BAB 5. KEHIDUPAN BARU

Sudah lebih dari satu tahun berlalu sejak malam itu, malam ketika segala yang Lucia percayai runtuh menjadi puing-puing. Malam ketika suaminya, Samuel Davidson, mengucapkan kalimat yang masih menorehkan luka hingga kini, bahwa pernikahan mereka tak lebih dari panggung balas dendam. Sejak hari itu, hidup Lucia berubah total.

Ia meninggalkan apartemen mewah yang pernah menjadi saksi bisu pernikahan mereka, menyerahkan kunci tanpa menoleh ke belakang, lalu berjalan menjauh dengan hanya membawa koper kecil dan sehelai keberanian. Kini, ia tinggal di sebuah apartemen mungil di pinggiran Los Angeles, jauh dari hiruk-pikuk kota, jauh dari gedung-gedung tinggi yang dahulu menjadi latar kehidupannya. Apartemen itu sederhana, hanya satu kamar dengan dinding berwarna putih yang mulai kusam, sebuah dapur kecil dengan peralatan secukupnya, dan jendela yang menghadap jalan kecil tempat anak-anak tetangga berlari sepulang sekolah.

Untuk bertahan hidup, Lucia menjual cincin kawinnya, cincin yang dulu disematkan Samuel di jarinya dengan penuh kepura-puraan. Ia tidak menatap cincin itu terlalu lama ketika menyerahkannya kepada pegadaian. Baginya, itu bukan simbol cinta, melainkan belenggu yang menjeratnya dalam kebohongan. Uang dari cincin itu cukup untuk membayar sewa apartemen beberapa bulan pertama, hingga akhirnya ia menemukan pekerjaan di sebuah toko swalayan yang buka dua puluh empat jam.

Toko itu bukanlah tempat yang mewah. Lampu neon selalu menyala terang meski matahari sudah lama terbenam, lorong-lorongnya dipenuhi rak berisi makanan kaleng, mie instan, minuman soda, serta kebutuhan sehari-hari yang sering diburu orang-orang yang datang terburu-buru. Tapi bagi Lucia, toko itu adalah tempat ia bisa bernafas, tempat yang memberinya rutinitas hingga hari-harinya tak lagi terasa kosong.

Ia bekerja hampir setiap malam. Bergantian dengan rekan-rekan lain, Lucia menjaga kasir, mengatur rak yang kosong, atau menyapu lantai yang dipenuhi jejak langkah pelanggan. Pemilik toko, seorang pria tua keturunan Korea bernama Mr. Han, sering menatap Lucia dengan penuh perhatian, seakan tahu bahwa gadis itu menyimpan cerita yang tak ingin diungkapkan. Meski begitu, ia tidak pernah bertanya terlalu jauh.

Rekan-rekannya pun menerima Lucia dengan ramah. Ada Gina, mahasiswa yang bekerja paruh waktu sambil menabung untuk biaya kuliah; lalu Michael, pria paruh baya yang selalu bercanda meski wajahnya menyimpan kesedihan yang samar. Mereka semua bagian dari rutinitas kecil Lucia, satu-satunya lingkaran manusia yang ia izinkan memasuki hidupnya.

Lucia tidak lagi berhubungan dengan orang-orang dari masa lalunya. Nomor lamanya ia buang, media sosial ia hapus, dan keluarga besar Barnett yang pernah menuduhnya buta karena cinta tak pernah lagi ia temui. Ia memilih hidup menyendiri, menjalani hari-hari dengan ritme sederhana: bangun, bekerja, pulang, memasak makanan seadanya, lalu tidur.

Meski hatinya masih terluka, setidaknya ia tidak lagi berada di bawah bayang-bayang Samuel. Tidak ada lagi suara pintu yang dibanting, tidak ada lagi tatapan tajam yang menghakimi, tidak ada lagi janji manis yang berbalik menjadi pisau. Yang tersisa hanyalah dirinya sendiri, rapuh, tapi masih berdiri.

Malam itu, udara Los Angeles dingin. Hujan tipis turun sejak sore, meninggalkan aroma tanah basah yang masih tercium hingga ke dalam toko. Lucia mengenakan seragamnya, kemeja biru muda dengan logo kecil di dada kiri, serta celana hitam sederhana. Rambut panjangnya ia ikat ke belakang agar tidak mengganggu pekerjaannya.

