BAB 3

Pagi itu, suasana pernikahan Angkasa dan Hana terlihat sederhana. Hanya ada beberapa kerabat dekat yang hadir, sementara dari pihak Hana tidak ada satupun keluarga yang datang. Kedua orang tua Hana sudah lama meninggal, dan sang adik satu-satunya keluarga yang tersisa, sedang dirawat di rumah sakit setelah menjalani operasi pendarahan otak.

Hana berdiri di samping Angkaaa dengan gaun pengantin sederhana, menatap nanar ke arah luar jendela. Hatinya bimbang dan berat, namun demi kesembuhan adiknya, ia rela mengorbankan masa depannya bersama Angkasa.

Sementara itu, Angkasa merasakan keheningan dan kesedihan yang menyelimuti upacara pernikahan mereka. Ia menatap menatap datar orang-orang yang hadir di acara pernikahannya, baginya pernikahannya dengan Hana hanya sebatas formalitas saja.

Akad nikah pun selesai dengan lancar, tanpa ada kesalahan kata atau suara tangis bahagia dari keduanya.

Setelah upacara pernikahan selesai, Angkasa mengajak Hana masuk kedalam kamarnya. Dia tidak perduli dengan keluarganya yang masih berkumpul di rumahnya.

Hana duduk di tepi ranjang dengan penuh kegugupan, menundukkan kepalanya sambil memilin bajunya. Hatinya berdebar kencang, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Angkasa berjalan menuju ruang ganti dan mengambil sebuah map berwarna merah. Setelah itu, ia kembali ke ruangan dan menyerahkan map tersebut kepada Hana.

Tatapan matanya tajam, namun ada sedikit kelembutan di baliknya. "Tanda tangani surat ini," perintah Angkasa dengan suara yang cukup keras, namun masih terdengar lembut. "Jika kau keberatan dengan isinya, katakan saja. Aku akan menggantinya"

Hana mengangkat kepalanya perlahan dan menerima map merah tersebut dengan gemetar. Matanya menatap surat yang ada di dalam map, mencoba memahami apa yang tertulis di sana. Wajahnya tampak pucat, membaca tulisan tersebut.

Angkasa hanya diam, menunggu Hana selesai membaca dan memberikan keputusannya. ia berharap gadis itu bisa menerima apa yang ada di dalam surat perjanjian tersebut.

Setelah beberapa menit yang terasa sangat lama, Hana akhirnya mengangguk pelan. Ia mengambil pena yang diberikan Angaksa, dan menandatangani surat tersebut dengan tangan yang masih gemetar. Kemudian, Hana mengembalikan map merah itu kepada Angkasa yang menatapnya penuh intimidasi, membuat Hana takut menatap laki-laki yang baru resmi menjadi suaminya itu.

Angkasa tersenyum tipis, mengangguk puas dengan keputusan Hana. Ia tahu, keputusan yang baru saja diambil wanita itu bukanlah hal yang mudah. Namun, Hana menerimanya dengan lapang dada, tidak merasa keberatakan dengan isi perjanjian yang sudah dia buat.

"Ini untukmu, di dalam sini ada uang untuk membiayai kebutuhanmu dan juga adikmu" ucap Angkasa sambil memberikan kartu berwarna gold kepada Hana.

Hana menatap kartu tersebut dengan perasaan ragu dan campur aduk. Ia baru saja menikah dengan Angkasa, seorang pria kaya raya yang tak pernah ia duga sebelumnya akan menjadi suaminya. Baru sehari menjadi istrinya, Hana merasa hidupnya berubah drastis. Banyak kemudahan yang ia dapatkan dari pria itu, termasuk kartu yang ada di tangannya saat ini.

"Tapi sepertinya saya tidak membutuhkannya tuan, saya masih memiliki sisa uang yang kemarin," ucap Hana menolak kartu pemberian Angkasa.

Dia tidak ingin terlihat seperti memanfaatkan kekayaan suaminya. Sebagai wanita yang selalu mandiri, dia hanya membutuhkan uang untuk biaya operasi adiknya saja, dan itu sudah ia terima dari Angkasa kemarin. Selebihnya, dia ingin mencari sendiri dengan bekerja sebagai karyawan di sebuah toko.

Angkasa menatap Hana dengan penuh pengertian, "Simpan saja, suatu saat kamu pasti akan membutuhkannya" ucap Angkasa.

Hana mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya. "Terima kasih, Tuan Angkasa," ucapnya dengan suara lirih.

