NovelToon NovelToon

TAK AKAN KUKEMBALI PADAMU

BAB 1. DONGENG YANG RETAK

LOS ANGELES, WEDNESDAY, 16:20

Langit Los Angeles sore itu berwarna keemasan, seolah kota ini sedang merayakan kedamaian yang sederhana. Gedung-gedung kaca memantulkan cahaya matahari yang perlahan condong ke barat, menciptakan kilau yang menenangkan bagi siapa pun yang memandangnya. Di tengah hiruk-pikuk kota metropolitan itu, Lucia Davidson berdiri di depan jendela kantornya di lantai dua puluh gedung Barnett Corporation, perusahaan yang telah menjadi kebanggaan keluarganya selama puluhan tahun.

Bagi Lucia, hidupnya terasa sempurna. Ia menikah dengan pria yang begitu ia cintai, Samuel Davidson, enam bulan lalu. Pernikahan mereka digelar dengan meriah di sebuah hotel mewah di Beverly Hills, disaksikan oleh para pengusaha terkemuka, selebriti papan atas, dan keluarga besar Barnett serta Davidson. Sejak hari itu, Lucia merasa dirinya adalah wanita paling beruntung di dunia. Samuel bukan hanya tampan dan cerdas, tetapi juga penuh perhatian. Senyum hangatnya mampu meredakan semua kegelisahan Lucia, pelukannya membuat segalanya terasa aman.

Lucia yang sejak kecil harus hidup dalam doktrin sang ayah yang mana memaksa Lucia menjadi ahli waris, harus merelakan banyak hal dalam hidupnya. Teman, mimpi, ambisi, waktu, hingga Lucia hidup seperti cangkang kosong. Harus menerima menjadi boneka sang ayah, jika tidak ingin ayahnya bersikap kasar hingga menatap Lucia penuh kebencian karena Lucia terlahir sebagai anak perempuan dan bukannya laki-laki. Dan kehadiran Samuel di hidup Lucia, membuat Lucia merasa lebih baik. Dapat bernapas dan lepas dari kekangan sang ayah.

Lucia sering berkata pada dirinya sendiri: Jika ini adalah mimpi, aku tidak ingin terbangun.

Namun takdir selalu punya cara untuk menguji rasa percaya, bahkan pada saat seseorang merasa telah menggenggam segalanya.

Hari itu, suasana kantor sebenarnya berjalan seperti biasa. Para karyawan berlalu-lalang, suara telepon berdering, dan tuts keyboard komputer mengetuk irama pekerjaan. Lucia baru saja menyelesaikan laporan keuangan untuk rapat mingguan dengan dewan direksi, ketika tiba-tiba suara gaduh terdengar dari lantai bawah.

Ia menoleh dengan dahi berkerut. Dari kaca jendela, terlihat belasan mobil polisi dengan sirene berkilatan berhenti di depan lobi utama. Pintu-pintu mobil terbuka, dan para petugas berseragam berlari masuk dengan langkah tegas.

Lucia tersentak. Apa yang terjadi?

Pintu ruangannya terbuka keras, membuat Lucia terlonjak. Sekretarisnya, Marissa, berlari masuk dengan wajah pucat pasi.

"Miss. Lucia! Polisi! Mereka ... mereka masuk ke gedung! Mereka membawa surat perintah!" ujar Marissa panik.

Lucia berdiri dengan tubuh bergetar. "Surat perintah? Untuk apa?"

Belum sempat Marissa menjawab, dua petugas berseragam hitam sudah masuk ke dalam ruangan. Salah satunya mengacungkan berkas.

"Lucia Davidson?" panggil sang petugas.

Lucia menelan ludah. "Ya, saya."

"Ini surat resmi. Mulai hari ini, semua aset Barnett Corporation disita. Ada dugaan keterlibatan perusahaan ini dalam kasus pencucian uang, penyuapan pejabat, dan perdagangan gelap internasional. Kami harus menyegel seluruh area," kata sang petugas.

