Bab 04 : Dinding Patriarkal

Kenop pintu itu berputar tanpa suara.

Jantungku seolah berhenti berdetak, lalu berdentam begitu keras hingga aku yakin suaranya bisa meretakkan tulang rusukku.

Aku menekan tubuhku lebih dalam ke bayang-bayang rak buku, menahan napas hingga paru-paruku terasa seperti akan meledak. Map di tanganku terasa seperti batu bara yang membara.

Pintu terbuka dengan derit pelan yang menyiksa.

Sesosok bayangan tinggi dan besar melangkah masuk. Bahkan dalam kegelapan, aku mengenali siluet itu. Bahunya yang lebar, posturnya yang kaku. Ayah. Itu ayahku.

Dia tidak menyalakan lampu. Ruangan itu tetap remang-remang, hanya diterangi oleh cahaya bulan yang keperakan.

Dia berjalan ke mejanya, melewati tempat persembunyianku hanya dengan jarak beberapa langkah, lalu menuangkan segelas brendi dari botol kristal. Dia tampak lelah. Garis-garis di wajahnya terlihat lebih dalam di bawah cahaya bulan.

Dia meneguk minumannya dalam sekali tegukan, lalu berdiri diam menatap ke luar jendela selama beberapa saat. Pikirannya tampak jauh, mungkin sudah menghitung keuntungan dari investasi bodohnya.

Ironis sekali.

Marquess Tyran telah menaruh keluarga Hartwin di celah rahang ularnya yang besar, tetapi Ayah sama sekali tidak menyadarinya.

Setelah apa beberapa waktu, dia menghela napas panjang, meletakkan gelasnya kembali, dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan pintu sedikit terbuka.

Aku menunggu, tidak bergerak, selama lima menit penuh. Setiap detik terasa seperti satu jam. Hanya ketika aku mendengar suara pintu kamar tidurnya ditutup di seberang lorong, barulah aku berani melepaskan napas yang kutahan.

Kakiku gemetar saat aku menyelinap keluar dari ruang kerja dan kembali ke kamarku. Aku tidak membuat suara sedikit pun.

Saat pintu kamarku tertutup di belakangku, barulah aku bersandar padanya dan meluncur ke lantai, tubuhku akhirnya menyerah pada getaran yang hebat.

Aku berhasil. Tapi itu terlalu dekat. Terlalu berbahaya. Aku terlalu terburu-buru... tapi... memangnya aku punya pilihan? Aku tidak punya banyak waktu.

Aku harus bergegas.

Aku menghabiskan sisa malam dengan terjaga, duduk di meja tulisku di bawah cahaya lilin. Menyalin isi kontrak bodoh itu.

Map dari ruang kerja Ayah sudah kukembalikan, tetapi setiap kata, setiap angka, telah terpatri dalam ingatanku dan salinan itu. 60.000 koin emas. Asuransi 15%. Jadwal berlayar 28 Maret. Angka-angka ini adalah detak jam menuju kehancuran kami.

Pagi berikutnya, aku sengaja turun lebih awal. Aku tahu Ayah selalu berjalan-jalan di taman mawar sebelum sarapan. Aku "secara kebetulan" berada di sana, berpura-pura sedang mengagumi bunga-bunga yang mekar.

Benar saja, langkah kakinya yang berat terdengar di jalan setapak di belakangku.

"Elira," sapanya. Suaranya tidak sekeras kemarin. Mungkin suasana pagi yang tenang sedikit melunakkan hatinya.

Aku berbalik dan tersenyum lembut. "Selamat pagi, Ayah."

Dia berhenti di sampingku, menatap profil wajahku. "Kau semakin terlihat seperti ibumu," gumamnya, sebuah komentar langka yang nyaris terdengar seperti pujian. "Kecantikan adalah aset yang kuat, Nak. Jika digunakan dengan benar bahkan bisa menggenggam dunia."

Aku tahu ke mana arah pembicaraan ini. "Apa maksud Ayah?"

"Investasi Latona akan menstabilkan keuangan kita untuk beberapa dekade ke depan," jelasnya, tatapannya menerawang. "Langkah selanjutnya adalah memperkuat posisi sosial kita. Sebuah pernikahan dengan sosok yang lebih tinggi."

Dia berhenti sejenak, seolah menguji air. "Duke Raymond masih lajang. Menantunya akan menjadi wanita paling berpengaruh kedua di kerajaan setelah Ratu. Seorang menantu dari keluarga Hartwin pasti dipertimbangkan. Jika berhasil, kamu akan membawa kita ke puncak. Kamu mengerti, kan?"

Menjijikan.

Isi pikirannya membuatku mual.

Namun, ini bisa jadi kesempatanku.

