Bab 2. Amarah Sang Ayah

Plakkk!!!!

"Anak macam apa kamu ini Num? Mengapa tengah malam seperti ini kamu baru sampai rumah!!"

Erlangga melayangkan sebuah tamparan keras di wajah Ranum kala wanita itu menginjakkan kakinya di teras. Kesabaran Erlangga seakan sudah terkikis habis melihat sikap putrinya yang sudah berada di batas kewajaran ini.

"Bapak!!!" pekik Ratri saat melihat Erlangga sedikit kalap karena telah menampar sang anak. Wanita paruh baya itu bergegas menghampiri Ranum dan mencoba untuk melindunginya dari amukan sang suami. "Kenapa Bapak menampar Ranum? Sungguh tidak pantas hal itu Bapak lakukan kepada anak Bapak sendiri!"

Ratri tak kalah berteriak lantang ketika melihat begitu mudahnya sang suami menampar Ranum. Sebagai seorang ibu yang sudah bertaruh nyawa melahirkan Ranum ke dunia, membuat hati wanita paruh baya itu berdenyut nyeri melihat Ranum diperlakukan secara kasar oleh ayahnya sendiri.

"Tamparan itu sangat pantas didapatkan oleh anak tidak tahu aturan seperti ini, Bu. Dia ini anak perempuan, bisa-bisanya kelayapan sampai larut malam seperti ini. Mau jadi apa dia, hah? Mau jadi pela*cur?"

"Cukup Pak, cukup!" teriak Ranum yang sepertinya sudah tidak tahan melihat keberingasan sang ayah. Ia melepaskan diri dari pelukan Ratri. "Selama ini aku merasa terkekang karena sikap Bapak yang terlalu overprotective. Aku ingin bebas seperti teman-temanku yang lain, Pak. Aku ingin menikmati masa-masa mudaku dengan melakukan apapun yang aku mau."

Dengan lantang, Ranum melontarkan kata demi kata di hadapan sang ayah. Sebuah gejolak rasa yang bersemayam dalam dada yang mungkin cukup membuat Ranum merasa tersiksa. Sikap overprotective dari sang ayah yang membuat Ranum seperti hidup di dalam penjara dunia.

"Apa kamu bilang? Kamu merasa terkekang dan ingin bebas?" tanya Erlangga dengan kedua bola mata yang membulat sempurna. "Kebebasan seperti apa yang kamu mau, hah? Apakah kebebasan seperti halnya kamu bebas melakukan apapun tanpa ada aturan yang mengikat? Apakah seperti itu?"

"Aku sudah dewasa, Pak. Aku berhak menentukan kemana langkah, arah dan tujuanku. Aku tidak mau diatur-atur lagi!"

Apa itu hormat kepada orang tua? Apa itu larangan berkata kasar terhadap orang tua yang tertulis di dalam kalam-kalam cinta Sang Maha penggenggam kehidupan? Semua seakan dilupakan oleh Ranum, hingga membuat wanita itu berani berteriak lantang seperti kesetanan di hadapan sang ayah.

Kedua bola mata Erlangga semakin membulat sempurna. Ada kilatan amarah yang terlihat begitu jelas di dalam sorot mata lelaki paruh baya itu. Kata demi kata yang keluar dari bibir Ranum ini seakan sudah mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang ayah yang seharusnya dihormati dan ditaati. Terlebih dia adalah salah satu pemuka agama yang begitu disegani di tempat tinggalnya.

Tangan Erlangga sedikit terkepal. Emosinya sudah memuncak tepat di atas ubun-ubun. Ucapan Ranum sudah seperti setetes bensin yang mengenai percikan api amarah dan siap membakar seluruh rasa sabar yang ia punyai. Lelaki itu mengayunkan tangan dan...

Plak... Plak!!!!

"Dasar anak kurang ajar! Berani-beraninya kamu melawan Bapak. Durhaka kamu Num!"

Plak... Plak...

"Bapak hentikan!!"

Ratri kembali memeluk tubuh putri sulungnya. Air mata wanita paruh baya itu semakin deras mengalir melihat sang suami yang semakin hilang kendali. Keberadaan Ratri lah yang seketika bisa menghentikan kekalapan Erlangga.

