BAB 4—PPMITMC

HAPPY READING

_______________________________

Pria gagah nan egois itu termangu guna membandingkan sosok istrinya dengan wanita yang sibuk menendang lampu taman di belakang sana, berkutat di kepala, bagai kincir angin.

Ia berputar-putar dan terus menyangkal karena gaya pakaian mereka berbeda amat jauh.

Calvino mengerutkan wajah sambil meremas kemudi dengan sebelah tangan. "Gak mungkin," katanya menyangkal.

"Yuzdeline itu pakaiannya selalu ketat, dia gak pernah pake baju yang tertutup, sedangkan dia ...."

Lelaki itu membalik tubuh untuk mengintip kembali ke arah keberadaan wanita tadi, wajahnya menyembul keluar untuk memastikan dugaannya benar atau salah.

Kosong. Hanya ruang kosong dan nyanyian sunyi malam ini, semilir angin menyibakkan aroma malam yang mencuat—dinginnya merasuki hidung hingga menyebar ke kepala.

"Loh? Kok gak ada?" seru Calvino menyipitkan mata.

Sudut matanya mengunjungi lokasi dimana wanita itu menggerutu seorang diri, wanita tadi sudah tidak ada, entah ke mana perginya, jejaknya tak bersuara—bahkan bayangannya pun seolah menghilang begitu saja.

Lantas dia mengitari area sekitar, menjamah setiap jarak yang mampu dia tempuh dengan awas matanya, Calvino mendengkus, lalu berdecak.

Sambil menggeleng dia mengedikkan bahu. "Ah udahlah, mungkin cuman mirip. Lagian, wanita itu mana mau dia sendirian di tengah malam kayak gini, mana jalan kaki pula."

Calvino tidak lagi memedulikan sosok yang dia anggap mirip dengan istrinya, kendaraan mewah itu dibawa melesat jauh meninggalkan ruas jalan sunyi di sana.

Beriringan dengan sebuah mobil merah dengan kaca film hitam, hingga tak ada yang bisa menerawang keadaan di dalam mobil tersebut.

"Arght ..., lepaskan! Lepaskan!" pekik seorang wanita yang berada di kursi belakang dengan dua pria gagah di samping kiri dan kanan.

"Diam!" bentak pria lain yang mengendalikan kemudi mobil tersebut. "Kita hanya ingin membawamu ketemu dengan seseorang," tambahnya.

Wanita cantik berkulit putih bening itu menciut di tengah ke-dua lelaki yang menghimpitnya, bergetar ketakutan karena mendadak dia diseret paksa masuk ke mobil tersebut.

Ini adalah tindakan penculik. Gadis itu menatap nanar ke-tiga pria yang ada di sana, menerawang tiap orang untuk menemukan alasan, mengapa dia dibawa paksa ke sana.

Glekk!

"Siapa?" tanya Caroline, terpatah-patah ketakutan. "Saya gak tahu kalian siapa, dan saya gak ada urusan apapun dengan siapapun," pungkasnya tersengal.

Pria di sampingnya mengeratkan genggaman pada pergelangan tangan Caroline. "Ya, kamu emang gak tahu, tapi bos kami tahu kamu," timpalnya.

Siapa?

Kenapa?

Ada urusan apa?

Pertanyaan demi pertanyaan bergulir seiring berjalannya waktu, Caroline memeluk dirinya sendiri usai dia berhasil melepaskan genggaman ke-dua lelaki di sampingnya.

Dia diam karena berpikir. Membisu bukan ingin menurut, hanya saja Caroline sedang bergelut dengan isi kepala yang tak pernah padam, juga sedang merencanakan sesuatu.

Mereka ini sebenarnya siapa? Seseorang itu apa tujuannya?

Aku bukan orang kaya, apalagi istri CEO, masa diculik tanpa tujuan?

Apa jangan-jangan mereka ..., dari komplotan pen ju alan org*n tubuh manusia?

Beberapa isi kepalanya cukup ekstrim.

Secara impulsif dia membeliak, terkejut dan ketakutan sendiri oleh isi kepalanya, gadis itu menjeling ke kiri dan kanan secara bergantian.

Dengan napas tersengal, Caroline menatap semuanya dengan tajam, tegang, pupil matanya membeku karena isi kepalanya sendiri.

"Aagrht ...! Tolong ...! Tolong ..., mereka komplotan penjualan org*n tubuh manusia, tolong ...." Ribut sekali wanita ini, menghentakkan kaki dan mengguncang tubuh ke kiri dan kanan.

Membentur dua lelaki yang ada di sisinya, membuat semua pria di sana terkurung panik, hingga kemudi yang dikendalikan pria lain berkelok ke kiri dan kana tak beraturan.

