Ponsel Melati bergetar di samping telinganya. Layar menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Ia meraih ponsel, mematikan alarm, lalu meregangkan kedua tangannya. Lehernya diputar ke kanan, bunyi sendi terdengar pelan—krek. Diputar ke kiri, bunyi serupa mengikuti.
Di sampingnya, Arga masih tertidur pulas. Wajah tenangnya membuat Melati terdiam beberapa saat. Namun ada sesuatu yang mengusik pikirannya belakangan ini. Ponsel Arga selalu disembunyikan di bawah bantal. Entah sejak kapan, tapi kebiasaan itu membuat hati Melati tidak tenang.
Ia teringat sebuah artikel yang pernah dibacanya. Isinya sederhana: salah satu tanda suami berselingkuh adalah menyembunyikan ponsel. Melati sempat menertawakan artikel itu. Penulisnya seorang profesor, tapi ahli kimia—jelas bukan bidangnya. Namun, anehnya, pagi ini kalimat itu kembali mengganggu pikirannya.
Melati menatap Arga yang tertidur. Ponsel di bawah bantal bergetar lagi. Dadanya terasa sesak. Rasa curiga muncul, meski ia berusaha mengusirnya.
“Tidak, Mas Arga lelaki setia. Ia agamis, rajin bekerja. Dari pagi sampai malam ia mencari nafkah. Tak pantas aku menuduh tanpa bukti. Apalagi membebani dia dengan kecurigaan,” gumam Melati dalam hati.
Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, meski hatinya tetap resah.
Melati bangkit, melangkah ke kamar mandi. Ia menggosok gigi, membasuh wajah, lalu mengambil air wudu. Setelah mengenakan mukena, ia menunaikan dua rakaat tahajud, kebiasaan yang sudah ia jaga sejak remaja.
Dulu, saat masih tinggal dengan orang tuanya, Melati bisa berlama-lama dalam ibadah. Ia biasa salat sebelas rakaat, ditutup dengan witir, lalu membaca Al-Qur’an sampai subuh menjelang. Namun semua itu berubah setelah menikah dan tinggal bersama mertua. Waktunya terkuras untuk pekerjaan rumah. Setiap pagi ia harus memastikan semua beres sebelum penghuni rumah bangun. Jika tidak, drama panjang menunggu: kritik, adu mulut, bahkan pertengkaran.
Ia melipat mukena, membereskan sajadah. Namun getaran ponsel di bawah bantal Arga kembali mengusik hatinya. Dahi Melati berkerut. Ingin rasanya meraih ponsel itu, membaca siapa pengirim pesan di jam seganjil ini. Tapi ia menahan diri. Ia tahu, itu bukan sikap yang baik. Dengan hati gusar, ia meninggalkan kamar.
Jam hampir menunjukkan pukul tiga pagi. Bagi Melati, ini sudah siang. Dapur menantinya. Ia membuka karung beras—hanya tersisa dua liter. “Astaga… paling ini cuma cukup tiga hari. Sedangkan gajian Mas Arga masih lama,” gumamnya. Tangannya meraih baskom, mencuci beras sambil resah. Ia bisa membayangkan keributan besok pagi jika soal ini terbongkar.
“Semua gara-gara Kak Kartika. Pinjam uang seenaknya, lupa bayar, ditagih malah marah. Kalau sudah begitu, seisi rumah ikut marah,” desahnya lirih, memasukkan beras ke rice cooker.
Sambil menunggu nasi matang, ia menumis kangkung, membuat sayur asem, lalu menyiangi ikan peda untuk digoreng. Gerakannya cekatan, seperti sudah terprogram. Ia tak perlu berpikir, tubuhnya sudah hafal urutan pekerjaan.
Dari surau dekat rumah, suara serak Aki Darkim terdengar memanggil jamaah untuk salat subuh. Suara itu merayap masuk ke dapur, menjadi latar pagi yang selalu sama bagi Melati—penuh rutinitas, penuh beban, namun tetap ia jalani dengan sabar.
