Langit sore memerah, mentari mulai tenggelam di balik pegunungan. Desa Qinghe beristirahat setelah seharian bekerja, suara jangkrik mulai terdengar dari semak-semak.
Xiao Feng terbaring di pondok sederhana milik Wu Zhen. Bahunya diperban dengan kain kasar, tubuhnya penuh luka. Setiap gerakan kecil membuatnya meringis. Namun, meski seluruh tubuhnya sakit, sorot matanya justru dipenuhi cahaya baru—campuran antara rasa sakit, kegigihan, dan keyakinan.
“Aku benar-benar melakukannya… aku melawan binatang buas itu dan tetap hidup,” pikirnya.
“Kalau aku bisa melakukan itu, maka aku bisa melakukan lebih banyak lagi.”
Wu Zhen duduk bersila di dekat tungku api, merebus ramuan herbal pahit. Uap harum menyebar di udara, meski rasa pahitnya menusuk hidung.
“Minum ini.” Ia memberikan mangkuk kayu pada Xiao Feng.
Tanpa ragu, bocah itu menenggaknya, meski wajahnya langsung meringis karena rasa pahit menusuk lidah.
Wu Zhen terkekeh pelan. “Kau akan terbiasa. Ramuan itu akan memperbaiki sedikit aliran Qi-mu.”
Setelah beberapa saat hening, Wu Zhen menatap Xiao Feng dengan sorot tajam.
“Xiao Feng, kau sudah membuktikan bahwa tekadmu cukup kuat. Tapi tekad saja tidak cukup. Untuk melangkah lebih jauh, kau harus memiliki teknik kultivasi. Tanpa itu, Qi-mu hanyalah energi liar yang mudah menghilang.”
Xiao Feng menegakkan tubuhnya, meski terasa sakit. “Guru, tolong ajarkan padaku.”
Wu Zhen mengangguk. “Teknik kultivasi yang akan kuberikan padamu adalah warisan dari guruku dulu. Namanya ‘Nyala Api Kehidupan’ (Flame of Life Art). Meski hanya teknik dasar, tapi jika dijalankan dengan benar, ia bisa menjadi fondasi yang lebih kokoh dari seribu teknik tinggi.”
Mata Xiao Feng melebar. “Api… kehidupan?”
Wu Zhen menutup matanya, lalu perlahan membuka telapak tangannya.
Dalam sekejap, setitik api kecil menyala di tangannya—bukan api biasa, melainkan api biru pucat, berkilau seolah hidup.
Api itu menari pelan, tapi aura hangatnya menggetarkan hati Xiao Feng.
“Api ini bukan sekadar panas,” jelas Wu Zhen. “Ia adalah simbol kehidupan. Jika kau bisa menyalakannya di dalam tubuhmu, itu akan menjadi tanda bahwa kau benar-benar memasuki jalan kultivasi.”
Wu Zhen memberikan instruksi.
“Duduk bersila. Fokus pada dantian-mu, tepat di bawah pusar. Bayangkan sebuah percikan api kecil di sana. Tarik napas… biarkan Qi-mu terkumpul pada percikan itu. Jangan biarkan padam.”
Xiao Feng menurut. Ia memejamkan mata, mengatur napas sesuai arahan gurunya. Dalam kegelapan pikirannya, ia membayangkan sebuah percikan kecil, rapuh dan hampir padam. Ia mencoba mengalirkan Qi tipisnya ke arah sana.
Awalnya, Qi-nya berantakan, liar dan sulit dikendalikan. Ia batuk keras, darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
Wu Zhen tidak menolongnya. Ia hanya berkata, “Jangan berhenti. Semua kultivator pernah mengalami kegagalan pertama. Kau harus mengendalikan Qi itu, bukan membiarkannya mengendalikanmu.”
Xiao Feng mencoba lagi. Berkali-kali Qi-nya berantakan, membuat tubuhnya gemetar kesakitan. Dadanya terasa seperti terbakar dari dalam. Namun setiap kali ia hampir menyerah, wajah orang tuanya yang samar muncul di pikirannya, juga sumpahnya pada langit.
“Aku… tidak boleh berhenti…” bisiknya dengan napas berat.
Waktu berlalu. Tubuhnya basah oleh keringat, wajahnya pucat. Namun perlahan, Qi-nya mulai lebih teratur. Ia berhasil mengarahkan seberkas kecil energi ke percikan imajinasinya.
Dan tiba-tiba, di dalam tubuhnya, ia merasakan sesuatu menyala.
Bukan api sungguhan, melainkan sebuah percikan hangat di dalam dantiannya.
Mata Xiao Feng terbuka lebar. “Guru! Aku… aku merasakannya! Ada api kecil di dalam tubuhku!”
Wu Zhen tersenyum samar. “Itu dia… benih Nyala Api Kehidupan. Kau telah berhasil menyalakan cahaya pertama.”
Cahaya kecil itu membuat tubuh Xiao Feng terasa lebih hidup. Luka di bahunya seperti sedikit berkurang sakitnya, napasnya terasa lebih ringan. Ia tahu ini bukan ilusi—api kecil itu benar-benar nyata.
Wu Zhen berkata, “Sekarang kau hanya memiliki percikan. Tapi jika kau terus memeliharanya, ia akan tumbuh. Suatu hari, api itu bisa menjadi lautan api yang mampu membakar gunung dan membelah langit.”
Xiao Feng mengepalkan tangannya. “Aku akan menjaganya, Guru. Sampai api ini menyala seterang bintang di langit!”
Wu Zhen mengangguk puas. Namun di dalam hatinya, ia bergumam,
“Anak ini… jika terus berkembang dengan tekad sekuat ini, mungkin ia benar-benar akan melampaui gurunya. Bahkan… melampaui para dewa.”
Malam tiba. Xiao Feng duduk di luar pondok, menatap bintang-bintang. Ia bisa merasakan percikan kecil itu menyala samar di dalam tubuhnya, memberi rasa hangat dan tenang.
Tangannya menggenggam batu giok hijau warisan ayahnya.
“Ayah, Ibu… aku sudah menyalakan api pertamaku. Aku akan terus melangkah, sampai aku benar-benar bisa melindungi semua yang kucintai. Suatu hari, aku akan mencapai puncak dan menantang langit itu sendiri.”
Bintang-bintang berkelip, seolah menjawab sumpahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
༄⍟Mᷤbᷡah²_Atta࿐
Tidak perlu pakai istilah bahasa Inggris Thor..
2025-09-10
0
Nanik S
Maaantaaaap
2025-09-11
0