"Hmmm" balas Angkasa. "Ikut aku" ucap Angkasa seraya bangkit dari tempat duduknya.

Hana mengangguk lemah, lalu berjalan perlahan mengikuti langkah Angkasa dari belakang. Begitu membuka pintu, ia terkesima melihat berbagai pakaian wanita yang tersusun rapi di dalam lemari. Hana merasa bingung, apakah pakaian-pakaian itu memang sengaja disiapkan untuknya, atau mungkin ada wanita lain yang sering menginap di kamar ini?

"Ganti pakaianmu, setelah ini kita akan makan malam" ucap Gio dan keluar dari ruang ganti meninggalkan Hana sendirian di ruang ganti.

Hana memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya, sebab menurutnya hal itu bukanlah urusannya. Dia memilih sebuah gaun yang terlihat elegan, dengan warna yang lembut dan cocok untuk acara makan bersama keluarga. Ia menggantungkan gaun itu di bahunya, lalu memandang dirinya di depan cermin.

Setelah merasa yakin dengan pilihan gaunnya, Hana mengenakannya dengan hati-hati.

Sementara itu, raut wajah Angkasa tampak kesal menunggu istrinya yang belum selesai mengganti pakaiannya, padahal sudah tiga puluh menit ia menunggu.

Tak lama Hana akhirnya keluar dari ruangan dengan gaun yang ia kenakan, Angkasa merasa terpesona dengan penampilan istrinya, tetapi dia buru-buru memalingkan pandangannya ke arah lain.

"Kamu ini ngapain aja sih? Ganti pakaian aja lama banget" omel Angaksa.

"Maaf tuan, tadi saya memilih baju terlebih dahulu. Soalnya saya bingung harus mengenakan baju yang mana" ucap Hana membela diri.

"Hmmm" gumam Angkasa tidak jelas.

Pria itu bangkit dari tempat duduknya dan segera melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya, di ikuti sang istri di belakangnya. Mereka pun turun kebawah menuju ke ruang makan.

"Ingat, kita harus terlihat mesra di depan keluargaku. Jangan sampai mereka mencurigainya" peringatnya kepada Hana sebelum tiba di ruang makan.

"Baik tuan" jawab Hana.

"Jangan panggil aku tuan, panggil yang lain" ucap Angaksa, membuat Hana berdecak kesal.

"Iya mas Angkasa" ucap Hana penuh penekanan.

Angkasa merasakan gelayar aneh mendengar panggilan Hana.

Saat tiba di ruang makan, semua mata tertuju pada Angkasa dan Hana yang baru saja muncul. Keduanya tampak canggung berjalan bersama, terutama Hana yang merasa tidak nyaman dengan tatapan mereka terutama tatapan jahil Levi.

"Sepertinya pengantin baru kita sudah tidak sabar untuk melakukan malam pertama. Sampai-sampai dia mengabaikan kita yang masih berada di rumah ini," ujarnya sambil mengejek.

Angkasa yang merasa kesal dengan sindiran Levi, membalas dengan tegas. "Diamlah, Lev. Cepetan makan dan segera pergi dari rumahku," ucapnya, membuat wajah Levi berubah, dan mulutnya langsung bungkam.

"Ayo kita makan, kakek sudah lapar menunggu kalian berdua" lerai tuan besar Lu.

Angkasa dan Hana mendudukkan tubuhnya di kursi kosong. Mereka mulai mengisi piringnya dengan nasi dan juga lauk pauk.

Usai makan mereka langsung berpamitan pulang. "Kami pulang dulu, jangan lupa sering-sering berkunjung ke rumah ibu" ucap Melinda kepada Angkasa yang sudah dia anggap anak sendiri.

"Iya bu, nanti aku ajak istriku juga" ucap Angkasa menyebut kata istriku.

Pria itu sangat menghormati Melinda, berkat wanita itu, dia merasakan kasih sayang seorang ibu yang tidak pernah ia dapatkan dari ibu kandungnya sendiri.

Kini giliran tuan besar Lu yang berpamitan dengan sang cucu.

"Kamu memang sudah menikah, tapi kakek tidak akan memberikan perusahaan Lu pada mu sebelum istrimu melahirkan penerus keluarga Lu" ucap kakek Lu dan berlalu begitu saja meninggalkan Angkasa yang mematung.

Angkasa mengepalkan tangannya kuat, dia merasa di permainkan oleh kakeknya.

Terpopuler

Comments

Nureliya Yajid

Nureliya Yajid

semangat thor

2025-09-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!