“Ingin sekali aku membangunkan Mas Arga… pergi ke masjid, salat berjamaah, seperti dulu waktu masih di kos,” bisik Melati sambil mengaduk sayur di dapur. Matanya sayu. “Tapi akhir-akhir ini Mas Arga selalu masam padaku.”
Selesai memasak, ia lanjut memilah cucian. Warna cerah lebih dulu, gelap belakangan. Saat memeriksa kantong celana Arga, selembar nota lusuh terjatuh. Angkanya samar, entah tiga ratus ribu, entah tiga juta. Melati mengernyit.
“Nota apa ini? Tanggalnya kemarin…” gumamnya. Ia menarik napas lega. “Berarti Mas Arga masih punya uang. Syukurlah, urusan beras besok bisa teratasi.” Ia tersenyum tipis, sedikit beban terangkat.
Pakaian kotor dimasukkan ke mesin cuci, tombol diputar, bunyi berderum terdengar. “Ah, deterjen juga habis,” keluhnya. “Beginilah jadinya kalau uang yang sudah dianggarkan malah dipinjam. Semua jadi kacau.”
Tangannya lalu meraih sapu dan serok. Dari teras, ruang tengah, ruang makan, sampai dapur ia bersihkan. Sampah dikumpulkan, diikat rapi dalam plastik, lalu dibuang ke tong sampah depan rumah.
“Dek Melati!” panggil seseorang. Ia menoleh. Ustaz Jaka lewat, pecinya miring, langkahnya cepat.
“Ya, Pak,” jawab Melati sopan.
“Bangunin Arga, suruh jamaah ke masjid. Assalamu’alaikum,” ujarnya singkat. Azan subuh sudah terdengar dari surau. Tanpa menunggu jawaban, Ustaz Jaka bergegas menyusul rombongan lelaki yang berjalan menuju masjid.
“Waalaikum salam,” balas Melati lirih.
Ia berdiri di depan rumah, menatap punggung orang-orang itu. Barisan sederhana, namun penuh wibawa. Dalam hati, ia membayangkan seandainya Arga ikut di sana.
Hanya sebuah harapan kecil, sesederhana melihat suaminya melangkah ke masjid, menunaikan salat berjamaah. Namun entah kenapa, bagi Melati, harapan itu terasa begitu jauh, nyaris mustahil diwujudkan.
Melati kembali masuk kamar. Arga sudah bangun, duduk di tepi ranjang sambil menatap layar ponselnya. Cahaya biru ponsel memantul di wajahnya yang muram. Melati menarik napas pelan, lalu ke kamar mandi untuk berwudu. Setelah itu, ia kembali dan berkata lembut, “Mas, jamaah yuk.”
“Aku ada kerjaan,” jawab Arga datar tanpa menoleh.
Melati terdiam. Ia tidak ingin memaksa. Usai salat, ia masih melihat suaminya sibuk dengan ponsel. Wajah Arga tetap masam, seolah ada jarak yang semakin jauh. Dengan sabar, Melati menyiapkan handuk, baju kerja, hingga dalaman Arga, lalu meletakkannya di meja kecil.
“Mas, handuk dan baju sudah ada di sini,” ujarnya lembut.
“Hm.” Jawaban singkat, tanpa ekspresi.
Melati menghela napas panjang, kemudian keluar kamar. Ia menuju dapur. Baru saja ingin menyalakan kompor, Kartika—iparnya—datang membawa setumpuk pakaian kotor. Dengan nada seenaknya ia berkata, “Cuciin ya.”
Melati menatap tumpukan itu, lalu menjawab hati-hati, “Pekerjaanku masih banyak, Kak.”
“Jangan bikin keributan,” balas Kartika dingin, kemudian masuk kamar mandi tanpa menoleh lagi.
Melati hanya menggeleng. Ia berusaha menekan rasa sesak di dada. Ia kembali ke ruang makan, menyusun piring, sendok, nasi, dan lauk yang sudah matang. Dalam hatinya ia bergumam lirih, “Padahal ada empat perempuan di rumah ini. Kalau saja bisa bekerja sama, mungkin tugasku tidak seberat ini.”