"Ibu mohon hentikan Pak! Kasihan Ranum. Dia pasti sangat kesakitan Bapak jadikan bahan pelampiasan amarah Bapak."

Dengan derai air mata, Ratri membuat sebuah permohonan kepada sang suami untuk menghentikan kekalapannya. Hati wanita paruh baya itu semakin teriris perih ketika melihat sudut bibir sang anak mulai mengeluarkan setetes darah.

"Terus, terus saja bela anak pembangkang ini Bu. Sikap Ibu inilah yang membuat anak ini semakin tidak punya aturan dan menjadi anak durhaka karena berani menentang Bapak!"

Lagi, Erlangga meneriakkan salah satu wujud amarahnya. Mata dan hati lelaki itu sudah terlanjur gelap sehingga tidak bisa memakai nuraninya lagi untuk memperlakukan sang anak dengan lembut.

"Cukup Pak! Ranum anak Bapak, ada darah Bapak yang mengalir di tubuhnya. Apa Bapak tega menghajar Ranum sebrutal ini?"

Dengan derai air mata yang deras, Ratri mencoba memberikan sebuah peringatan. Berharap, Sang suami bisa sadar dan meredakan emosi yang berhasil menguasai raga.

"Tapi anak ini sudah sangat keterlaluan Bu! Aku tidak pernah mengajarinya menjadi anak pembangkang seperti ini!" teriak Erlangga masih dengan emosi yang merajai.

Ratri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia paham jika saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk berdebat dengan sang suami. Wanita paruh baya itu memapah tubuh Ranum untuk ia bawa masuk ke kamar. Menjauhkan sang anak dari pandangan Erlangga yang ia yakini bisa sedikit meredam amarah sang suami. Rasa-rasanya akan sangat memalukan jika sampai para tetangga melihat keributan yang terjadi.

"Duduklah Nak!"

Ratri mendudukkan Ranum di bibir ranjang. Ia tatap lekat wajah Ranum sebelum akhirnya ia keluar dari kamar sang anak. Wanita paruh baya itu menuju dapur untuk mengambil es batu yang akan ia gunakan untuk mengompres pipi Ranum.

"Kamu sebenarnya dari mana Nak? Mengapa sampai larut malam seperti ini dan bahkan tidak ada kabar sama sekali? Bapak dan Ibu khawatir."

Dengan perlahan, Ratri mengompres sudut bibir Ranum dengan es batu yang dibalut dengan kain serbet. Darah yang sebelumnya setitik, kini semakin deras menetes yang disertai dengan robekan kecil di sana. Kondisi sang anak inilah yang semakin membuat jantung Ratri berdenyut nyeri.

Ranum hanya bisa terpaku. Tubuhnya membeku. Lidahnya kelu tak sanggup untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh sang ibu. Pandangannya kosong ke arah Ratri dengan seutas rasa yang tiada menentu.

"Sekarang istirahatlah Nak. Maafkan sikap bapak yang mungkin sangat kasar. Bapak memang salah namun semoga kamu bisa memahami bahwa itu adalah bentuk kekhawatiran bapak kepadamu. Bapak khawatir akan keadaanmu."

Ratri menggenggam tangan Ranum dengan erat. Sorot mata wanita itu memancarkan binar cinta dan kasih sayang yang begitu kentara untuk sang putri. Sedangkan Ranum masih tetap bungkam meskipun sudah berkali-kali sang ibu mengajaknya berbicara.

Ratri mulai beranjak dan mengayunkan tungkai kakinya untuk meninggalkan kamar Ranum hingga tubuh wanita paruh baya itu menghilang di balik pintu.

"Maafkan Ranum ya Bu. Ranum sudah melakukan kesalahan besar. Ranum sudah mengecewakan ibu dan bapak."

Suara Ranum lirih bergetar yang hanya bisa ia dengar sendirian. Bola matanya mulai berembun dan memunculkan titik-titik air di sudut mata. Rasa bersalah, rasa berdosa seakan kian menghimpit dada membuat bulir-bulir bening itu menetes perlahan. Dadanya seakan begitu sesak dan kepalanya seakan begitu pening kala bayang-bayang suram dan kelam yang akan ia jalani di hari esok nanti.

"Maafkan Ranum Bu. Maafkan Ranum!"