Kata-kata itu menghantam telinga Lucia bagaikan palu godam. Pencucian uang? Perdagangan gelap? Penyuapan? Itu tuduhan yang tak pernah ia bayangkan akan terkait dengan ayahnya, Thomas Barnett, seorang pengusaha yang selama ini dihormati banyak orang.

"T-tidak mungkin ... pasti ada kesalahan," suara Lucia gemetar.

Namun polisi tak menggubris protesnya. Mereka mulai menempelkan segel merah di pintu ruangan, membawa masuk boks-boks kosong untuk mengamankan dokumen. Suasana kantor yang biasanya rapi kini berubah menjadi lautan panik. Pegawai berlarian, beberapa menangis, sebagian lagi sibuk menyelamatkan barang pribadi mereka.

Lucia berdiri terpaku. Jantungnya berdentum kencang, seolah hendak menerobos keluar dari dadanya.

Tak lama kemudian, televisi-televisi di ruangan mulai menyiarkan berita breaking news. Di layar besar ruang rapat, wajah ayahnya terpampang jelas, dengan judul mencolok di bawahnya:

'Thomas Barnett, Pengusaha Raksasa Los Angeles, Diduga Terlibat Kasus Skandal Finansial Internasional. Kini Buron.'

Lucia membekap mulutnya dengan tangan. "Buron?"

Wartawan di layar berbicara cepat, menjelaskan bagaimana Barnett Corporation diduga mencuci dana gelap dari perdagangan senjata melalui anak perusahaan di luar negeri. Disebutkan pula bahwa Thomas Barnett tidak hadir ketika penyidik datang, dan menurut kabar, ia melarikan diri sebelum polisi berhasil menahannya.

Lucia limbung. Ia berpegangan pada meja agar tubuhnya tidak ambruk. Ayahnya melarikan diri? Tidak, bagaimana bisa? Sejak kapan ayahnya melakukan hal ilegal?

Ponselnya bergetar bertubi-tubi. Ia meraih perangkat itu dengan tangan bergetar, puluhan panggilan tak terjawab dari Mom.

"Lucia!" suara ibunya terdengar panik begitu sambungan tersambung. "Apa yang terjadi? Kenapa rumah kita dipenuhi wartawan? Ayahmu tidak bisa dihubungi sejak pagi. Dia ... dia tidak pulang, Lucia! Di mana dia?"

Air mata mengalir di pipi Lucia. "Aku ... aku tidak tahu, Mom. Polisi baru saja datang ke kantor. Mereka menyita semuanya… mereka bilang Ayah buron. Aku ... aku tidak mengerti yang terjadi."

"Cari ayahmu! Tolong, Lucia! Aku tidak tahu harus bagaimana," suara ibunya pecah, lalu sambungan terputus.

Lucia menatap layar ponsel yang kini gelap, merasa dunia di sekelilingnya runtuh.

Dalam keadaan kacau, ia meninggalkan kantor. Jalanan Los Angeles terasa seperti labirin asing yang menyesatkan. Sorot kamera wartawan mengejarnya saat ia keluar dari gedung, pertanyaan-pertanyaan tajam menghujani telinganya:

"Apakah benar ayah Anda terlibat dalam perdagangan senjata dan penyuapan pejabat?"

"Bagaimana peran Anda sebagai salah satu eksekutif di perusahaan?"

"Apa komentar Anda tentang status buron Thomas Barnett?"

Lucia hanya menunduk, menutup wajahnya dengan tas. Mobil pribadinya menunggu di pinggir jalan, dan ia masuk dengan tergesa. Sepanjang perjalanan pulang ke apartemen mewahnya bersama Samuel, ia hanya bisa memandangi kota dengan pandangan kosong.

Di kepalanya, pertanyaan bergemuruh: Di mana Dad? Mengapa semua ini bisa terjadi? Dan kenapa Samuel tidak bisa dihubungi?

Samuel, suami yang selalu sigap ada di sisinya, justru menghilang di tengah badai.

Lucia akhirnya sampai di apartemen mereka yang terletak di kawasan elit pusat kota. Malam mulai turun, namun pikirannya masih berkecamuk. Ia melemparkan tas ke sofa dan bergegas meraih ponsel lagi, mencoba menelepon Samuel.