Selesai menjemur pakaian, ia membuatkan kopi untuk Arga. Ketika kembali ke ruang makan, satu per satu anggota keluarga sudah bangun. Suasana meja makan langsung terasa menekan.
“Aku malu banget sama tetangga,” suara Kartika terdengar jelas. “Mereka bilang aneh, kok bisa-bisanya Arga milih istri yang nggak sekolah. Malu-maluin.”
“Deg.” Dada Melati seperti diremas. Kata-kata itu menampar batinnya. Sejak dini hari ia sudah berkeringat, berlari dari dapur ke mesin cuci, dari ruang tengah ke halaman, melayani semua penghuni rumah tanpa keluh. Namun yang ia dengar pertama kali di pagi itu bukan ucapan terima kasih, melainkan ejekan yang merendahkan.
Ia menunduk, bibirnya terkatup rapat. Hanya dalam hati ia berbisik, “Ya Allah, beri aku sabar. Jangan biarkan aku membalas dengan kata-kata.”
Melati mengepalkan tangannya erat sambil memegang serbet.
“Andai bukan karena Mas Arga, aku pasti enggan tinggal di sini,” bisiknya dalam hati. Rasa sakit masih menggerogoti dadanya.
Di sisi lain, Indra duduk di samping Kartika, mengambil nasi, dan menuangkan sayur asem dengan nada sinis.
“Si Melati? Ga usah diajak di acara Risma. Malu-maluin aja. Kan dia bukan sarjana, bikin malu saja,” ucapnya tanpa sedikit pun belas kasihan.
“Ehmmm… enak sekali ikan pedanya,” gumamnya sambil menatap hidangan.
Melati menelan ludah. Hatinya terasa perih. “Aneh… mereka menghina aku karena bukan sarjana, tapi masakanku selalu dimakan dengan lahap. Apakah begini watak para sarjana?” gumamnya dalam hati. Tangannya semakin erat mengepal serbet, mencoba menahan amarah dan kesedihan.
Tak lama kemudian, Arga keluar dari kamar, kemeja dan dasi sudah terpasang rapi. Ia duduk di kursi menghadap meja makan. Suasana seketika hening. Obrolan berhenti, namun tatapan sinis dan merendahkan dari Kartika dan Indra masih terasa oleh melati tapi melati mencoba bersikap tenang.
Melati mengambil napas panjang. Ia menghampiri meja, menyiapkan piring untuk Arga. Dengan hati-hati, ia mengelapnya pakai tisu, lalu menaruh nasi di piring.
“Segini cukup, Mas?” tanyanya lembut, berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Hmmmm,” balas Arga singkat, tanpa menatapnya.
Meski hanya sebatas balasan datar, Melati merasakan sedikit lega. Ia menunduk, menyelesaikan tugasnya, sambil berharap suatu hari, penghinaan dan tatapan merendahkan itu akan berakhir.
Melati mengambilkan sayur asem, tumis kangkung, dan ikan peda untuk Arga. Ia menaruh semuanya di meja, tapi Arga tetap asik menatap ponselnya. Melati menarik napas pelan, mengambil segelas air, meletakkannya di sisi Arga, lalu melangkah ke ruang tamu.
Dengan telaten, ia mulai mengelap lemari dan meja tamu. Ruang tamu dan meja makan tidak terlalu jauh, sehingga percakapan di sana terdengar jelas. Hatinya semakin sakit mendengar kata-kata itu.
“Bu, pokoknya Melati tidak boleh ikut ke acara Risma,” kata Indra dengan lantang, seolah sengaja agar Melati mendengar.
“Iya bu, Melati nggak usah ikut. Nanti jadi bahan cemoohan lagi,” tambah Kartika, nada dingin dan merendahkan.
Melati menunduk, menahan perih. Namun suara Mega, ibu mertuanya, membuat sedikit lega.
“Tidak bisa. Melati harus ikut,” tegas Mega.
