Keadaan yang kau dan menghancurkan seolah belum puas menghantam Lucia ketika suami yang ia cintai meremukkan hidup Lucia yang dijadikan alat balas dendam.
Suara ketukan keras di pintu membuat Lucia tersentak. Dadanya berdebar, berharap sejenak Samuel kembali untuk menarik ucapannya, mengatakan bahwa semua hanya salah paham. Namun, begitu pintu terbuka, bukan wajah pria itu yang muncul. Yang berdiri di ambang pintu adalah sosok wanita paruh baya dengan tatapan dingin menusuk, Astrid Barnett, ibunya sendiri.
"Akhirnya aku menemukanmu di sini," suara Astrid tegas, penuh amarah yang ditahan-tahan. Tanpa menunggu undangan, ia melangkah masuk, sepatu hak tingginya menghantam lantai marmer apartemen, menambah ketegangan di udara.
Lucia terdiam, tak sanggup menyambut.
Astrid menatap putrinya dengan sorot mata tajam. "Kau puas sekarang?! Lihatlah apa yang sudah kau lakukan. Semua ini karena kebodohanmu menikahi pria itu. Samuel Davidson ... dari awal aku sudah bilang, dia bukan orang yang bisa dipercaya!"
"Mom ...." suara Lucia bergetar, seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah.
"Jangan 'Mom' padaku!" Astrid membentak, suaranya bergema di ruangan. "Ayahmu sekarang ditahan polisi. Nama baik keluarga kita hancur. Perusahaan yang dia bangun puluhan tahun lenyap begitu saja, dijual oleh suamimu itu. Dan kau ..." ia menunjuk Lucia dengan telunjuk gemetar, "... kau adalah biang dari semua ini. Kau anak yang dibutakan cinta, Lucia! Anak tidak tahu diri!"
Setiap kata itu menusuk lebih dalam daripada pisau. Lucia merasakan tubuhnya bergetar, seakan fondasi terakhir yang menopangnya runtuh.
"Aku ... aku hanya percaya kalau dia pria baik," lirih Lucia, suaranya nyaris tenggelam dalam tangis.
Astrid menghela napas kasar, lalu menatap putrinya dengan getir. "Percaya? Percaya pada orang yang bahkan tidak kau kenal baik? Kau buta, Lucia. Kau pikir cinta bisa menyelamatkanmu dari kenyataan? Lihat dirimu sekarang. Kau sudah kehilangan segalanya."
Ya, Lucia kehilangan segalanya. Tidak ada yang lebih tahu hal itu dibandingkan Lucia sendiri.
Astrid berbalik, menahan air mata yang tak ingin jatuh di depan anaknya. "Kau memalukan. Aku tak bisa lagi melihatmu sebagai putriku. Kau hanya bayangan orang yang dulu pernah aku banggakan. Benar kata ayahmu, melahirkan anak perempuan itu adalah hal terbodoh. Kau tidak ada gunanya sama sekali. Seharusnya kau memang tidak pernah lahir ke dunia ini dengan begitu kau tidak menghancurkan kehidupan kami."
Ucapan itu lebih kejam dari pada makian apa pun. Lucia membeku, matanya kosong, menyaksikan punggung ibunya menjauh. Pintu apartemen tertutup keras, menyisakan keheningan yang begitu pekat hingga membuat napasnya sendiri terasa asing.
Sejak saat itu Lucia tidak pernah lagi mendengar tentang keberadaan ibunya. Aset terakhir dibawa oleh sang ibu dan pergi entah kemana, meninggalkan Lucia dalam kehampaan dan sendirian di tengah kehancuran ini.
Beberapa hari kemudian, kabar penangkapan ayahnya, Thomas Barnett, menghantam telinga Lucia melalui berita televisi dan surat kabar. Foto ayahnya yang digiring polisi dengan wajah penuh tekanan terpampang di layar kaca. Tuduhan penggelapan dana, manipulasi saham, dan penipuan publik menghiasi headline di seluruh Los Angeles.
Lucia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya pecah, tubuhnya gemetar tak terkendali. Ayah yang Lucia kenal selalu menatap tidak senang dirinya, yang selalu memukuli Lucia hanya karena kesalahan kecil, kini dicap kriminal di hadapan dunia.
Di dalam hatinya, ia tahu semua ini ulah Samuel. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Bukti-bukti sudah disusun rapi, opini publik sudah dibentuk. Siapa yang akan percaya pada dirinya, seorang istri yang bahkan tak bisa membaca tanda-tanda kebohongan suaminya sendiri?
Di mata dunia Lucia hanyalah perempuan bodoh. Anak dari seorang kriminal.
Lucia dipanggil ke kantor polisi sebagai saksi sekaligus eksekutif perusahaan Barnett Corporation. Ruang interogasi itu dingin, lampu putih menyilaukan menggantung di atas kepala. Dua polisi duduk di depannya, menatap dengan tatapan tajam seakan mencari celah kebohongan.