Nada sambung berulang kali terdengar, tapi tak ada jawaban.

"Sam ... di mana kau," gumam Lucia lirih, sambil duduk di lantai ruang tamu.

Jam dinding berdetak lambat, seolah mengejek. Satu jam ... dua jam ... hingga akhirnya pintu apartemen terbuka.

Samuel masuk dengan langkah tenang, jas hitamnya masih rapi, wajahnya tampak lelah.

Lucia berdiri, berlari kecil menghampiri. "Honey! Tuhan, akhirnya kau pulang. Aku ... aku tidak tahu harus bagaimana. Kantor disita, Ayah menghilang, media-"

Kalimatnya terhenti begitu ia melihat raut wajah suaminya.

Samuel, yang biasanya menyambutnya dengan tatapan lembut dan senyum hangat, kini memandang dengan sorot dingin. Rahangnya mengeras, matanya tajam seperti pisau.

Lucia tertegun. "Honey?"

Samuel tersenyum, tapi itu bukan senyum yang ia kenal. Itu adalah senyum dingin, penuh ironi.

"Lucia," suaranya tenang, nyaris menyeramkan. "Akhirnya waktunya tiba. Ayahmu sudah mendapatkan balasannya."

Kata-kata itu menusuk dada Lucia lebih tajam dari belati. Dalam seketika dunia Lucia runtuh ketika mendengar dua kata selanjutnya dari suami yang ia cintai ucapkan.

Balas dendam.

BAB 2. BALAS DENDAM

Lucia Davidson berdiri terpaku. Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir Samuel seperti belati yang menancap perlahan ke dalam dadanya. Sesuatu yang tak pernah ia bayangkan, apalagi sangka, keluar dari mulut pria yang selama enam bulan terakhir menjadi sandaran hatinya, suaminya, belahan jiwanya.

Ruang tamu yang megah dengan chandelier berkilauan di atas kepala mereka mendadak terasa dingin, membeku, seolah semua cahaya yang pernah memberi hangat kini meredup dan menyisakan gulita. Jantung Lucia berdegup kencang, keringat dingin merayapi tengkuknya, sementara kedua tangannya gemetar meski ia berusaha keras menggenggam erat jemarinya sendiri.

"Sam?" Suara Lucia lirih, hampir tak terdengar. "Apa maksudmu dengan semua ini?"

Samuel hanya menatapnya dengan tatapan mata tajam yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Tatapan itu asing, dingin, seakan pria yang berdiri di hadapannya bukanlah pria yang sama yang dulu meraih tangannya di tepi pantai dan berjanji akan melindunginya selamanya.

Dan tiba-tiba, seperti sebuah pintu kenangan yang terbuka tanpa permisi, ingatan-ingatan indah tentang Samuel menyerbu kepala Lucia.

Ia ingat betul saat pertama kali bertemu Samuel di sebuah acara amal perusahaan Barnett Corporation. Samuel berdiri tegap, mengenakan setelan jas sederhana, bukan dari merk ternama, tetapi entah bagaimana caranya, pria itu tetap terlihat menawan. Ia tersenyum padanya dengan tatapan penuh kehangatan, seolah hanya ada Lucia seorang di ruangan yang dipenuhi para pengusaha dan sosialita itu.

"Lucia Barnett?" Samuel menyebut namanya dengan lembut waktu itu, dan Lucia merasa seakan dunia berhenti berputar.

Dari situlah segalanya bermula. Makan malam pertama mereka di restoran kecil, Samuel yang mengajaknya tertawa karena menceritakan kisah lucu masa kecilnya, lalu pelukan hangat di tengah hujan deras setelah mobil mereka mogok. Semua itu, bagi Lucia, adalah potongan-potongan mozaik yang membentuk cinta.

Dan malam ketika Samuel melamarnya, di taman yang diterangi ratusan lilin, Lucia menangis terharu. Samuel berlutut, menatapnya dengan mata berbinar.