Harapannya muncul sekejap. Setidaknya ibu mertuanya masih menghargai dia, pikir Melati. Tapi perkataan berikutnya membuat dadanya nyeri:
“Risma Pesa, Melati harus ikut karena satu pembantu pulang kampung. Nanti dia kerepotan kalau membersihkan rumah sebesar itu sendirian. Emang kalian mau bantu beres-beres rumah Risma?” ucap Mega datar.
Jantung Melati terasa seperti diremas. Ternyata ia diundang bukan sebagai menantu, tapi sebagai pembantu.
Belum sempat menenangkan diri, suara Irma, anak bungsu Mega, terdengar:
“Ih, ngapain sih, Kak Melati harus ikut? Malu-maluin aja. Nanti temanku juga datang ke acara Ka Risma loh,” ujarnya sambil terkekeh.
"Bahkan anak kecil saja di Rumah ini berani merendahkan aku, padahal kalau kekurangan uang selalu meminta padaku,,beginikah nasib orang miskin yang enggak sekolah, namun beginikah wajah para sarjana dengan enteng merendahkan orang lain" desah melati dalam hati sambil memegang dadanya yang terasa sesak.
“Tidak ada bantahan, kecuali kamu mau cuci piring, ngepel, dan membersihkan kakakmu itu,” ucap Mega tegas.
“Ih, ogah! Aku calon sarjana, calon wanita karir. Masa aku disuruh cuci piring, ngepel? Emang ibu menyuruh aku kuliah untuk jadi pembantu?” suara Irma terdengar tegas, nyaris menantang.
Tak terasa, air mata Melati menetes. Ia menunduk, menahan dada yang sesak. “Apa patut aku dihina hanya karena bukan sarjana? Bukankah hampir semua kebutuhan rumah ini—bayar listrik, PAM, internet, beli beras, sabun mandi, sabun cuci—dibiayai oleh uang Mas Arga, suamiku? Harusnya aku yang paling berhak di rumah ini, harusnya aku yang paling dihargai, karena kontribusi suamiku paling banyak,” jerit hati Melati.
Ia mengintip Arga yang duduk di meja makan, lahap menyuap makanan. Hatinya semakin getir. Wajah Arga datar, tidak ada tanda marah, jangankan membela, bahkan merasa tersinggung pun tidak. Semua penghinaan terhadap istrinya berjalan tanpa hambatan di depannya.
“Arga, tau nggak ibu-ibu komplek terus mencibirku,” terdengar suara Kartika, menyodorkan ejekan ke meja.
“Kenapa?” suara Arga datar, tanpa ekspresi.
“Mereka menyayangkan kamu kuliah dengan nilai bagus, jabatan sekarang manajer, tapi istrimu bukan sarjana,” cerocos Kartika, setengah mengejek, setengah menggurui.
Ingin sekali melati mendengar melati mendengar arga marah kepada saudara-saudaranya karena sudah berani menghina istrinya, bukankah salah satu kewajiban suami adalah membela harga dirinya selagi istri berada di jalan yang benar. dan kalaupun salah bukankah seorang suami harus menegurnya dengan lemah lembut.
Harapan melati tampaknya hanya mimpi disiang bolong, arga masih asik makan tanpa ada raut muka tersinggung apalagi membela melati.
Melati menghela nafas berat "sepertinya aku memang sendirian di rumah ini" gumam melati
Suara ejekan kembali terdengar di meja makan.
“Arga, orang tidak berpendidikan itu hanya beban keluarga, bahkan beban negara,” kata Indra sinis.
“Iya, orang yang tidak berpendidikan tinggi itu cuma memperbesar pengeluaran negara,” tambah Kartika, terdengar seperti seorang intelektual yang sedang menggurui.
Melati menahan napas sejenak. Hatinya sudah panas. Tak tahan lagi, ia menyalakan televisi dan sengaja meninggikan volumenya. Layar menampilkan berita operasi tangkap tangan.
