BAB 5

Angkasa memakai celananya, dan duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di atas pangkuannya, menunggu Hana yang sedang berada di kamar mandi. Pikirannya dipenuhi perasaan bersalah dan penyesalan atas apa yang telah dilakukannya kepada gadis itu.

Tiba-tiba, suara pintu kamar mandi terbuka membuat Angkasa tersadar dari lamunannya. Hana berjalan keluar dengan rambut basah dan wajah pucat, matanya sembab menandakan bahwa dia baru saja menangis. Angkasa merasa seperti ditikam melihat pemandangan itu, dan hatinya semakin bersalah.

Hana menatap Angkasa dengan pandangan kosong dan tak bersemangat, seolah-olah dia telah kehilangan segalanya dalam hidupnya. Dia berjalan perlahan menuju sofa, memeluk tubuhnya sendiri sambil menundukkan kepala.

Angkasa ingin mengatakan sesuatu, namun tak tahu harus berkata apa. Dia merasa tidak pantas meminta maaf, karena apa yang telah terjadi tidak akan bisa diubah atau diperbaiki hanya dengan permintaan maaf. Namun, dia juga tetap harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah ia lakukan pada gadis itu.

Dalam keheningan yang menyakitkan, mereka berdua terdiam, terjebak dalam lubang kegelapan perasaan mereka masing-masing. Ketika akhirnya Angkasa mengumpulkan keberanian untuk membuka suara, kata-kata itu terasa berat dan pahit di mulutnya.

"Aku minta maaf sudah merenggut kesucian mu," ucap Angkasa dengan suara parau.

"Aku tahu tidak ada kata maaf yang cukup untuk menggantikan apa yang telah hilang darimu, tapi aku berjanji akan bertanggung jawab " lanjutnya.

Hana menatap Angkasa dengan air mata yang mulai menggenang di matanya, namun dia tidak menjawab. Hatinya masih terluka, dan meskipun dia mendengar penyesalan dalam suara suaminya, dia belum bisa memaafkan pria itu.

Angkasa menarik nafas dalam-dalam sebelum perlahan membuka laci meja yang berada di sampingnya. Dari dalam laci tersebut, dia mengeluarkan sebuah buku cek dan mulai menuliskan sejumlah nominal yang cukup besar. Setelah selesai, dia merobek cek itu dari bukunya dan mengulurkannya kepada Hana yang masih terpaku di tempatnya.

"Ini sebagai permintaan maaf atas kesalahan yang sudah aku lakukan padamu," ucap Angkasa dengan nada suara yang serius dan penuh penyesalan.

Hana menatap Gio dengan tatapan tidak percaya, seolah-olah dia tidak bisa menerima kenyataan yang ada di depan matanya. Hatinya merasa hancur, bukan karena uang yang ditawarkan oleh Angkasa, melainkan karena harga yang diberikan untuk sesuatu yang begitu berharga baginya.

"Apakah sebuah kesucian bisa digantikan dengan sejumlah uang?" gumam Hana dalam hati, merasa sakit karena dianggap begitu rendah oleh pria yang baru saja menikahinya. Namun dia sadar, kalau dia sudah tidak memiliki harga diri di hadapan laki-laki itu.

"Sebegitu rendah kah aku di matamu?" tanya Hana.

Angkasa menatap Hana dengan perasaan bingung, tidak tahu harus menjawab apa untuk memperbaiki keadaan. Namun, Hana hanya menggelengkan kepalanya pelan, lalu berbalik pergi, meninggalkan cek yang masih berada di tangan Angkasa.

Angkasa merasa dengan uang segala sesuatunya bida dengan mudah untuk di selesaikan. Namun ternyata dugaannya salah, gadis itu menolak uang yang ia berikan.

******

Angkasa berjalan mondar-mandir di ruangan kerjanya dengan wajah murung dan tegang. Victor, mengamati ekspresi tuannya dengan kekhawatiran.

"Anda kenapa, Tuan?" tanya Victor dengan nada hati-hati, takut untuk mengganggu lamunan Angkasa yang sedang menghadapi dilema besar.

"Aku sudah menidurinya, Vic," ucap Angkasa sambil menjambak rambutnya frustasi."Semalam aku mabuk dan tidak sengaja meniduri dia." ungkapnya

Victor mencoba untuk mencari sisi positif dari situasi tersebut. "Bukankah itu hal yang bagus, Tuan? Dengan begitu Anda akan segera memiliki keturunan, sesuai permintaan Tuan Besar Lu." Angkasa menatap asistennya dengan pandangan yang semakin gelap.