"Mrs. Lucia Davidson," salah satu polisi membuka berkas, "Anda menjabat sebagai direktur eksekutif selama enam bulan terakhir, benar?"
Lucia mengangguk pelan.
"Selama masa jabatan itu, apakah Anda mengetahui adanya aliran dana fiktif dan pemindahan aset ke rekening luar negeri?"
Lucia menelan ludah, kepalanya menunduk. "Saya ... tidak tahu. Semua itu diurus langsung oleh Thomas Barnett. Dia ayah saya, sekaligus ... presiden direktur."
Tatapan sinis melintas di wajah polisi lain. "Jadi Anda mengatakan bahwa Anda sama sekali tidak mengetahui tindakan ilegal ayah Anda? Padahal Anda ikut menandatangani beberapa dokumen?"
Lucia tertegun. Dokumen. Ya, ia memang menandatangani banyak berkas yang diberikan sang ayah, dengan percaya penuh tanpa membaca detail. Air matanya menggenang.
"Saya ... hanya pekerja di sana. Tidak tahu apa-apa," jawabnya lirih, hampir tak terdengar.
Polisi itu saling pandang, mencatat sesuatu. Sementara Lucia duduk membisu, merasa dunia benar-benar menelannya hidup-hidup.
Hari-hari setelah interogasi terasa panjang dan gelap. Lucia jarang keluar dari apartemen. Tirai ditutup rapat, lampu jarang dinyalakan. Piring kotor menumpuk di meja makan, gelas-gelas berisi sisa air mengering. Wajahnya pucat, matanya bengkak, tubuhnya kurus karena kehilangan nafsu makan.
Setiap malam ia duduk di sudut kamar, memeluk lutut, menatap kosong ke arah dinding. Suara-suara masa lalu menghantui kepalanya: tawa Samuel, janji-janji manisnya, panggilan lembut 'Honey' Semua itu kini terasa seperti ejekan kejam.
Kadang ia bermimpi Samuel kembali, mengetuk pintu, meraih tangannya, meminta maaf. Namun begitu terbangun, kenyataan menamparnya lebih keras. Apartemen tetap sepi, hanya dirinya seorang diri.
Lucia merasakan dirinya jatuh dalam jurang yang tak berujung. Ia tak lagi mengenali wajahnya di cermin, hanya ada sosok rapuh dengan tatapan kosong.
Suatu sore, di tengah keheningan yang pekat, suara bel pintu berbunyi. Jantung Lucia berdegup kencang. Harapan kembali menyala: mungkinkah Samuel? Apakah ia menyesal? Apakah ia kembali?
Dengan langkah gemetar, ia menuju pintu dan membukanya. Namun yang ia temukan hanyalah seorang kurir dengan seragam biru, memegang sebuah map cokelat tebal.
"Paket untuk Mrs. Davidson," katanya singkat.
Lucia menerima tanpa banyak bicara, lalu menutup pintu kembali. Ia menatap map itu lama, ada ketakutan yang merayap dari ujung jarinya. Dengan ragu, ia akhirnya membuka.
Isinya membuat seluruh tubuhnya membeku. Seakan pasokan oksigen menguap keluae seluruhnya dari paru-paru Lucia.
Surat cerai.
Di atas tumpukan kertas hukum itu, tergeletak selembar catatan kecil dengan tulisan tangan yang amat Lucia kenal.
'Tandatangani ini. Semuanya sudah berakhir. Jangan coba mencariku.'
Kertas itu bergetar di tangannya. Air matanya jatuh deras, membasahi huruf-huruf kejam itu. Dunia seakan runtuh sekali lagi, menghancurkan sisa-sisa kecil yang masih ia pertahankan.
Lucia terjatuh ke lantai, memeluk map cokelat itu erat-erat. Isak tangisnya pecah, memenuhi ruang apartemen.
Sejak detik itu, Lucia merasa dirinya hanyalah sekadar cangkang kosong. Tanpa jiwa, tanpa tujuan, hanya tubuh yang masih bernafas, sementara hatinya sudah mati bersama pengkhianatan Samuel.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Ir
ga usah kepedean lu samsul, siapa juga yg bakal nyariin elu, ga ada yaaa
dan untuk lu mak Lampir awas lu balik lagi pas lucia udah bangkit
2025-09-12
1
Ariany Sudjana
kenapa selalu yang perempuan posisinya lemah sekali? seperti Lucia ini, sudah jelas suami pergi, masih juga mengharapkan Samuel kembali lagi dan minta maaf?
2025-09-13
1
Jelita S
jangan menyerah Lucia,, bangkitlah buat apa menangisi Samuel si centong nasi
2025-09-12
1