“Breaking news! KPK melakukan operasi tangkap tangan seorang rektor yang terlibat kasus korupsi pembangunan gedung laboratorium sebesar 25 miliar,” terdengar suara pembawa berita.
Melati meninggikan suara, seakan memberi komentar pada berita itu.
“Astaga, ternyata kebanyakan koruptor itu orang yang pendidikannya tinggi. Ah, para sarjana ini bukan hanya beban negara, tapi perampok uang rakyat!”
Suara berita dan komentar Melati terdengar jelas oleh semua yang sedang makan. Suasana seketika hening.
“Melati…” suara Arga terdengar datar namun tegas.
Tanpa menunggu lebih lama, Melati segera berlari menuju meja makan. Wajah semua orang tampak masam, tatapan sinis mengarah padanya. Namun Melati tetap tenang, langkahnya mantap. Ia mendekati Arga.
“Ada apa, Mas?” ucapnya lembut, menunduk sedikit.
“Matikan televisinya,” jawab Arga, nada suaranya datar, tanpa emosi.
Melati menahan diri. Dalam hati ia bergumam, “Dari tadi keluarga kamu menyindirku, kamu tidak peka sama sekali. Tapi begitu aku menyinggung, kamu langsung peka.”
Melati melangkah ke ruang makan. Arga sudah selesai makan, mengenakan kemeja rapi, siap berangkat kerja. Indra sudah pergi duluan, sementara Kartika seperti biasa, begitu Indra keluar, ia kembali ke kamarnya. Irma masih duduk di meja, tampak menunggu sesuatu.
Arga berdiri, melangkah keluar ruang makan. Melati mengikuti dari belakang, diam-diam memastikan semua tertata rapi sebelum ia berangkat. Saat melewati Arga, ia mengambil sepatu yang sudah disiapkan. Arga duduk, dan dengan telaten Melati memakaikan sepatu itu untuknya.
“Nanti malam aku pulang telat, jangan nunggu di teras lagi kayak kemarin,” ucap Arga datar, tanpa menatapnya.
Melati hanya mengangguk, menahan diri.
Belum sempat Arga melangkah menuju mobil, Irma muncul dari belakang.
“Ka, bagi duit dong,” ujarnya polos.
Arga terdiam sejenak, lalu menoleh ke Melati.
“Mas, uang di aku tinggal untuk belanja hari ini,” jawab Melati jujur.
Arga menaikkan alis, wajahnya tampak kesal.
“Ko sudah habis… gajiku masih lama loh,” katanya singkat.
“Kemarin, Mbak Tika minjam uang Mas,” Melati menjelaskan.
“Loh… ko dikasih? Kamu tahu kan, meminjamkan uang tanpa sepengetahuan suami itu bagaimana hukumnya,” Arga terdengar kesal.
Melati menelan napas. “Iya, aku sudah sampaikan itu. Tapi Mas tahu sendirilah, bagaimana kalau Mbak Tika sudah didukung Ibu,” ujarnya pelan.
Suasana mendadak hening. Dari belakang terdengar suara Ibu mega dengan nada dingin.
“Ada apa ini?
“Ngadu apa lagi kamu, Melati?” suara Ibu Mega meninggi, matanya hampir melotot, tangan bertolak pinggang seperti hendak menelan bulat-bulat menantunya.
“Aku nggak ngadu apa-apa, Bu,” jawab Melati lirih, menahan perasaan.
“Jangan kira aku budek. Kamu pasti ngomongin masalah Tika lagi, kan?”
“Sudahlah, Bu. Jangan ribut. Nggak baik pagi-pagi bikin gaduh,” Arga buru-buru melerai, suaranya terdengar resah.
Ibu Mega menatap tajam anaknya. “Sekarang kamu malah membela dia? Ingat, Arga, Melati itu cuma numpang hidup di rumah ini.” Ucapannya menampar perasaan Melati lebih perih daripada ditampar oleh tangan.
Arga menghela napas panjang, jelas ingin menghindari pertengkaran. “Sudah, Bu. Aku berangkat dulu, nanti terlambat gaji dipotong.”
