Bab 05 : Kekuatan Luar

Viscount Vulpes? Rubah pengkhianat! Aku mencoret nama mereka dalam benakku dengan tinta beracun.

Baron Harley? Terlalu lemah, tidak punya pengaruh signifikan di ibu kota untuk menandingi seekor ular.

Count Morgan? Mereka punya utang yang lebih besar dari kami; meminta bantuan mereka seperti meminta orang tenggelam untuk melemparkan pelampung.

Satu per satu, aku menyingkirkan mereka semua dari daftar. Mereka terlalu lemah, terlalu jauh, atau yang paling buruk, terlalu terikat pada fraksi politik Marquess Tyran.

Aku butuh seseorang yang berseberangan dengan fraksinya, atau lebih baik lagi, seseorang yang memiliki kekuatan politik yang lebih besar dari ular itu. Seseorang yang taringnya lebih tajam dan bisa menggigit lebih dalam.

Daftar nama dalam buku tebal di hadapanku akhirnya sampai pada halaman Keluarga Kerajaan. Mataku tertuju pada satu nama: Duke Raymond Leonian. Rambut pirang dan mata biru. Usia 24 tahun. Adik bungsu Kaisar, Ketua baru fraksi Royalis, dan Komandan pasukan kavaleri sihir kekaisaran.

Di bawahnya tertulis daftar prestasinya yang panjang dan satu catatan penting yang membuat jantungku berdetak lebih cepat: "Dikenal selalu memiliki pandangan politik yang berseberangan dengan Marquess Tyran (Ketua fraksi bangsawan) terkait otonomi wilayah perbatasan."

Sempurna.

Dia target sempurna.

Aku ingat dia dari kehidupanku yang lalu.

Sebagai istri Marquess, aku sering mendengar namanya disebut dengan nada jengkel di ruang kerja suamiku. Duke Raymond adalah lawan politiknya yang paling merepotkan.

Pria itu cerdas, kuat, dan sangat patriotik. Dia melihat ambisi Marquess yang tak terbatas sebagai ancaman laten bagi stabilitas kekaisaran. Dia bukan sekadar lawan; dia adalah penyeimbang yang disokong oleh Kaisar.

Aku juga ingat satu data penting tentangnya, sebuah gosip yang kuanggap remeh dulu tapi kini terasa seperti secercah harapan. Untuk menghindari para penjilat, Duke sering menyamar sebagai sarjana biasa dan mengunjungi tempat-tempat umum untuk melihat dunia dari sudut pandang rakyatnya. Tempat favoritnya adalah Galeri Seni Kerajaan.

Sebuah rencana, sebuah pertaruhan gila, mulai terbentuk di benakku yang lelah. Aku harus menemuinya.

Aku harus memberinya umpan.

Dan tidak ada umpan yang lebih baik daripada kelemahan Marquess Tyran, sebuah skema kotor yang disamarkan sebagai investasi brilian.

Aku harus membuktikan bahwa sang laksamana yang diagungkan itu sebenarnya adalah seorang bajak laut.

Bisakah aku? Keraguan itu terasa dingin dan licin, mencoba melumpuhkan tekadku. Menghadapi anggota keluarga kerajaan dengan tuduhan sebesar ini adalah tindakan bunuh diri.

Tidak.

Aku harus bisa. Karena alternatifnya adalah kembali ke kehidupan itu, ke sangkar ular itu, sebuah takdir yang lebih buruk dari kematian.

Malam itu aku tidak memejamkan mata. Aku merencanakan setiap kata, setiap ekspresi, setiap kemungkinan jawaban.

Aku memetakan seluruh galeri dalam benakku, memilih aula yang paling tepat, lukisan yang paling relevan. Ketika fajar akhirnya menyingsing, mewarnai langit dengan warna ungu dan oranye, aku sudah siap. Baik untuk memainkan peran seumur hidupku, atau untuk menerima kekalahan telak.

Pagi berikutnya, kamarku adalah medan perang yang sunyi.