Ia duduk di balik kasir, jarinya sibuk memindai barang-barang belanjaan pelanggan. Sesekali, ia tersenyum sopan, mengucapkan 'terima kasih' dengan suara lembut. Baginya, semua berjalan seperti biasa, seperti ratusan malam sebelumnya.

Hingga bel kecil di atas pintu berbunyi, menandakan seseorang baru saja masuk.

Lucia tidak langsung menoleh. Ia masih sibuk memasukkan uang ke dalam laci kasir. Namun, langkah kaki yang terdengar mendekat membuat dadanya berdebar entah kenapa. Ada sesuatu pada suara langkah itu; tenang, mantap, tidak terburu-buru, yang membuat Lucia ingin mengangkat kepala.

Dan ketika akhirnya ia melakukannya, waktu seolah berhenti.

Di hadapannya berdiri seorang pria dengan mantel panjang berwarna abu-abu gelap. Rambutnya sedikit basah terkena hujan, menetes perlahan ke kerah kemejanya. Wajah itu ... wajah yang pernah begitu dikenalnya, yang pernah ia sentuh dengan lembut bertahun-tahun lalu. Wajah yang pernah ia bayangkan sebagai masa depan, sebelum hidup membawanya ke jalan yang berbeda.

Evan Williams.

Lucia hampir tidak percaya dengan penglihatannya. Seakan-akan masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam tiba-tiba bangkit dan berdiri di hadapannya.

"Lucy?" Suara itu keluar pelan, nyaris seperti bisikan.

Nama itu terdengar begitu asing sekaligus akrab di telinga Lucia. Satu-satunya orang yang memanggil Lucia dengan sebutan itu. Ia menelan ludah, mencoba menemukan suaranya yang hilang.

"Evan?" suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Mata mereka bertemu. Dan dalam sekejap, segala kenangan yang pernah ia usahakan untuk lupakan kembali menyeruak, malam-malam di perpustakaan kampus, tawa di kafe kecil dekat universitas, janji-janji yang dulu terasa begitu mungkin diwujudkan.

Lucia terdiam. Tangannya yang masih menggenggam pena kasir sedikit bergetar. Sementara Evan hanya berdiri, menatapnya dengan campuran keterkejutan dan sesuatu yang sulit diartikan.

Lucia merasa napasnya tercekat. Di antara ratusan wajah pelanggan yang silih berganti datang ke toko ini selama setahun terakhir, tak pernah sekalipun ia membayangkan akan bertemu dengan Evan Williams, seseorang yang dulu pernah mengisi hari-harinya dengan begitu banyak warna.

"Ini ... benar-benar dirimu," kata Evan, akhirnya memecah kesunyian. Ada senyum samar di bibirnya, namun matanya jelas menyimpan keterkejutan. Dan sebuah senyum penuh kerinduan.

Lucia hanya bisa mengangguk. Tenggorokannya kering, seperti lupa cara berbicara. "Ya ... aku."

Sejenak, keduanya hanya berdiri terdiam, terperangkap dalam pusaran masa lalu yang kembali menyeruak tanpa permisi.

Lucia mengingat betul bagaimana hubungan mereka berakhir. Mereka berdua sama-sama sibuk di tahun terakhir kuliah, Evan dengan mimpinya menjadi pengusaha teknologi, Lucia dengan beban keluarga Barnett yang tak pernah selesai. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi, hingga akhirnya mereka memilih berpisah. Saat itu Lucia masih begitu muda, belum mengerti bahwa kehilangan Evan akan meninggalkan ruang kosong yang lama tak terisi.

Dan kini, pria itu berdiri di hadapannya lagi.

"Sudah lama sekali," ucap Evan, kali ini lebih tenang. Ia meletakkan beberapa barang belanjaan di atas kasir: sebotol air mineral, sebungkus roti, dan kopi kaleng. "Aku hampir tidak percaya ... aku pikir aku salah lihat."

Lucia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan dirinya. "Ya, sudah lama."

