“Ngadu apa lagi kamu, Melati?” suara Ibu Mega meninggi, matanya hampir melotot, tangan bertolak pinggang seperti hendak menelan bulat-bulat menantunya.
“Aku nggak ngadu apa-apa, Bu,” jawab Melati lirih, menahan perasaan.
“Jangan kira aku budek. Kamu pasti ngomongin masalah Tika lagi, kan?”
“Sudahlah, Bu. Jangan ribut. Nggak baik pagi-pagi bikin gaduh,” Arga buru-buru melerai, suaranya terdengar resah.
Ibu Mega menatap tajam anaknya. “Sekarang kamu malah membela dia? Ingat, Arga, Melati itu cuma numpang hidup di rumah ini.” Ucapannya menampar perasaan Melati lebih perih daripada ditampar oleh tangan.
Arga menghela napas panjang, jelas ingin menghindari pertengkaran. “Sudah, Bu. Aku berangkat dulu, nanti terlambat gaji dipotong.”
Dia menggamit tangan adiknya. “Irma, ayo.”
Keduanya berjalan menuju mobil. Melati berlari kecil, membuka pagar dengan tangan yang bergetar. Hatinya nyeri, seakan tubuhnya ikut retak bersama kata-kata yang barusan terlontar. Besi pagar berat terasa dua kali lipat, tapi ia tetap mendorongnya perlahan.
Mobil melaju meninggalkan halaman. Melati menutup pagar kembali. Sunyi. Hanya bunyi engsel berderit.
Ia melangkah masuk rumah, Hatinya masih terasa perih sudah dihana, diejek dan dituduh sebagai menantu boros lagi.
Ibu Mega masih bertolak pinggang, bibirnya berdecak, tatapannya menusuk.
“Kamu itu nggak tahu diri ya. Apa-apa ngadu ke Arga. Dia sibuk kerja, jangan ditambah beban pikiran.”
“Enggak, Bu. Aku nggak ngadu,” suara Melati pelan, berusaha bertahan.
“Bohong! Aku dengar sendiri, Melati.”
“Aku beneran nggak—”
“Cukup!” potong Ibu Mega kasar. “Susah ngomong sama orang bodoh kayak kamu.”
Melati terdiam. Hatinya sudah hancur, tapi ia tetap menunduk.
“Sekarang cepat bersihin piring habis sarapan. Sudah miskin, bodoh, malas pula.”
Kata-kata itu seperti duri, menusuk lebih dalam dari pisau.
Andai bukan mertua. Andai bukan orang tua. Mungkin Melati sudah melawan sejak lama. Tapi ia memilih diam.
Dengan langkah kecil, ia masuk ke ruang makan. Matanya panas, tapi tangannya cekatan meraih piring dan sendok kotor.
“Kenapa sih mereka bangga sekali sama pendidikannya? Piring bekas makan sendiri saja nggak mau beresin,” pikir Melati dalam hati. Bukan mengeluh, hanya perasaan manusiawi—lelah bekerja, tapi yang ia terima selalu hinaan.
Melati membawa piring kotor ke dapur, lalu kembali ke meja makan dengan sepasang lap—satu basah, satu kering. Ia membersihkan meja, mengangkat sisa nasi dan lauk, membawanya masuk. Tak ada yang membantu. Tak ada yang peduli.
Di dapur, tangannya sibuk mencuci. Air sabun membilas piring satu per satu. Tapi setiap bilasan terasa seperti mengiris luka di hati. Perutnya masih kosong, sementara yang lain sudah kenyang. Ia menelan ludah, lalu menata piring bersih ke rak.
Baru hendak membersihkan dapur, langkah Kartika terdengar.
“Kenapa bajuku belum dicuci?” suaranya sinis dan penuh perintah seolah dia adalah tuan rumah, padahal posisi Kartika dan Melati sama-sama menatu dan sama-sama tidak bekerja, yang membedakan hanya jenjang pendidikan, Kartika sarjana ya walapun nganggur tetap saja dia merasa bangga dengan gelarnya.
Melati menoleh, keringat masih mengalir di punggung, tangannya basah. Napasnya berat. “Sabunnya habis, Mbak.”
Kartika mendengus. “Astaga, boros sekali kamu. Arga masih lama gajian, uang sudah kamu habiskan.”
Melati menarik napas panjang. “Uangnya kan dipinjam Mbak Tika.”
Kartika menyipitkan mata. “Alasan saja.”
“Bukan alasan. Emang uangnya habis, dan itu dipinjam Mbak Tika,” suara Melati tetap pelan, tapi hatinya bergetar ingin sekali melati menghajar Tika, bukan melati tidak berani hanya saja dia mengharagi Arga sebagai suaminya..