"Tapi aku sudah melanggar perjanjian yang aku buat Vic. Di dalam perjanjian itu tertulis, tidak ada sentuhan fisik selama mereka menjadi suami istri," ucap Angkasa, suaranya penuh penyesalan dan kesedihan.

Victor ikut merasa prihatin melihat tuannya begitu terpukul. Angkasa duduk di sofa, menundukkan kepala sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Sedangkan Victor berdiri di hadapannya, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur tuannya dalam kesulitan ini.

"Sudahlah tuan, itu sudah menjadi kewajiban nyonya Hana melayani anda" ucap Victor tidak mau ambil pusing, toh sudah terjadi, mau di kembalikan ke bentuk semula juga sudah tidak bisa.

"Kamu benar, dia istriku, suda seharusnya dia melayani aku sebagai suaminya" ucap Angkasa yang mulai terpengaruh oleh perkataan asistennya itu.

Dia kembali tenang, dia tidak lagi memikirkan masalahnya dengan Hana, pria itu kembali fokus mengerjakan pekerjaannya.

Sementara itu di waktu yang sama, Hana sedang berada di rumah sakit menjenguk adiknya yang baru saja sadarkan diri.

"Bagaimana kabarmu" tanya Hana sambil mengusap puncak kepala adiknya.

"Maaf, aku sudah membuat kakak khawatir" ucap Zaka lirih.

"Lain kali hati-hati, kalau mau nyebrang lihat kanan kiri dulu, jangan asal nyebrang saja. Beruntung ada orang baik yang membantu kakak, sehingga kakak bisa membayar semua biaya pengobatan mu" omel Hana.

Jujur saja Hana merasa bahagia sekaligus khawatir dengan adiknya itu. Ia takut terjadi sesuatu dengan adiknya, karena hanya Zaka satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini. Ia tak henti-hentinya mendoakan adiknya semoga selalu dalam lindungan Tuhan.

Di usianya yang masih tujuh belas tahun, Zaka memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya demi mengurangi beban kakaknya, yang selama ini sudah bekerja keras sebagai penjaga toko. Meskipun dia ingin kuliah, tetapi dia menahannya agar tidak menjadi beban untuk kakaknya. Dia lebih memilih bekerja membantu keuangan kakaknya.

Setiap pagi, Zaka berjualan koran dengan bersepeda mengelilingi kota. Ia selalu menyapa para pembeli dengan senyuman yang tulus, dan tak jarang membuat mereka jatuh hati padanya.

Namun, di balik kebahagiaan itu, Hana selalu merasa khawatir akan keselamatan adiknya. Suatu hari, saat Zaka hendak menyeberang jalan setelah menjual koran di salah satu pertigaan, tiba-tiba dari arah kanan muncul sebuah mobil yang melaju dengan sangat kencang. Hana yang melihat kejadian itu dari kejauhan berteriak, "Zaka, awas!" Refleks.

Brakk......

Mobil sport berwarna merah itu melaju kencang, tak peduli dengan keselamatan pengguna jalan lainnya. Mobil tersebut melintas begitu saja, dan terjadilah tabrakan yang mengerikan.

Tubuh Zaka, terpental sejauh dua meter akibat benturan keras tersebut.

Hana yang menyaksikan kejadian itu langsung bergegas berlari mendekati adiknya yang terbaring di aspal. Jantungnya berdegup kencang, ketakutan dan khawatir bercampur menjadi satu.

Dengan hati-hati, ia memeluk Zaka erat sambil menahan isak tangis yang menggulung-gulung di dalam dadanya. "Adikku, kamu baik-baik saja kan?" tanya Hana dengan suara yang lirih, penuh harap.

Zaka mencoba tersenyum, meski sakit yang dirasakannya begitu menusuk-nusuk. "Kakak, aku baik-baik saja. Jangan khawatir," ucapnya sebelum akhirnya tubuhnya menyerah.

Tak lama kemudian, Zaka tak sadarkan diri. Darah segar mengalir deras dari kepalanya, membuat Hana semakin panik. Hana berteriak histeris, memanggil pertolongan. Tangisnya pecah, tak mampu lagi ia tahan.

Terpopuler

Comments

Nancy Nurwezia

Nancy Nurwezia

emangnggak tanggung jawab yang nabraknya?

2025-09-17

0

cetom😘😘

cetom😘😘

angkasa torrrrr

2025-09-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!