Pecahan vas porselen tergeletak di sudut seperti tulang belulang, dan selimut sutra yang robek menjuntai dari tempat tidur laksana bendera kekalahan.

Lila masuk dengan nampan sarapan dan tersentak kaget, matanya membelalak ngeri melihat kekacauan itu.

"Nona... apa yang terjadi?" bisiknya, ketakutan.

Aku sedang duduk di depan cermin, menyisir rambutku dengan gerakan yang tenang dan terukur. Di cermin, aku melihat wajahku yang pucat namun mataku menyala dengan api yang dingin.

Kemarin aku hancur. Kemarin aku menangis. Hari ini, tidak ada lagi air mata yang tersisa. Yang ada hanya baja.

"Aku hanya sedikit... terpeleset," jawabku datar. "Tolong bersihkan, Lila. Dan siapkan gaun merah tua terbaikku. Aku akan menemui Ayah."

Wajah Lila pucat pasi. "Nona, Tuan Count sangat marah kemarin. Mungkin lebih baik..."

"Sekarang, Lila," potongku, suaraku tidak menyisakan ruang untuk perdebatan.

Aku menghadapi Ayah di ruang kerjanya. Dia tidak menyuruhku masuk, jadi aku berdiri di ambang pintu, menampilkan wajah yang paling penurut dan menyesal yang bisa kubuat. Itu adalah sebuah pertunjukan. Setiap kata, setiap gestur, telah kulatih di depan cermin selama satu jam.

"Ayah," kataku lirih. "Saya minta maaf atas kelancangan saya kemarin. Saya telah merenung. Ayah benar, saya seharusnya fokus pada tugas saya."

Aku menunduk. "Saya telah mempertimbangkan tawaran Ayah yang murah hati. Saya... ingin sekali memiliki guru seni. Jika diizinkan, saya ingin mengunjungi Galeri Seni Kerajaan hari ini untuk memilih calon tutor."

Dia menatapku lama, matanya yang tajam dan penuh curiga mencoba menembus topengku. Aku menahan napas, menjaga ekspresiku tetap polos dan tulus. Ini adalah pertaruhan pertamaku.

Akhirnya, dia mendengus, seolah membuang serangga yang mengganggu. "Baiklah. Pergilah. Tapi kau harus kembali sebelum senja. Dan jangan membuat masalah!"

"Terima kasih, Ayah," kataku sambil menundukkan kepala, menyembunyikan mata yang dipenuhi tekad dan cemas.

Perjalanan ke ibu kota terasa seperti perjalanan menuju tiang gantungan. Kenangan itu... Mimpi buruk itu...

Lila yang gembira karena akhirnya bisa keluar dari kediaman, berceloteh tanpa henti tentang toko-toko dan gaun-gaun terbaru. Aku tidak mendengarkannya. Jantungku tidak tenang.

Pikiranku terus berputar, mengulang-ulang rencanaku. Ini bukan hanya pertaruhan 60.000 koin emas. Ini adalah pertaruhan untuk nyawaku yang kedua.

Satu kesalahan kata, satu tatapan yang salah, dan semua ini akan berakhir. Aku akan dikurung selamanya di rumah dan akan berakhir dalam pernikahan dengan Marquess Tyran lagi. Memori dingin dari bilah pedangnya terasa begitu nyata di leherku.

Galeri Seni Kerajaan menjulang megah, pilar-pilar marmernya berkilauan di bawah sinar matahari. Di dalamnya, suasananya hening dan agung.

Suara langkah kaki kami menggema di lantai yang dipoles. Lukisan-lukisan raksasa dari para maestro menatap kami dari dinding, mengabadikan sejarah kemenangan dan tragedi kerajaan. Tapi aku tidak di sini untuk mengagumi seni. Aku sedang berburu. Berburu singa.

"Nona, lihat lukisan Ratu pertama itu! Cantik sekali," bisik Lila penuh kekaguman.

"Indah," jawabku singkat, mataku terus memindai setiap sudut ruangan, setiap pengunjung. Aku mencari seseorang yang tidak ingin ditemukan.