***

Usai keluar dari kamar, Ratri kembali ke teras untuk menghampiri sang suami. Nampak Erlangga tengah duduk di kursi rotan. Wajahnya mendongak dengan kepala bagian belakang ia sandarkan di dinding.

"Apakah selama ini aku terlalu mengekang anak-anakku Bu? Aku hanya takut jika sampai anak-anakku terjerumus ke dalam lembah nista dan sesat. Ibu tahu sendiri kan bagaimana pergaulan anak-anak zaman sekarang?"

Dada Erlangga masih naik turun sebagai pertanda jika lelaki itu masih berusaha keras untuk menguasai gejolak emosinya. Meskipun rasanya begitu puas bisa melupakan amarahnya, namun di sudut hati pria itu dirundung oleh perasaan bersalah karena sudah berbuat kasar terhadap putri sulungnya.

"Sudah Pak, sekarang Bapak juga istirahat. Udara di luar teramat dingin, Ibu takut jika sampai asma Bapak kambuh ketika udara dingin seperti ini."

Hati Erlangga sedikit melunak. Kali ini ia turuti perkataan sang istri. Pria itu beranjak dari posisi duduknya dan mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Diikuti oleh Ratri di belakang tubuh sang suami.

"Bu Ratri!"

Ratri yang baru saja akan menutup pintu rumah seketika ia hentikan aktivitasnya itu kala tiba-tiba salah seorang tetangga memanggil namanya. Suara itulah yang juga membuat Erlangga menghentikan langkah kakinya dan ikut mencari tahu apa yang akan dilakukan oleh tetangganya ini.

"Pak Kasim? Ada apa Pak?" ucap Ratri saat melihat tetangganya yang bernama Kasim melintasi depan rumahnya.

"Ah tidak apa-apa Bu. Saya hanya ingin tanya. Apa Ranum sudah tidak bekerja di pabrik lagi?" tanya Kasim langsung pada pokok persoalan.

Ratri dan Erlangga saling beradu pandang. Dahi keduanya sama-sama mengernyit seakan tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh Kasim ini.

"Ranum masih bekerja di pabrik kok Pak. Memang kenapa ya Pak?" tanya Ratri yang semakin penasaran.

"Oh begitu? Ya sudah Pak, Bu, mungkin tadi saya salah lihat," jawab Kasim yang justru membuat Ratri dan Erlangga semakin bertanya-tanya.

"Maksud pak Kasim apa? Tolong katakan yang jelas!" ujar Erlangga memberikan sebuah titah.

"Tadi saya melihat perempuan masuk ke dalam hotel yang ada di pusat kota Pak, Bu, dan perempuan itu perawakannya mirip sekali dengan Ranum. Saya kira itu memang Ranum yang mungkin sudah pindah kerja."

"Hotel?" lirih Erlangga.

Kedua bola mata Erlangga terbelalak sempurna. Api amarah yang sebelumnya sempat padam, kini seakan kembali menyala setelah Kasim menyampaikan berita yang sungguh mencengangkan. Pikiran-pikiran buruknya kembali berkeliaran di dalam kepala. Khawatir jika sampai sang anak melakukan sesuatu yang melanggar norma-norma kesu*silaan.

"Tapi mungkin saya salah lihat Pak, Bu. Kalau begitu saya pamit!"

Kasim berlalu pergi meninggalkan sepasang suami-istri yang masih berada dalam mode tercengang itu. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing yang mungkin sama buruknya dengan apa yang terjadi.

"Anak kurang ajar itu ke hotel? Apa yang dilakukannya di sana?" lirih Erlangga dengan telapak tangan yang mengepal.

.

.

.

Terpopuler

Comments

suciati

suciati

jangan gitu Num, itu bapakmu, gk sepantasnya kamu bersuara tinggi gitu. kualat nanti. tp Erlangga kasar juga sih, main tangan

2025-09-07

0

novi²⁵

novi²⁵

Ranum salah tp erlangga juga terlalu kasar sebagai seorang bapak..hmmm paling gk suka kl0 main tangan gitu

2025-09-07

0

Hanindia

Hanindia

waaaa..ada yg mergoki ranum di hotel...apa ini pertanda bahwa akan ketahuan?? seru kak.. lanjut

2025-09-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!