Dia menggamit tangan adiknya. “Irma, ayo.”
Keduanya berjalan menuju mobil. Melati berlari kecil, membuka pagar dengan tangan yang bergetar. Hatinya nyeri, seakan tubuhnya ikut retak bersama kata-kata yang barusan terlontar. Besi pagar berat terasa dua kali lipat, tapi ia tetap mendorongnya perlahan.
Mobil melaju meninggalkan halaman. Melati menutup pagar kembali. Sunyi. Hanya bunyi engsel berderit.
Ia melangkah masuk rumah, Hatinya masih terasa perih sudah dihana, diejek dan dituduh sebagai menantu boros lagi.
Ibu Mega masih bertolak pinggang, bibirnya berdecak, tatapannya menusuk.
“Kamu itu nggak tahu diri ya. Apa-apa ngadu ke Arga. Dia sibuk kerja, jangan ditambah beban pikiran.”
“Enggak, Bu. Aku nggak ngadu,” suara Melati pelan, berusaha bertahan.
“Bohong! Aku dengar sendiri, Melati.”
“Aku beneran nggak—”
“Cukup!” potong Ibu Mega kasar. “Susah ngomong sama orang bodoh kayak kamu.”
Melati terdiam. Hatinya sudah hancur, tapi ia tetap menunduk.
“Sekarang cepat bersihin piring habis sarapan. Sudah miskin, bodoh, malas pula.”
Kata-kata itu seperti duri, menusuk lebih dalam dari pisau.
Andai bukan mertua. Andai bukan orang tua. Mungkin Melati sudah melawan sejak lama. Tapi ia memilih diam.
Dengan langkah kecil, ia masuk ke ruang makan. Matanya panas, tapi tangannya cekatan meraih piring dan sendok kotor.
“Kenapa sih mereka bangga sekali sama pendidikannya? Piring bekas makan sendiri saja nggak mau beresin,” pikir Melati dalam hati. Bukan mengeluh, hanya perasaan manusiawi—lelah bekerja, tapi yang ia terima selalu hinaan.
Melati membawa piring kotor ke dapur, lalu kembali ke meja makan dengan sepasang lap—satu basah, satu kering. Ia membersihkan meja, mengangkat sisa nasi dan lauk, membawanya masuk. Tak ada yang membantu. Tak ada yang peduli.
Di dapur, tangannya sibuk mencuci. Air sabun membilas piring satu per satu. Tapi setiap bilasan terasa seperti mengiris luka di hati. Perutnya masih kosong, sementara yang lain sudah kenyang. Ia menelan ludah, lalu menata piring bersih ke rak.
Baru hendak membersihkan dapur, langkah Kartika terdengar.
“Kenapa bajuku belum dicuci?” suaranya sinis dan penuh perintah seolah dia adalah tuan rumah, padahal posisi Kartika dan Melati sama-sama menatu dan sama-sama tidak bekerja, yang membedakan hanya jenjang pendidikan, Kartika sarjana ya walapun nganggur tetap saja dia merasa bangga dengan gelarnya.
Melati menoleh, keringat masih mengalir di punggung, tangannya basah. Napasnya berat. “Sabunnya habis, Mbak.”
Kartika mendengus. “Astaga, boros sekali kamu. Arga masih lama gajian, uang sudah kamu habiskan.”
Melati menarik napas panjang. “Uangnya kan dipinjam Mbak Tika.”
Kartika menyipitkan mata. “Alasan saja.”
“Bukan alasan. Emang uangnya habis, dan itu dipinjam Mbak Tika,” suara Melati tetap pelan, tapi hatinya bergetar ingin sekali melati menghajar Tika, bukan melati tidak berani hanya saja dia mengharagi Arga sebagai suaminya..
“Bu… Ibu…!” suara Kartika melengking, terdengar sampai ke ruang tengah.
Ibu Mega segera masuk ke dapur, wajahnya kesal. “Apa lagi ini?”
“Bu, Melati boros sekali. Uang Arga habis lagi. Terus baju Mas Indra juga nggak dicuci,” adu Kartika cepat.
