JM 5

“Susah, Bu Narti, menantu dengan orang yang nggak sekolah itu,” suara Ibu Mega semakin membuat dada Melati semakin sesak. Tangan Melati gemetar, plastik berisi martabak telur hampir saja jatuh.

Melati tidak beranjak, ingin tahu apa yang akan ibu mertuanya sampaikan lagi kepada tetangga mengenai dirinya.

“Ya memang begitu, kalau orang sekolah itu nggak tahu prioritas, tidak bisa memilih dan memilah mana yang penting dan tidak.” Terlihat oleh Melati, Ibu Mira, tetangganya, menanggapi ucapan ibu mertuanya dengan sinis.

“Jangan gitu dong, aku lihat Melati anak pintar, loh, rajin lagi.”

“Ah, Ibu Narti tidak merasakan saja bagaimana malunya punya menantu yang nggak sekolah, sudah miskin, bodoh, susah diatur, dan tadi pagi dia membentak aku.” Tampak Ibu Mega seperti menahan tangis, seolah dia adalah korban yang disakiti menantu.

“Astaga, dia berani membentak kamu, Mega?”

Ibu Mega tidak menjawab, namun matanya berkaca-kaca.

“Aku nggak ngerti kenapa Arga masih mempertahankan Melati dan nggak mau mencera—”

“Assalamualaikum,” suara Melati memotong perkataan Ibu Mega.

Semua orang menoleh pada Melati, tatapan Ibu Mega kaget campur kesal, sedangkan Ibu Mira tampak sinis melihat Melati.

“Waalaikumsalam,” hanya Ibu Narti yang menjawab salam dari Melati.

“Ada apa, Melati?”

Melati diam sebentar, lalu melangkah menuju Ibu Mega, lalu Melati menyerahkan plastik yang berisi martabak telur dan minuman boba.

“Aku hanya ingin memberi ini sama Ibu,” ucap Melati.

Ibu Mega tertegun, dalam dirinya terjadi dilema. Seminggu ini dia seperti ngidam ingin makan martabak telur dengan minuman boba yang lagi viral. Tangan Melati tampak gemetar.

Refleks, Ibu Mega mengambil martabak telur dan minuman tersebut, walaupun dia merasa gengsi karena sudah menjelek-jelekkan Melati.

“Saya pamit dulu, Bu,” ucap Melati sambil menundukkan kepala kepada semua orang. Ia berbalik dengan cepat, kedua tangannya meremas ujung bajunya erat-erat, menahan tangis yang akan segera keluar. Dengan langkah terburu-buru, Melati meninggalkan Ibu Mega, Ibu Mira, dan Ibu Narti.

“Hmmm… lihatlah, Mega, ternyata menantumu yang mewujudkan keinginanmu. Kebetulan menantuku juga membelikan minuman itu, mari kita makan bersama,” ajak Ibu Narti sambil tersenyum, tangannya menunjuk ke arah plastik di meja.

Ibu Mega masih diam, bibirnya bergerak seolah ingin berkata, tetapi tidak satu kata pun keluar. Ia tidak mengerti harus bersikap seperti apa. Sementara itu, Ibu Mira tampak muram, matanya menerawang kosong, bahunya sedikit merosot, karena anak dan menantunya terlalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sehingga tidak ada satupun yang mengetahui kalau dirinya juga ingin belikan martabak telor.

“Tenang saja, menantuku kemarin beli dua, jadi kamu ada jatah,” Ibu Narti menepuk pundak Ibu Mira pelan. Sentuhan itu membuat Ibu Mira sedikit terperanjat, seperti baru sadar dari lamunannya.

Ibu Narti lalu masuk ke dalam rumah dengan langkah mantap, meninggalkan keduanya di teras. Sementara itu, Ibu Mega masih memandang martabak telur dan minuman itu. Tangannya meraih sebentar lalu menarik kembali, matanya berkilat menahan rasa ingin. Air liurnya hampir menetes.

“Ah, cuma makan martabak telur dan minuman begini, mana mungkin akan menurunkan derajatku,” ucap Ibu Mega dalam hati, sambil menggenggam erat plastik itu dengan sedikit gemetar.

Tak lama kemudian, Ibu Narti dan Sumi datang. Sumi tampak membawa camilan dan beberapa gelas.

“Eh, Ibu dosen ada di rumah?” tanya Ibu Mega sambil tersenyum. Wanita seperti Sumilah yang sebenarnya Ibu Mega inginkan menjadi menantunya, walaupun dari segi pakaian Sumi tidak menampakkan diri sebagai wanita karier. Ia lebih terlihat seperti ibu rumah tangga biasa dengan daster sederhana, sering menggendong anaknya yang masih kecil menggunakan kain sarung.

“Oh, kebetulan tidak ada jadwal, Bu,” jawab Sumi sambil tersenyum. Setelah menyusun camilan dan menuang air ke beberapa gelas, Sumi berpamitan dengan sopan, tangannya merapikan dasternya sebelum melangkah pergi.

Ibu Mega menatap punggung Sumi yang perlahan menjauh. Dalam benaknya, ia ingin sekali Arga mempunyai istri seperti Sumi.

“Anak Ibu pintar, ya, cari istri,” ucap Ibu Mega sambil memilah-milah potongan martabak telur spesial dengan garpu kecil.

“Bagiku yang penting Firman bahagia.”

“Ya jelas bahagialah, orang pendidikannya tinggi,” sahut Ibu Mira sambil meraih martabak telur dari piring Ibu Mega. Dalam hati, Ibu Mega merasa dongkol dengan sikap Ibu Mira, matanya melirik tajam sesaat namun segera ia tahan.

“Tapi bukan itu, loh, alasan aku merestui Sumi, bukan karena gelar Sumi,” ucap Ibu Narti sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, tangannya meraih segelas air.

