"Hati hati, ya, Naresh." bu Lilis ikut mengantar Naresh ke bandara. Beliau bisa merasakan kesedihan Naresh. Dirinya kehilangan murid kesayangannya. Murid pintar yang ngga neko neko.
Naresh mengangguk. Kemudian menyalami tangan bu gurunya sekali lagi sebelum melangkah memasuki ruang tunggu.
Tidak ada teman yang mengantar. Semuanya terjadi sangat cepat. Mereka pasti belum tau, batin Naresh.
Atau memang mereka ngga mau tau, prasangka Naresh dalam hati.
Dia teringat lagi dengan tawa bahagia teman temannya saat surat cintanya dibaca Abiyan.
Naresh menghembuskan nafasnya perlahan.
Jenazah neneknya pun diikutkan dalam keberangkatannya. Yang tidak Naresh sadari papanya yang baru dia lihat hari ini ternyata memiliki jet pribadi.
Bu gurunya juga sempat kaget karena papanya akan membawa jasad nenek Naresh, karena beliau berpikir kalo akan memakamkannya di sini.
Apa yang terjadi dengan Naresh hari ini juga sangat mengagetkannya. Papanya yang datang tiba tiba dan juga kepindahan Naresh yang tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada teman temannya.
Naresh menoleh sekali lagi pada Bu Lilis yang melambaikan tangannya padanya.
Dia membalas melambai dengan kaku.
Selamat tinggal, Bu guru. Terimakasih sudah sangat baik dengan saya, batinnya kemudian tersenyum tipis.
Dia kemudian mengalihkah tatapnya ke arah pesawat pesawat yang sedang parkir.
Selamat tinggal, Nathal, batinnya getir.
*
*
*
Kelas mulai rame lagi setelah kepergian Bu Lilis dan Naresh.
TUK!
Abiyan meringis ketika merasakan pukulan ujung penggaris Nevia mendarat tepat di kepalanya.
"Kamu itu! Keterlaluan tau nggak?" marah sepupunya itu ngga bisa disimpan lagi.
"Kalo Naresh bu nuh diri gimana? Dia, kan, introvert banget." Ayra juga ikutan marah
"Aku ngga sengaja. Mataku siwer aja lihat amplop pink yang nongol di tas Nathal," sergah Abiyan membela diri.
"Lagi pula kenapa.harus Nathalia, sih. Kan, udah sering disinisin juga sama Nathal," lanjutnya lagi.
TUK
Kali ini sepupu perempuannya- Luna yang gantian mengetok kepalanya.
Abiyan menatap kesal. Bisa bisa dia jadi be go kalo diginiin terus, omelnya dalam hati.
"Kenapa juga harus dibacain di depan kelas, sih, Byan. Parah lo." Luna melototkan matanya.
"Emang ngga punya perasaan," kecam Adelia, kembaran Nathalia.
"Aku hanya iseng tadi. Aku ngga nyangka surat itu dari Naresh."
"Sudah terlambat. Nanti pulang sekolah mending lo ke rumah Naresh, deh. minta maaf," kecam Nevia sebal.
"Ngga tega aku lihat muka Naresh tadi," ucap Adelia kemudian melirik Nathalia yang hanya diam saja. Nampak acuh dan ngga peduli.
Abiyan melirik Baim (anak Puspa dan Herdin) yang diam saja ngga membantunya menghadapi kemarahan sepupu sepupu perempuan mereka.
"Ya nanti aku minta maaf ke Naresh. Sekalian kenalin cewe lain, biar cepat move on dari di galak itu." Di akhir kalimatnya, suaranya agak memelan.
Adelia. Nevia, Ayra dan Luna yang masih sempat mendengarnya membelalakkan mata. Tambah gedeg dengan Abiyan.
Suara bel tanda waktu istirahat usai membuat para sepupu itu pun membubarkan diri dan kembali ke kursi masing masing.
*
*
*
Lima menit lagi pelajaran berakhir. Mereka sudah membereskan buku buku mereka.
"Baim, nanti ikut, ya, ke rumah Naresh," ajak Abiyan.
"Oke."
"Kalian mau ikut nggak?" tawar Abiyan pada Nevia yang duduk.di seberangnya.
"Nggak," tolaknya cepat. Pasti Naresh tambah malu ketemu mereka, batinnya.
"Del, ikut, nggak?" tanya Abiyan masih ngga peka.
Adelia juga menggelengkan kepalanya.
"Kenapa, sih, pada ngga mau ikut? Kirain mau nemenin," sungut Abiyan. Kemudian dia menatap Natahlia.