Lucia mengambil barang-barang itu dengan tangan yang masih sedikit gemetar, lalu memindainya dengan mesin kasir. Bunyi beep terdengar begitu nyaring di telinganya, seakan menjadi pengingat bahwa mereka kini bukan lagi mahasiswa yang berdiri di lorong perpustakaan, melainkan dua orang dewasa yang dipisahkan oleh tahun-tahun panjang dan luka masing-masing.

Evan memerhatikannya dengan seksama. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, itu jelas terlihat dari tatapan matanya. Namun, ia tidak langsung mengucapkannya.

"Lucy, apa kabar?" pertanyaan sederhana itu akhirnya keluar, dengan nada yang begitu tulus hingga membuat dada Lucia sesak.

Bagaimana Lucia harus menjawabnya? Haruskah ia berkata bahwa ia baik-baik saja, padahal kenyataannya hidupnya berantakan? Bahwa ia kehilangan segalanya, ayahnya, pernikahannya, masa depannya? Bahwa setiap malam ia tidur dalam sunyi, hanya ditemani suara hujan di luar jendela apartemen kecilnya?

Lucia tersenyum tipis, senyum yang lebih menyerupai topeng. "Aku baik-baik saja."

Evan menatapnya lebih lama, seakan mencoba menembus tembok yang ia bangun di sekeliling dirinya. Namun, ia tidak mendesak.

Lucia memasukkan barang-barang belanjaan itu ke dalam kantong plastik. "Totalnya $5,60," katanya.

Evan mengeluarkan dompetnya, menyodorkan beberapa lembar uang. Tangannya sempat menyentuh jari Lucia, sentuhan yang singkat namun cukup untuk membuat ingatan lama kembali berputar. Malam ketika mereka pertama kali bergandengan tangan setelah menonton film di bioskop kampus. Siang ketika Evan dengan canggung menyelipkan setangkai bunga mawar di antara buku-buku Lucia. Semua kenangan itu menyeruak begitu cepat hingga membuat Lucia ingin menjauh.

"Terima kasih," kata Evan sambil menerima kantong belanjaan. Namun ia tidak segera pergi. Ia tetap berdiri di sana, menatap Lucia yang sibuk merapikan meja kasir agar tidak terlihat canggung.

"Lucy" ucapnya pelan, "bolehkah kita bicara sebentar? Setelah kau selesai bekerja, mungkin?"

Lucia langsung membeku. Pertanyaan itu seperti pisau bermata dua, di satu sisi, ada bagian dalam dirinya yang masih ingin tahu tentang Evan, ingin mendengar ceritanya, ingin menanyakan ke mana ia menghilang selama ini. Namun di sisi lain, ada ketakutan yang menjerat: ketakutan akan membuka luka lama, ketakutan bahwa Evan akan melihat dirinya yang sekarang, berbeda jauh dari Lucia yang dulu ia kenal.

"Aku ..." Lucia ragu, mencari kata-kata. "Aku tidak tahu, Evan."

Pria itu mengangguk pelan, seakan sudah menduga jawabannya. "It's okay. Aku hanya ... senang melihatmu lagi. Senang tahu kau baik-baik saja."

Lucia nyaris ingin tertawa pahit. Baik-baik saja? Jika Evan tahu kenyataannya. Tidak mungkin pria itu akan mengatakan hal tersebut.

Evan berbalik, melangkah keluar toko. Bel kecil kembali berdenting ketika pintu tertutup. Dan saat itu juga, Lucia merasa lututnya melemah. Ia bersandar pada meja kasir, menarik napas dalam-dalam.

Dunia yang berusaha ia tata ulang dengan susah payah selama setahun terakhir, kini kembali terguncang hanya karena satu pertemuan singkat.

Terpopuler

Comments

Miss Typo

Miss Typo

aku gak tau gmn Evan dan gmn keluarga nya, tapi aku berharap Lucia kembali dgn Evan dan hidup bahagia suatu hari nanti. saat Samsul kembali karna penyesalan nya, semoga saat itu Lucia dah hidup bahagia

2025-09-13

1

Ir

Ir

gpp Lucia namanya juga hidup pasti banyak cobaa, kalo banyak cucian namanya loundry, kalo kamu di selimuti masalah berarti kamu manusia, kalo di selimuti wijen berarti kamu onde², badai pasti berlalu iya berlalu, berlalu lalang maksud nya 😎😎😆

2025-09-13

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!