"Aku ingin menua bersamamu, Lucia. Izinkan aku menjadi rumahmu."

Bagaimana mungkin kini pria itu bisa berkata sebaliknya?

Namun di tengah derasnya kenangan manis, tiba-tiba satu ingatan mencuat, begitu tajam hingga membuat Lucia terperanjat.

Bulan lalu, saat mereka sedang bersantai di kamar setelah makan malam, Samuel tiba-tiba bergumam lirih. Waktu itu Lucia mengira suaminya hanya sedang lelah.

"Jika saja kau tahu, Lucia ... semua ini adalah balasan yang pantas diterima keluargamu."

Lucia, yang setengah mengantuk, hanya menoleh sambil tersenyum samar. "Apa maksudmu, Sam?"

Samuel waktu itu cepat-cepat menggeleng, mengusap rambutnya, dan berbisik, "Tidak ada, Honey. Aku hanya bercanda."

Lucia tidak menaruh curiga. Lucia terlalu sibuk memanjakan dirinya dalam buaian kasih sayang Samuel.

Namun kini, ucapan itu kembali menghantam kesadarannya seperti badai yang mengguncang kapal rapuh. Itu bukan sekadar lelucon. Itu adalah petunjuk. Dan betapa bodohnya ia karena mengabaikannya.

"Kenapa kau melakukan ini, Sam?" suara Lucia pecah, matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa kau menghancurkan semua yang kita miliki?"

Samuel tertawa pendek, getir, penuh ejekan.

"Hah? Semua yang kita miliki? Kau bahkan tidak tahu, Lucia. Tidak ada yang pernah kita miliki. Pernikahan ini ..." ia menunjuk dirinya dan Lucia dengan jari penuh kemarahan, "... hanya sebuah permainan bagiku. Sebuah pintu yang membawaku pada apa yang seharusnya menjadi milikku, akses ke harta ayahmu, perusahaan yang selama ini menghancurkan keluargaku. Semua hanya untuk balas dendam."

Lucia mundur setapak tubuhnya gemetar, dadanya sesak. "Kau ... menikahiku hanya untuk ... balas dendam?"

"Ya," jawab Samuel tanpa ragu. "Aku tidak pernah mencintaimu, Lucia. Aku hanya mencintai kesempatan untuk membuat ayahmu membayar semua dosanya."

Tangis Lucia pecah. Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangannya, tubuhnya bergetar. Kata-kata Samuel menusuk lebih dalam daripada pisau.

"Aku tidak mengerti ..." suara Lucia terisak. "Kenapa harus aku-"

"Cukup!" Samuel membentak, membuat Lucia terdiam. Tatapan pria itu penuh api kebencian yang membara bertahun-tahun.

"Kau tahu apa yang ayahmu lakukan, Lucia? Ayahmu bukan orang suci seperti yang kau bayangkan. Dia adalah monster dengan jas mahal. Ayahmu membunuh ayahku. Bukan penyakit, bukan takdir, ayahmu sendiri yang membuat ayahku mati," ujar Samuel tajam.

Samuel melangkah maju, suaranya berubah menjadi getir, setiap kata keluar dari kedalaman luka yang sudah lama ia pendam.

"Ayahku hanyalah seorang pengusaha kecil yang menolak menjual perusahaannya pada ayahmu. Dia menolak tunduk, menolak memberi jalan pada ambisi kotor Barnett. Dan apa yang ayahmu lakukan? Dia membuat ayahku bangkrut, memanipulasi kontrak, merusak semua reputasi bisnisnya, hingga ayahku jatuh sakit karena depresi. Dan ketika akhirnya ayahku mencoba melawan, dia ditemukan tewas dalam sebuah 'kecelakaan kerja'. Semua orang tahu itu bukan kecelakaan, tapi siapa yang berani menuduh Barnett? Tidak ada! Ayahmu membayar petugas dan saksi untuk tutup mulut!"

Lucia terdiam, matanya melebar atas ketidakpercayaan dari yang ia dengar. Lucia tidak tahu apa pun.

