Kania tidak menyangka. Dia hari pernikahannya, ia harus mendapat pengantin pengganti. Lelaki asing yang entah dari mana datangnya. Di hadapan pendeta dan disaksikan oleh beberapa tamu undangan, pernikahannya pun dilangsungkan. Pria itu bahkan sangat serius dengan ucapannya. Kania bingung takdir hidup macam apa yang tengah dihadapinya. Ia terikat pernikahan seumur hidup dengan pria yang bahkan belum pernah ditemuinya sebelum hari itu. Rasa takut tiba-tiba menyusup hatinya. Kehidupan macam apa yang akan dijalaninya. Kania bimbang. Pria asing itu terlihat tanpa ragu menikahinya. Sebenarnya siapa pria itu. Pikiran-pikiran liar mulai merasukinya. Bagaimana jika pria itu adalah seorang buronan? Bagaimana jika pria itu adalah mafia kelas kakap seperti yang sering dibacanya di novel-novel. Bagaimana jika orang asing itu adalah pria beristri? Arkhhhh semakin dipikirkan, semakin pening. Kania berusaha rileks, seolah-olah tidak ada hal berarti yang sedang dicemaskan. Resepsi sederhana itu akhirnya berakhir. Pria itu mulai mengutarakan niatnya kepada ayah kania, Winara. Ia bermaksud memboyong Kania hari ini juga.
Sekali lagi, tatapan Kania menyusuri petak sempit yang menjadi tempat ternyamannya sejauh ini. Gadis itu menghapus air mata yang turun tanpa permisi dari pelupuk matanya. Sedikit berat meninggalkan rumah yang menyimpan memori kebersamaannya dengan sang ibu. "Ibu, bagaimana ini? Aku sangat bingung". Lirihnya. Kania menepuk-nepuk dadanya yang terasa sangat sesak. Tangannya mengelap kasar air mata yang membasahi wajahnya. Ia keluar dari petak sempit itu, sekarang menuju ruang tamu. Pria asing itu ada di sana, terlihat sedang berbicara serius dengan sang ayah, entah apa isi pembicaraannya Kania tidak peduli. Di sofa seberang, terlihat ibu dan kakak tirinya juga duduk, tatapan kakak tirinya tak lepas dari wajah pria asing itu. Rina terlihat sangat mengagumi ketampanan suaminya. Kania tidak peduli, gadis itu lebih memilih berdiri sebelum tangannya ditarik paksa oleh suaminya. Pria itu memintanya untuk duduk. Tuan Winara menatap putrinya acuh, seolah-olah Kania barang tak bernilai di matanya. Ia bahkan beberapa kali menjadi alasan putrinya menangis, namun mata batinnya seolah-olah tertutup. Hari itu juga Kania pergi dari rumah itu, tanpa air mata perpisahan dari sang ayah. Ibu dan kakak tirinya bahkan meliriknya tanpa minat. Keluarganya memilih untuk fokus pada jumlah uang fantastis yang diterimanya dari menantu dadakan keluarga itu. Drama keluarga itu akhirnya berakhir. Saat ini, Kania berada di dalam mobil suaminya, duduk di sebelah suaminya yang tengah sibuk dengan ponselnya.
"Ki-kita mau ke mana, Tuan?" Kania memberanikan diri bertanya meskipun kegugupan semakin menguasainya.
Lelaki itu meliriknya sekilas kemudian mengabaikan rasa penasaran istri dadakannya. Tangan pria itu sibuk mencengkeram setir mobilnya seolah-olah tak ada manusia di sampingnya. Mobil melaju dengan kecepatan sedang menapaki jalan-jalan setapak di pedesaan itu. Kania membuang tatapannya keluar berusaha menikmati perjalanannya kali ini. Di kiri kanan jalan, terlihat hamparan padi yang mulai menguning. Para petani terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Anak-anak pedesaan bermain riang di lahan kosong, menikmati indahnya masa kecil yang akan dirindukan di kemudian hari. Matahari mulai turun ke peraduannya, memancarkan cahaya kuning yang membuat lukisan alami ini semakin indah. Kania menghela napasnya pelan. Suasana damai ini yang akan dirindukannya nanti. Hatinya gundah. Ia belum sempat ke makam ibunya, hal paling wajib yang sering dilakukannya seminggu sekali. Dalam diam, kepingan-kepingan memori kebersamaannya dengan sang ibu perlahan menari-nari di kepalanya. Ia larut dalam pikirannya, mengabaikan pria asing yang disebut suami itu.
Restui keputusanku kali ini Ibu, batinnya. Ibunya selalu mengatakan bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Ya, Kania menunggunya, menunggu pelangi indah yang entah kapan datangnya. Mobil yang dikendarainya telah memasuki jalan raya. Gadis itu meremas-remas kedua tangannya dengan gugup.Kania bahkan tidak tau ia akan dibawa ke mana oleh pria asing itu. Ingin bertanya sekali lagi rasanya terlalu enggan. Takut-takut, ia melirik pria itu. Di lihat dari sudut mana pun pria ini sangat tampan. Lihatlah kontur wajahnya sangat sempurna, batin Kania lirih. Kania bingung kenapa pria itu sulit sekali bicara. Padahal, tadi ia mendengar langsung pria itu mengoceh panjang lebar dengan Tuan Kamal. Mungkin pria itu kehilangan kemampuan bicaranya, pikir Kania. Gadis itu tidak sadar bahwa tatapannya sekarang persis orang kerasukan. Pria di sampingnya bahkan mengernyitkan keningnya bingung melihat tatapannnya.
"Apa aku setampan itu?" Tanyanya singkat, sedikit menyebalkan.Kania gelagapan, tidak sadar bahwa perbuatannya diketahui pria itu. Duh siapa nama pria itu? Kania bahkan lupa.
Edward yah Edward. Berkali-kali, Kania mendengar rentenir tua itu memanggilnya Tuan Edward.
Sepertinya, Tuan Kamal sangat mengenali pria itu. Mungkin saja mereka rekan bisnis. Eh tapi selisih usia mereka sangat jauh. Bagaimana mungkin Tuan Kamal sangat takut dengan pria asing ini ?Tunggu! Berarti, pria ini juga seorang rentenir? "Tuan apa kau seorang rentenir?"
Edward Lamos mengerem mendadak, melirik istrinya kesal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
pipitjfa
beruntung dong Kania, gak nikah sama kakek kakek
2025-09-18
0