Dua pria di sisi kiri dan kanannya terus membentur secara berulang, ditambah mobil itu tidak dalam keadaan kendali yang stabil, mengakibatkan mereka tidak mampu menahan Caroline.

"Woi! Diem!" teriak pria di sisi kiri, tangannya melayang ke udara.

Hendak merampas tangan atau bagian tubuh Caroline, namun dia terjungkal ke belakang akibat gadis ini yang terus mengguncang tubuh dan berusaha membuat keributan sendiri.

"Aarght ..., tolong woi! Mereka mafia woi! Tolong ...." Caroline sengaja menyikut pinggang pria di sisi kiri dan kanannya secara bergantian.

Disambung menginjak kaki ke-duanya dengan metode yang sama, lanjut Caroline menghentakkan sikut ke paha dalam ke-duanya.

Nyut....

Area sensitif itu melumpuhkan sekujur tubuh pria-pria itu. Berdenyut, perih, terasa ngilu. "Arght ..., si alan!" jerit mereka.

Brumm ....

Brakk!

Mobil menyamping dan berakhir membentur pohon besar di atas trotoar pejalan kaki. "Aarght ...."

Mereka semua terbentur ke badan mobil di dekat mereka, mengakibatkan kesadaran ke-tiga lelaki itu sejenak terganggu, pandangan mulai samar-samar kabur.

Di saat inilah kesempatan gadis itu. Tanpa tunggu lama lagi, Caroline lekas melompat keluar setelah dia menendang lelaki di sisi kiri.

"Aarght ..., cewek si alan!" pekiknya mengaduh dengan kepala menjuntai keluar dari mobil, sedang sebagian tubuhnya masih berada di dalamnya.

"Bodo amat!" ujar Caroline beranjak pergi dari sana, "Ke rumah sakit sendiri sana, jangan manja, belajar mandiri, bye ...."

"Aarght ...! Woi tunggu ...!" Pria yang mengemudi tadi, bergerak keluar dari mobil.

Dia merangkak menyeret tubuhnya hendak mengejar Caroline, namun tubuhnya terlalu lemah untuk mengejar gadis muda dalam stamina baik, energik dan penuh semangat.

Meski ketakutan, sampai kakinya bergetar, terkadang langkah itu terasa kebas, Caroline berusaha semampunya untuk menjauh dari mereka.

Dalam tatapan terkadang kabur, wanita itu sesekali menoleh ke belakang saat kakinya mengayuh langkah di kecepatan tinggi. "Ba-bagus. Me-mereka gak ngejar, huh!"

Terengah-engah dengan langkah terseok-seok, wanita itu menghentikan kayuhan kakinya di jarak lima sampai tujuh sepuluh meter dari keberadaan mereka.

Perlahan dia turun ke bawah sambil mengatur pola pernapasan yang nyaris kehabisan energi, dengan dada kembang-kempis dia turun ke jalan besar.

Berkacak pinggang dalam pandangan agak kabur—matanya memicing dengan sedikit membungkukkan tubuh ke depan. "Me-mereka ..., sebenarnya siapa, sih?" keluhnya masih sulit mengatur pola pernapasan.

Aksi berlari tadi membuat keringat dingin bercucuran, ditambah lautan malam mengguyurnya di tengah jalan sunyi, dimana di sisi kiri dan kanan hanya dihuni banyak pepohonan besar dan ada pagar besi yang mengelilingi sepanjang jalan itu.

Beberapa saat dia menghembuskan napas, kemudian menarik ulang udara untuk masuk ke rongga hidung, dingin dan aroma malam yang segar berkelana atas perintah yang dia lakukan.

"Aneh banget. Hari ini ..., be-bener-bener gak jelas banget," keluhnya mulai kembali normal, "Udah ketemu kembaran seiras tapi bukan sedarah, beda nasib juga," sambung gadis itu.

Masih dalam pandangan lamat-lamat, gadis bermata dessert itu menadahkan tangan ke atas sambil mendongakkan wajah ke langit. "Oh Tuhan ..., aku hanya gadis malang yang harus bekerja di dua tempat demi biaya rumah sakit ibu, jangan kasih aku badai, angin topan, puting beliung, bisa terhempas ke dasar laut kalau gini," mohon gadis itu penuh harapan dengan mata terpejam.

Pffft ....

Gumam tawa yang seolah ditahan-tahan terdengar mendekat dari belakang gadis itu. "Come on, pretty girl, you're really cute." (Ayolah, gadis cantik, kamu lucu banget, sih.)

Hah?!

Caroline terbendung usai mendengar suara kecil ter-gumpal angin di belakangnya. Dia membisu dan tubuhnya membeku. "Suara siapa itu?"

To be continued....

Terpopuler

Comments

Queen Alma

Queen Alma

bikin penasaran, siapa yang ngomong pke bahasa enggres itu, lanjuuutt

2025-09-04

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!