Aku tidak mencari jubah berhias lambang kerajaan. Aku mencari sesuatu yang lain. Postur tubuh seorang prajurit, tatapan mata yang tajam dan analitis, atau cara berjalan yang terlalu percaya diri untuk seorang sarjana biasa.

Kami berjalan melalui beberapa aula. Aula potret. Aula pemandangan alam. Jantungku mulai berdebar kencang karena cemas. Setiap detik yang berlalu terasa seperti tetesan air es di kulitku.

Setiap wajah asing yang kulihat adalah kekecewaan kecil yang menusuk. Kami telah melewati berbagai Aula, lorong-lorong yang dipenuhi patung pahlawan, bahkan taman dalam ruangan. Dia tidak ada di mana pun.

Kepalaku mulai terasa ringan. Rasa panik yang dingin mulai merayap naik dari perutku.

Data itu salah. Tentu saja salah. Untuk apa seorang Duke Muda membuang-buang waktunya di tempat seperti ini? Aku bodoh. Naif. Aku telah mempertaruhkan segalanya pada gosip murahan, sama seperti yang Ayah tuduhkan padaku.

"Nona, kaki saya pegal," keluh Lila pelan di sisiku. "Mungkin kita bisa beristirahat sebentar?"

Kekecewaan terasa seperti empedu pahit di tenggorokanku. "Kau benar, Lila," bisikku, suaraku nyaris tak terdengar. "Mungkin... mungkin kita pulang saja."

Aku sudah kalah. Kalah lagi.

Mungkin lebih baik aku memikirkan bagaimana cara mengatasi krisis setelah kapal itu karam daripada mencegahnya.

Mungkin aku harus mulai menabung secara diam-diam untuk melarikan diri. Ya, melarikan diri terdengar lebih masuk akal daripada menantang seekor ular hitam raksasa.

Aku berbalik, hatiku terasa hampa. Di depanku, terbentang aula terakhir yang belum kami masuki. Aula Kemenangan Maritim. Tempat yang didedikasikan untuk kemenangan-kemenangan angkatan laut kekaisaran.

Ironisnya, sebagian besar lukisan baru di sana dilukis oleh para istri Marquess Tyran, sebagai persembahan untuk suami mereka yang perkasa.

Bahkan di masa depan, lukisanku juga... Tunggu, bukankah itu...?

Di sana... di depan lukisan terbesar di ruangan itu... aku melihatnya.

Seorang pria muda berdiri sendirian, tenggelam dalam pemandangan pertempuran laut yang kacau di atas kanvas.

Pakaiannya sederhana, tapi aku bisa melihat kekuatan dalam caranya berdiri, kecerdasan dalam caranya memiringkan kepala.

Itu dia. Aku yakin itu dia.

Rasa lega yang membanjiri diriku begitu dahsyat, hingga membuat lututku lemas. Tapi lega itu segera digantikan oleh gelombang rasa takut yang baru dan lebih besar.

Ini dia. Panggungku. Tidak ada jalan untuk kembali.

Aku menarik napas dalam-dalam, menenangkan tanganku yang gemetar. Aku menuntun Lila untuk berdiri tidak jauh darinya. Jantungku berdebar begitu keras di rusukku, rasanya seperti seekor burung yang terperangkap, berusaha melepaskan diri.

Dia tidak menoleh, matanya terpaku pada lukisan "Armada Penakluk Badai."

Aku harus memberinya umpan. Sekarang juga.

"Lihatlah lukisan yang menyimpan strategi perang Laksamana Agung ini, Lila," kataku, suaraku sedikit bergetar, tapi kuusahakan terdengar jelas. "Semua orang mengira dia sedang mundur. Padahal, dia sengaja membiarkan armada musuh mengejarnya, menggiring mereka langsung ke jantung badai yang dia tahu akan datang."

Hening. Dia tidak bergerak. Selama tiga detik yang terasa lama, aku yakin aku telah gagal total.

Hancur sudah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!