“Ah, masa? Aku nggak percaya,” bantah Ibu Mega sambil mengibaskan tangan, wajahnya terlihat ragu.

“Asal kamu tahu, aku dan Firman saja baru tahu kalau Sumi itu dosen akhir-akhir ini. Aku memilih dia karena aku lihat dia baik, telaten mengurus Firman, pintar masak, dan dia sangat menghormati Firman, walaupun Firman hanya sarjana, sedangkan Sumi master,” ucap Ibu Narti sambil tersenyum tipis. Matanya menatap ke punggung Sumi menantu kesayangannya. Menantu walau dengan pendidikan tinggi dan karir bagus tapi tidak lupa dengan kewajiban sebagai istri,

“Wah, beruntung sekali Ibu Narti. Dan aku, kenapa sial sekali mendapat menantu seperti Melati? Aku selalu diejek ibu-ibu komplek karena Arga istrinya hanya orang biasa,” ucap Ibu Mega dengan nada kesal, walau mulutnya tiada henti mengunyah martabak telur yang dibelikan oleh Melati—menantu yang menurutnya aib.

“Kamu jangan terlalu mendengar penilaian orang. Kamu harusnya melindungi Melati kalau ada yang merendahkan dia,” ucap Ibu Narti sambil menatap Ibu Mega.

“Kenapa?” tanya Ibu Mega sambil menyipitkan mata, tangannya masih sibuk merobek potongan martabak.

“Kamu itu ibu mertuanya, berarti Melati itu anakmu juga. Aku ingat nasihat mertuaku dulu, ‘Sigit, jangan sakiti Narti. Dia dibesarkan penuh kasih sayang oleh orang tuanya. Sudah besar, yang seharusnya berbakti pada orang tuanya malah kamu ambil. Dosa kamu menyakiti Narti.’” Mata Ibu Narti berkaca-kaca, suaranya bergetar saat mengenang almarhum ibu mertua dan suami yang sudah meninggal. Ia mengusap sudut matanya pelan.

“Ah, tetap saja, Bu. Kita itu jadi kurang bergengsi kalau tidak punya menantu sarjana. Menantu bukan sarjana itu susah diatur,” sahut Ibu Mira sambil menegakkan duduknya, suaranya meninggi, lalu meraih satu potong martabak telur dari piring Ibu Mega.

Namun, saat ia hendak melanjutkan obrolan, terdengar suara keras dari arah luar.

“Astaga, Mamah!” ucap lantang Jaka, suami Ibu Mira. “Mamah semakin tua semakin susah diatur! Itu, loh, rumah kosong terus, anak-anak udah nungguin di gerbang rumah!”

Ibu Mira terperanjat, wajahnya mendadak gugup. Kesombongannya hilang seketika. Ternyata yang sulit diatur itu bukan orang yang tak sekolah, tetapi dirinya sendiri.

Dengan langkah tergesa, Ibu Mira bangkit dari kursinya dan berpamitan singkat kepada Ibu Narti dan Ibu Mega.

“Gosip aja,” gerutu Jaka sambil melangkahkan kaki keluar rumah Ibu Narti

Tak ada jawaban dari Ibu Mira. Ia menunduk diam, lalu mengikuti Jaka dari belakang, langkahnya cepat dan kaku.

Ibu Narti tampak menggelengkan kepala.

“Bu Narti, aku pulang dulu, ya,” ucap Ibu Mega berpamitan. Ibu Narti memang pendengar setia, jarang menghakimi. Apa pun curhatan dari Ibu Mega akan Ibu Narti dengar dengan sabar.

“Ya sudah, jaga Melati baik-baik,” ucap Ibu Narti pelan, matanya menatap Ibu Mega penuh arti.

Ibu Mega tampak kesal, bibirnya mengerucut. Dengan langkah terburu-buru ia keluar dari rumah Ibu Narti.

Di rumah, Melati tampak termenung. Setelah membalikkan jemuran, ia menaruh beras ke dalam ember besar. Isinya lumayan, lima liter cukup untuk tiga hari. Walau perasaannya sesak—marah, kesal, juga sedih—Melati tidak melupakan pekerjaannya, meski sebenarnya itu bukan tanggung jawabnya.

Perutnya mulai terasa sakit. Melati baru teringat kalau ia belum makan sejak pagi. Ia memeriksa rice cooker, ternyata nasi sudah habis. Dan siapa lagi yang menghabiskan kalau bukan Kartika.

Melati menarik napas panjang, lalu mengambil sebungkus mi instan. Tangannya bergerak cepat merebusnya, uap panas mengepul di dapur. Setelah matang, ia menuangkannya ke mangkuk, meniup pelan, lalu menyuapinya dengan terburu-buru. Benar-benar tidak sehat tapi melati harus makan melati tidak mau sakit, karena kalau sakit sepertinya tidak akan ada yang peduli padanya.

Selesai makan, Melati masuk ke kamarnya. Walaupun kepalanya sedikit pusing, ia menarik kursi dan duduk. Tangannya meraih ponsel di atas meja, menyalakan layar, lalu membuka beberapa berita yang sedang viral. Meski matanya berat dan kepalanya berdenyut, Melati merasa harus mendisiplinkan diri. Jadwal menulisnya pukul 11 sampai 12 tidak boleh diganggu.

Ia sadar, tidak ada kesempatan lain. Pekerjaan ibu rumah tangga tidak mengenal jam kerja. Semua harus dilakukan, kalau tidak maka semuanya akan berantakan

Terpopuler

Comments

Isranjono Jono

Isranjono Jono

wanita bodoh kau lapar tapi makanan mu kau kasih mertua sungguh bodoh maaf thor aku jadi setan hari ini🤭

2025-10-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!