Tatapan Ibu Mega menancap tajam pada Melati. “Kamu itu dasar nggak berguna. Susah sekali bicara sama orang yang nggak punya pendidikan. Bodoh, suka ngadu, boros pula.”
“Stop, Bu!” suara Melati meninggi, membuat udara di dapur mendadak kaku. Entah sadar atau tidak, ia sudah berani membalas. Refleks. Lapar, lelah, dan hati yang terus diinjak membuat kata-kata itu meluncur begitu saja.
Tangannya gemetar, ia merogoh saku. Sebuah buku kecil lusuh dikeluarkannya—catatan yang selalu ia bawa. Karena kurang satu rupiah saja, semua orang akan menudingnya. Ia membuka halaman, lalu membaca tegas.
“Beras satu karung, lima ratus lima puluh ribu.”
“Listrik, lima ratus lima puluh ribu.”
“Lauk pauk enam puluh ribu per hari untuk enam orang, kali dua puluh hari, satu juta dua ratus ribu.”
“Sabun mandi, odol, sikat gigi, deterjen, gula, kopi, teh—tiga ratus ribu.”
“PAM tiga ratus lima puluh ribu. Internet dua ratus lima puluh ribu.”
Ia menghela napas panjang. “Jumlahnya tiga juta dua ratus ribu. Dari Mas Arga aku terima empat juta. Harusnya masih sisa delapan ratus ribu. Tapi Mbak Tika pinjam lima ratus ribu. Jadi uang tersisa hanya tiga ratus ribu. Kalau tidak dikembalikan, lima hari sebelum Mas Arga gajian… kita semua harus puasa.”
Suaranya bergetar, tapi tegas. Untuk pertama kali, Melati menatap mereka tanpa menunduk.
“Sudah, Melati. Itu cuma alasan. Aku pinjam juga atas persetujuan Ibu,” ucap Kartika dingin.
“Kalau begitu, jangan lagi bilang aku boros,” balas Melati tegas. Tangannya mengepal erat, menahan gemuruh di dada.
Ibu Mega menyambar cepat, nada sinis tak kunjung hilang. “Itu juga salahmu. Coba kalau kamu sarjana, bisa bantu keuangan Arga. Nggak repot begini.”
Melati tersenyum miring, menatap Kartika lalu beralih pada mertuanya. “Kenapa Ibu selalu menyalahkan aku? Kenapa nggak minta ke Mas Indra? Dia juga anak Ibu. Kenapa semua beban rumah dilimpahkan ke Arga saja?”
“Cukup, Melati!” bentak Ibu Mega.
Melati menggeleng, suaranya bergetar tapi tegas. “Aku belum cukup, Bu. Iya, aku nganggur. Aku nggak menghasilkan. Aku bukan sarjana. Tapi tetap saja… Mbak Tika juga sama, nganggur.”
Ia menarik napas panjang. “Dan kenapa Ibu nggak pernah bertanya, kalau Mbak Kartika itu sarjana… tapi tetap nganggur?”
“Cukup, Melati! Jangan hina anakku!” bentak Ibu Mega keras.
“Darimana aku menghina, Bu…” Melati mencoba bertahan, tapi ucapannya dipotong lagi.
“Cukup!” Ibu Mega menepuk dadanya, wajahnya memerah. Ia berbalik, melangkah ke ruang tengah, menatap foto almarhum suaminya sejenak, lalu masuk ke kamar.
“Lihat tuh, Ibu jadi sakit gara-gara kamu!” sindir Kartika tajam.
Melati terdiam, ada sesal kecil di hatinya karena membuat mertuanya marah.
“Cepat cuci bajuku!” perintah Kartika kasar.
“Cuci saja sendiri. Aku mau beli beras,” jawab Melati dingin, melangkah ke garasi motor. Lebih baik pergi ke pasar daripada terus dihina di rumah.
Kartika menghentak-hentakkan kakinya kesal. “Awas kamu, Melati!” geramnya, giginya terkatup keras.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!