Samuel menahan napas, tangannya terkepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih. "Setelah itu, ibuku tidak sanggup menanggung penderitaan. Dia jatuh dalam depresi, tenggelam dalam kesedihan, dan akhirnya meninggal ketika aku berusia empat belas tahun. Aku sendirian, Lucia. Sendirian di dunia yang begitu kejam."

Lucia menatap Samuel dengan mata berlinang. "Sam ..."

Namun pria itu hanya menatapnya dengan dingin. Amat sangat dingin hingga membuat Lucia sulit untuk bernapas.

"Kau tahu, saat aku berjuang mati-matian untuk bertahan hidup, bekerja apa saja demi sesuap nasi, aku melihatmu di televisi. Kau berdiri di samping ayahmu, tersenyum dalam gaun mahal, diliputi cahaya sorotan kamera. Kau tampak ... begitu cantik. Cantik hingga membuatku ingin membunuhmu," tukad Samuel.

Lucia terisak keras. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, tubuhnya lemas. Bagaimana bisa cinta yang Lucia percayai sepenuh hati ternyata berakar dari kebencian sebesar itu?

Samuel menyeringai, sebuah senyum sinis yang tak pernah Lucia lihat sebelumnya. "Dan kau ... kau begitu naif, Lucia. Begitu bodoh. Kau dengan mudah percaya pada semua ucapanku. Kata-kata manis, janji cinta, pelukan hangat, semuanya palsu. Hanya umpan agar kau percaya, agar aku bisa masuk ke dalam dunia Barnett tanpa hambatan. Gadis manja yang hidup dalam kemewahan sepertimu benar-benar membuatku muak."

Lucia jatuh terduduk di sofa, air matanya jatuh tanpa henti. "Kenapa ... kenapa aku?"

Samuel menunduk, menatapnya dengan sorot mata setajam pisau. "Karena kau adalah darah daging Barnett. Jika ingin menyalahkan seseorang, salahkan ayahmu. Darahnya mengalir di nadimu, darah yang penuh dosa, darah yang telah menghancurkan banyak kehidupan. Kau adalah simbol dari semua yang kubenci. Anak kesayangan Thomas sudah sepatutnya jatuh bersama ayahnya."

Lucia merasa dunianya runtuh. Suami yang ia cintai, yang ia percayai, yang ia jadikan rumah bagi jiwanya, kini berdiri di hadapannya sebagai musuh yang memusnahkan segalanya.

Samuel meraih jasnya, lalu berjalan ke arah pintu. Tanpa sedikit pun menoleh, ia berkata dengan suara dingin.

"Selamat tinggal, Lucia."

Pintu tertutup dengan bunyi keras, meninggalkan Lucia yang terduduk sendirian di ruang megah itu, namun kini terasa seperti penjara kosong.

Air mata mengalir deras, menodai pipinya yang pucat. Suara tawa Samuel masih bergema di telinganya, bersama setiap kata yang menghancurkan hatinya menjadi serpihan.

Dan di tengah keheningan itu, Lucia menyadari satu hal; hidupnya telah hancur.

BAB 3. HANCUR

Keheningan setelah pintu itu tertutup terasa begitu mencekik. Lucia masih duduk terpaku, matanya menatap kosong ke arah pintu seakan menunggu Samuel kembali masuk dan mengatakan semua yang terjadi hanyalah lelucon kejam yang disebabkan kelelahan atau kesalahpahaman. Namun menit demi menit berlalu, dan suara langkah kaki Samuel kian menjauh, meninggalkan kehancuran yang tak bisa dipulihkan.

Air mata Lucia mengalir deras, membasahi gaun satin berwarna gading yang dikenakannya malam itu. Kedua tangannya yang gemetar berusaha menahan tubuhnya agar tidak roboh, namun dadanya terasa sesak. Rasa sakit itu menekan begitu kuat, membuatnya hampir sulit bernapas.

"Tidak mungkin ... ini tidak mungkin," gumam Lucia berulang kali, seperti seseorang yang memaksa dirinya percaya pada kebohongan agar tidak tenggelam dalam lautan keputusasaan.