“Bu… Ibu…!” suara Kartika melengking, terdengar sampai ke ruang tengah.
Ibu Mega segera masuk ke dapur, wajahnya kesal. “Apa lagi ini?”
“Bu, Melati boros sekali. Uang Arga habis lagi. Terus baju Mas Indra juga nggak dicuci,” adu Kartika cepat.
Tatapan Ibu Mega menancap tajam pada Melati. “Kamu itu dasar nggak berguna. Susah sekali bicara sama orang yang nggak punya pendidikan. Bodoh, suka ngadu, boros pula.”
“Stop, Bu!” suara Melati meninggi, membuat udara di dapur mendadak kaku. Entah sadar atau tidak, ia sudah berani membalas. Refleks. Lapar, lelah, dan hati yang terus diinjak membuat kata-kata itu meluncur begitu saja.
Tangannya gemetar, ia merogoh saku. Sebuah buku kecil lusuh dikeluarkannya—catatan yang selalu ia bawa. Karena kurang satu rupiah saja, semua orang akan menudingnya. Ia membuka halaman, lalu membaca tegas.
“Beras satu karung, lima ratus lima puluh ribu.”
“Listrik, lima ratus lima puluh ribu.”
“Lauk pauk enam puluh ribu per hari untuk enam orang, kali dua puluh hari, satu juta dua ratus ribu.”
“Sabun mandi, odol, sikat gigi, deterjen, gula, kopi, teh—tiga ratus ribu.”
“PAM tiga ratus lima puluh ribu. Internet dua ratus lima puluh ribu.”
Ia menghela napas panjang. “Jumlahnya tiga juta dua ratus ribu. Dari Mas Arga aku terima empat juta. Harusnya masih sisa delapan ratus ribu. Tapi Mbak Tika pinjam lima ratus ribu. Jadi uang tersisa hanya tiga ratus ribu. Kalau tidak dikembalikan, lima hari sebelum Mas Arga gajian… kita semua harus puasa.”
Suaranya bergetar, tapi tegas. Untuk pertama kali, Melati menatap mereka tanpa menunduk.
“Sudah, Melati. Itu cuma alasan. Aku pinjam juga atas persetujuan Ibu,” ucap Kartika dingin.
“Kalau begitu, jangan lagi bilang aku boros,” balas Melati tegas. Tangannya mengepal erat, menahan gemuruh di dada.
Ibu Mega menyambar cepat, nada sinis tak kunjung hilang. “Itu juga salahmu. Coba kalau kamu sarjana, bisa bantu keuangan Arga. Nggak repot begini.”
Melati tersenyum miring, menatap Kartika lalu beralih pada mertuanya. “Kenapa Ibu selalu menyalahkan aku? Kenapa nggak minta ke Mas Indra? Dia juga anak Ibu. Kenapa semua beban rumah dilimpahkan ke Arga saja?”
“Cukup, Melati!” bentak Ibu Mega.
Melati menggeleng, suaranya bergetar tapi tegas. “Aku belum cukup, Bu. Iya, aku nganggur. Aku nggak menghasilkan. Aku bukan sarjana. Tapi tetap saja… Mbak Tika juga sama, nganggur.”
Ia menarik napas panjang. “Dan kenapa Ibu nggak pernah bertanya, kalau Mbak Kartika itu sarjana… tapi tetap nganggur?”
“Cukup, Melati! Jangan hina anakku!” bentak Ibu Mega keras.
“Darimana aku menghina, Bu…” Melati mencoba bertahan, tapi ucapannya dipotong lagi.
“Cukup!” Ibu Mega menepuk dadanya, wajahnya memerah. Ia berbalik, melangkah ke ruang tengah, menatap foto almarhum suaminya sejenak, lalu masuk ke kamar.
“Lihat tuh, Ibu jadi sakit gara-gara kamu!” sindir Kartika tajam.
Melati terdiam, ada sesal kecil di hatinya karena membuat mertuanya marah.
“Cepat cuci bajuku!” perintah Kartika kasar.
“Cuci saja sendiri. Aku mau beli beras,” jawab Melati dingin, melangkah ke garasi motor. Lebih baik pergi ke pasar daripada terus dihina di rumah.
Kartika menghentak-hentakkan kakinya kesal. “Awas kamu, Melati!” geramnya, giginya terkatup keras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Isranjono Jono
lawan2 kalau aku iparku gak ada yang berani sama aku coba kalau berani aku hancurkan dapur menyala kan aku thor🤭🤭
2025-10-13
0