Aku memasang ekspresi berpikir, sedikit cemas. "Ah, Duke Raymond... nama beliau memang sering keluar di pesta teh remaja akhir-akhir ini. Beliau dipandang sebagai sosok yang begitu terhormat. Berbicara tentang beliau, Ayah, Saya jadi teringat sebuah cerita."

Aku berhenti, membuatnya penasaran. "Saya mendengarnya dari pelayan yang pernah bekerja di kediaman Duke Muda. Katanya, beberapa tahun lalu Duke pernah berinvestasi besar pada sebuah armada dagang baru. Asuransinya cukup baik, sekitar tiga puluh persen, tapi kapal itu berakhir karam karena badai yang tak terduga. Dampaknya cukup besar, sampai Duke Muda harus menunda beberapa proyek pembangunan di wilayahnya."

Aku menatap Ayah dengan mata sepolos mungkin. "Saya hanya khawatir, Ayah. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada investasi itu, reputasi kita akan hancur. Bagaimana mungkin kita bisa menarik perhatian keluarga Duke jika kita terlihat sebagai investor yang ceroboh?"

Aku telah menggunakan logikanya sendiri, ambisinya sendiri, sebagai senjataku. Untuk sesaat, aku melihat keraguan di matanya. Rencanaku hampir berhasil. Tapi kemudian, wajahnya mengeras. Kelembutan sesaat tadi menguap seperti embun pagi.

"Apa kau berniat meyakinkanku dengan gosip dari pelayan rendahan? Apa kau ini ular!?" Suaranya dingin dan penuh penghinaan. "Jadi ini rencanamu? Memanipulasi ayahmu dengan cerita omong kosong? Kau pikir aku ini sebodoh Cedric?"

Amarahnya mulai naik. "Kau berani menggunakan nama Duke untuk menentang keputusanku? Di rumahku sendiri?"

Ular... aku tidak bisa membantahnya. Leherku terasa panas dan sakit, fakta bahwa pengetahuan politik ini berasal dari istana sang ular membuat kebanggaanku hancur.

"Bukan begitu, Ayah. Saya tidak beromong kosong. Kontrak itu tidak masuk akal dan terlalu beresiko. Terlebih, mengapa Marquess Tyran, seorang pria yang sangat terkenal menjaga kerahasiaannya, tiba-tiba membiarkan seluruh dunia tahu tentang investasinya? Itu tidak sesuai dengan karakternya. Rasanya seperti—"

"CUKUP!!" bentaknya, suaranya menggema di taman yang sunyi.

"Kelancanganmu benar-benar tak ada batasnya! Kau bukan hanya mencampuri urusan bisnis, sekarang kau mencoba bermain politik! Kau pikir kau siapa, Elira!?"

​"Saya adalah putri dari keluarga ini yang tidak ingin melihatnya hancur!" jawabku, suaraku meninggi karena frustrasi.

​"Kehancuran satu-satunya yang kulihat adalah jika kau terus mencampuri urusan yang bukan urusanmu! Aku tidak akan mentolerir ini!" Dia menunjuk ke arah kediaman.

"Kembali ke kamarmu. Kau tidak akan meninggalkan rumah ini sampai aku bilang boleh! Aku tidak akan membiarkan putriku sendiri mempermalukan nama keluarga Hartwin dengan mulut berbisa seperti ular itu!"

Aku berlari ke kamarku dengan kemarahan yang tidak ingin aku tunjukkan kepada siapapun.

Bajingan!

Budaya patriarkal bajingan!

BLAR!!!

Aku membanting pintu kamarku dengan keras.

Bodoh!

Yang seperti itupun masih aku anggap sebagai keluarga!?

Lupakan! Lupakan saja soal mereka!

Air mata kemarahan dan ketidakberdayaan akhirnya tumpah, membasahi permadani mahal di lantai.

Aku merobek selimut sutra di tempat tidur, berteriak dalam batin pada ketidakadilan dunia ini.

Setelah sepuluh menit merusak kamar, napasku terengah-engah.

Kemarahan itu perlahan reda, digantikan oleh keputusasaan yang dingin. Lalu, mataku tertuju pada tas kecil yang kubawa dari perpustakaan tadi malam. Isinya hanya satu buku: "Buku Struktur Politik Bangsawan Kekaisaran Gevarran."

Aku segera meraihnya dan membukanya dengan kasar. Dinding gender sialan itu tidak akan pernah bisa diruntuhkan dari dalam. Aku harus mencari cara lain.

Jika Ayah dan Cedric adalah jalan buntu, maka aku harus mencari jalan lain. Aku butuh sekutu dari luar.

Tapi siapa? Siapa yang bisa membantuku? Aku harus cepat. Pilihanku harus tepat. Jika aku salah pilih atau ayah mengetahui rencanaku, maka masa depan yang aku takutkan akan terulang kembali.

Keluarga Hartwin akan runtuh perlahan dan aku... aku akan dijual lagi kepada Marquess Tyran.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!