Namun kenyataan sudah berdiri telanjang di hadapannya: Samuel tidak pernah mencintainya.

Ingatan tentang senyum Samuel kembali menyeruak, namun kali ini terasa seperti racun.

Bagaimana mungkin kau tidak menyadari semua tanda? Bagaimana mungkin kau membiarkan dirinya begitu buta oleh cinta? rutuk Lucia pada dirinya sendiri.

Lucia teringat pada momen ketika Samuel menyentuh wajahnya dengan lembut di balkon rumah mereka, berkata, "Aku beruntung memilikimu. Kau adalah hadiah yang tak ternilai."

Kata-kata itu kini terdengar seperti ejekan.

Apakah semua pelukan, semua kecupan lembut di kening, semua janji yang dibisikkan di tengah malam hanyalah topeng untuk menutupi niat busuknya?

Lucia menunduk, suaranya pecah di antara tangisnya. "Kenapa kau melakukan ini padaku, Sam?!"

Dan jawabannya sudah jelas, terngiang begitu tajam dari ucapan Samuel: Ya. Aku tidak pernah mencintaimu.

Tangis Lucia menggema di dalam apartemen, penuh rasa sakit dan kehancuran.

Lucia bangkit perlahan dari sofa seakan berusaha meraih kenyataan dalam tangisnya, langkahnya terhuyung, tubuhnya terasa rapuh. Ia berjalan ke meja samping di mana terdapat bingkai foto pernikahan mereka. Di foto itu, Samuel menggenggam tangan Lucia dengan senyum hangat, sementara Lucia tersenyum penuh cinta.

Tangannya bergetar saat menyentuh bingkai itu, lalu tanpa sadar menjatuhkannya ke lantai. Suara kaca pecah terdengar nyaring, memantul di seluruh ruangan. Lucia menutup mulutnya, tubuhnya semakin bergetar.

Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Apa salahku hingga dia pantas dipermainkan dengan begitu kejam?

Air mata kembali turun. Ia terduduk di lantai, meraih pecahan kaca yang memantulkan wajahnya sendiri. Wajah yang basah air mata, penuh keputusasaan, bukan lagi Lucia yang penuh percaya diri seperti dulu.

"Kenapa, Tuhan? Kenapa harus selalu aku?" suaranya pecah, hampir seperti erangan seorang anak kecil yang kehilangan arah.

Namun semakin ia tenggelam dalam kepedihan, semakin jelas kata-kata Samuel terngiang.

Samuel berkata bahwa ayahnya meninggal bukan karena sakit, melainkan karena ulah Thomas. Samuel menuduh Thomas menghancurkan hidup ayahnya, membuat ibunya depresi dan meninggal, meninggalkan Samuel seorang diri di usia belia.

Lucia menggenggam kepalanya, mencoba menolak semua itu.

"Aku tidak tahu apa pun, Sam ... aku tidak tahu. Kenapa kau membalaskan dendammu kepadaku?" tangis Lucia.

Lucia kembali teringat masa kecilnya. Ia selalu hidup bergelimang kemewahan: pesta ulang tahun megah, gaun mahal, vila di berbagai negara. Namun ada satu bayangan yang kini kembali menghantui, pernah suatu kali ia mendengar ibunya bertengkar dengan ayahnya.

"Aku tidak suka caramu menjatuhkan perusahaan itu, Thomas. Mereka punya keluarga," ucap Astrid, ibu Lucia.

"Aku tidak peduli. Dunia ini milik yang kuat. Jika aku tidak menghancurkannya, mereka akan menghancurkan kita," kata Thomas.

Waktu itu, Lucia yang masih berusia dua belas tahun tidak mengerti. Ia hanya berlari ke kamarnya sambil menutup telinga. Tapi sekarang, percakapan itu terdengar sangat jelas, seolah baru terjadi kemarin.

Dan kata-kata Samuel tentang ayah Lucia menjadi semakin masuk akal. Tapi apa salah Lucia yang tidak tahu apa-apa namun harus mendaparkan semua mimpi buruk ini?

