbangun kaget. Dengan mata setengah terpejam, ia meraih ponselnya. "Halo?"
Jay memperhatikan perubahan di wajah istrinya. Kantuknya langsung sirna, digantikan oleh kepanikan.
"Apa? Di rumah sakit mana? Kami segera ke sana!"
Elara menutup telepon dengan tangan gemetar. Ia menatap Jay dengan mata berkaca-kaca.
"Jay," suaranya bergetar. "Nenek... Nenek pingsan lagi. Kata dokter, kondisinya kritis."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 83 Episodes
Comments