"Nathal, mau ikut, nggak?" tanyanya setengah berharap.
"Ogah," tolak Nathalia ketus.
Abiyan menghembuskan.nafas kesal.
Naresh, Naresh. Kenapa kamu bisa mentok dengan cewe batu begitu, batinnya kasian.
Baim yang duduk di sebelahnya tertawa pelan.
"Sudahlah. Kita aja berdua. Biar Naresh ngga tambah malu," ucapnya untuk menyadarkan Abiyan yang masih juga belum peka.
"Ya udah."
"Anak anak, mohon perhatiannya. Ibu baru dapat kabar kalo Nenek Naresh meninggal dunia."
Suasana kelas yang rame karena jam pelajaran mau berakhir mendadak senyap.
Kabar itu seolah ledakkan petir di telinga sebagian besar mereka.
"Jadi karena ini dia pulang?" bisik Adelia sambil menatap Nathalia yang nampak tertegun.
"Kasian Naresh," ucap Ayra sambil menoleh pada kembarannya Luna.
"Iya."
Abiyan menatap bu gurunya, masih ngga percaya. Lidahnya yang biasa ringan untuk berbicara sekarang mendadak kelu.
"Naresh sekarang sudah pindah sekolah. Hanya disayangkan dia ngga sempat pamit karena semuanya terjadi begitu cepat. Barusan Bu Lilis ngabari. Naresh sudah berada di dalam pesawat," ujar Bu Wiji panjang lebar.
Kelas yang tadi sepi mulai terdengar suara suara seperti dengungan lebah. Banyak suara suara yang bermunculan dengan pertanyaan yang hampir sama.
"Pindah kemana, bu?"
"Kita belum pamitan, bu...."
"Kok, pindah, bu?"
Di tengah dengungan itu, Nevia menatap Abiyan tajam.
"Kamu belum minta maaf dengan Naresh."
Abiyan tau. Saat ini perasaan bersalahnya makin besar.
*
*
*
Mereka sekarang berada di sini. Teman teman satu kelas Naresh berkunjung ke rumah neneknya yang sudah sepi. Pagarnya sudah digembok.
Tetangga yang bersisihan dengan mereka menampakkan wajah sedih.
"Sudah pindah, mas, mbak....., mas Nareshnya," ucap seorang laki laki paruh baya.
Mereka hanya mengangguk tanpa suara. Mereka pun diliputi perasaaan sedih yang mendalam.
Komplek perumahan Nenek Naresh cukup elit.
Nathalia dan sepupu sepupunya; juga beberapa teman sekelas pernah datang dan bertemu Nenek Naresh.
Sekarang Nenek Naresh yang cerewet dan selalu memesan makanan sesuai permintaan mereka sudah tiada
Nyesak, itu yang dirasakan Nathalia. Juga karena kejadian ini terlalu tiba tiba.
"Ngga ada yang tau dengan pasti, Mas Nareshnya sekarang pindah kemana. Mereka ngga bilang apa apa," jelas bapak separuh baya itu lagi. Beliau tetangga sebelah kanan Neneknya Naresh. Sekarang malah mengundang teman teman Naresh istirahat di halaman rumahnya.
Sepertinya rumah beliau juga habis menerima tamu.
"Nanti malam warga mau kirim do'a untuk Nenek Naresh di rumah bapak," ucapnya lagi.
Nathalia dan yang lainnya manggut manggut.
Jangankan tetangganya, Bu Lilis aja ngga dikasih tau, Naresh mau dibawa kemana sama papanya.
"Saya kirain Mas Naresh sudah yatin piatu, hanya ada neneknya saja. Ternyata Mas Naresh masih punya papa. Untung mereka ketemu di waktu yang tepat,'' cerita bapak itu lagi.
Abiyan sebenarnya frustasi. Tapi ngga ada informasi apa pun lagi tentang keberadaan Naresh. Bapak tetangga Naresh saja ngga tau.
Ponselnya juga ngga bisa dihubungi.
Abiyan melirik ke arah Nathalia
Dia menyesal, ngga, ya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Aisyah
hm hm hm ksian naresh, tu lh si abiyan kn krna dy dh bnyak kena x. . sesekali gnti dy kek yg dgituin😤😤. .
2025-09-15
2
Tri Handayani
mungkin dgn kejadian ini nathalia agak menyesal telah membuat sakit hati naresh
2025-09-15
2
Dewy Aprianty
karyamu ngk perna gagal thorr, selalu penasaran disetiap babnya
2025-09-15
2