"Kau bahkan tidak tahu apa yang aku alami. Kau tidak tahu, Sam. Aku bukan anak kesayangan ... aku hanya boneka ayahku. Dan kau menjadikanku bonekamu juga. Kenapa kalian semua memperlakukanku seperti ini? Apa salahku sebenarnya?" ucap Lucia dalam tangisnya. Hatinya benar-benar hancur.

Malam itu, Lucia jatuh terduduk di lantai kamar, tubuhnya lemah, air mata tak kunjung berhenti. AC yang hidup membuat Lucia tenggelam semakin dalam ke dingin yanh menusuk kulitnya, namun rasa sakit di dalam hati jauh lebih mencekik.

Ia menatap foto yang tergeletak di lantai lagi dan lagi, berharap kalau semua ini hanya mimpi buruk dan Lucia akan segera terbangun.

"Selamat tinggal, Lucia," suara Samuel kembali bergema di telinganya, menghantui seperti bisikan iblis.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lucia merasa benar-benar sendirian. Terlebih dengan rasa sakit melebihi ketika ayahnya memukul Lucia dengan tongkat golf dulu.

Jam dinding berdentang pelan, namun bagi Lucia, setiap dentangnya terdengar seperti palu yang menghantam jiwanya. Waktu berjalan, tapi ia tetap terjebak di titik yang sama: detik ketika Samuel mengucapkan selamat tinggal dengan dingin.

Ruang rumah itu, yang dulu penuh tawa dan kebersamaan, kini berubah menjadi saksi bisu pengkhianatan. Sofa yang dulu sering mereka duduki bersama kini terasa asing, dingin, seakan menolak menyentuh tubuhnya. Meja makan yang biasanya dipenuhi hidangan hangat kini kosong, seperti menegaskan kehampaan yang melingkupinya.

Lucia meraih selimut tipis dan memeluknya erat, seakan benda itu bisa menggantikan kehangatan Samuel. Namun selimut hanyalah kain; tidak mampu memberi ketenangan pada hati yang porak-poranda.

Lucia teringat pada malam-malam ketika Samuel menemaninya terjaga, mengusap rambutnya, berjanji akan selalu ada. Janji itu kini terdengar seperti candaan sinis. Setiap kenangan yang dulu ia anggap indah kini menjelma duri yang menusuknya tanpa ampun.

"Kenapa kau tega, Sam?" bisiknya di tengah tangis yang sudah kering, air mata tak lagi mengalir, hanya meninggalkan perih di kelopak mata.

Ia menatap jari manisnya, cincin pernikahan masih melingkar di sana. Cahaya berlian memantul redup, seolah ikut mengejeknya. Dengan tangan gemetar, Lucia mencoba melepas cincin itu, tapi entah mengapa jari-jarinya terasa berat. Seakan cincin itu menempel bukan hanya di kulit, tetapi juga di hatinya.

"Kenapa?" suaranya lirih, nyaris hancur. Masih tidak percaya dengan yang terjadi.

Semua ucapan Samuel terus berputar dalam pikirannya.

"Aku tidak pernah mencintaimu."

"Ayahmu membunuh ayahku."

"Jika ingin menyalahkan seseorang, salahkan ayahmu sendiri."

Kata-kata itu menjadi racun yang merembes perlahan, melumpuhkan sisa rasa percaya diri yang selama ini Lucia miliki. Lucia mulai bertanya-tanya: apakah semua orang memandangnya sebagai bayangan Thomas Barnett? Apakah ia hanya akan mewarisi dosa, bukan kebaikan?

Lucia memejamkan mata, tapi setiap kali ia mencoba tidur, wajah Samuel yang penuh kebencian muncul, menghantui. Tatapan tajam itu membuatnya menggigil ketakutan.

Untuk pertama kalinya, ia takut pada pria yang dulu menjadi sandaran hatinya. Ia takut pada pria sekarang.

Kenapa kau terlalu kejam padaku, Tuhan. Kenapa aku terus dihukum seperti ini? batin Lucia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!