Caroline menguap sambil menarik dua tangan yang terjalin ke atas, meregangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku akibat bekerja sepanjang malam.
Gadis bertubuh kecil dengan tinggi kurang lebih 172 cm itu melangkah keluar dari bangunan restoran, sesekali dia menekuk leher ke kiri dan kanan secara bergantian.
Sambil berkacak pinggang dia menatap langit malam berkabut dingin. "Malam ini cukup panjang, aku mau tidur panjang sampai pagi, lanjut cek coffee shop sampai jam sebelas siang, lanjut kerja lagi di sini, huh ...," keluhnya memberengut.
Aktifitasnya setiap hari benar-benar melelahkan. Tubuh sekecil itu harus menampung beban sebesar dunia, dia tidak bisa mengelak, apalagi mengeluh untuk melarikan diri.
Inilah kehidupan Caroline yang harus dihantui kebutuhan yang terus berkurang sepanjang waktu, meski memiliki coffee shop milik ibunya, dia tetap harus bekerja untuk memenuhi sisanya.
"Caroline, tadi kenapa kamu kayak patung waktu ketemu sama istri salah satu pelanggan kita." Tiba-tiba suara itu menegur Caroline dari belakang.
Terkesiap sudah gadis berpakaian kaos crop top dengan cutbry pants hitam di sana, dia melompat sambil menoleh ke belakang. "Ya Tuhan ..., kamu ini ngagetin tahu, gak," keluhnya membulatkan mata sambil menyeka dada yang berdebar.
Wanita berprofesi koki dessert itu tersenyum. "Maaf."
"Jadi, kenapa kamu kayak orang kaget banget gitu, apa yang terjadi?" sambungnya mengulang pertanyaan sebelumya.
Apakah ..., jika dia berkata jujur, hal ini menguntungkan baginya atau malah menjadi bumerang? Caroline dibuat termangu karena hal tersebut.
Ekor mata mencari celah jawaban untuk mangkir dari kejujuran, Caroline kemudian tersenyum dan menggeleng. "Enggak masalah, aku cuman kaget karena dia tiba-tiba menyerangku."
"Oh ..., gak masalah. Di restoran hal semacam ini sering banget terjadi, kamu juga sering menemukan hal seperti ini coffee shop punyamu, 'kan?"
Caroline termenung, menjelajahi ingatan yang telah tertelan masa. Mengangguk setelah beberapa saat dia diam tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Gadis dengan berat badan sekitar 49 kg itu menggelengkan kepala, guna membunuh pikiran-pikiran buruk yang selalu berhasil menghambat berbagai macam kerjaannya.
"Aku pulang duluan, ya, kamu hati-hati," pamit Caroline meninggalkan rekannya di depan gedung restoran.
Mengambil jalan biasa, lebih banyak lampu taman, berjajar dengan jarak kurang dari satu meter per lampu taman, Caroline berjalan di atas trotoar khusus pejalan kaki.
Pohon-pohon besar yang menghitam kala langit menggelap tak luput dari lampu warna-warni—menambah kesan manis di setiap jalan itu.
Sepanjang jalan Caroline masih memikirkan tentangnya juga Nyonya tadi, matanya memicing sebagai aksi berpikir, dia tengah menerawang beberapa kemungkinan yang terjadi.
"Kembar?" serunya mengerutkan alis dengan wajah agak miring ke kanan, "Tapi ..., aku diadopsi dari panti asuhan sama ibu, kata Ibu Kanzha ...," ucap Caroline menguncupkan bibir.
Memutar ke kanan dan ke kiri secara bergantian, dia melakukan gerakan tak berarti itu hanya sekitar lima sampai sepuluh detik sambil merajut langkah.
Langkah yang diayunkan nampak mengambang, seolah dia melayang di atas permukaan aspal, Caroline berhenti ketika dia berada di lampu taman ke lima belas.
'Ibu mengadopsi kamu saat usia kamu masih tiga tahun, dan itu setelah delapan bulan kamu ada di panti asuhan, kamu satu-satunya bayi yang usianya masih kecil, orangtua kandung kamu meninggal dunia karena kebakaran.'
'Keluarga kamu aslinya tinggal di apartemen tertinggi di wilayah Jakarta Barat, tapi apartemen itu kebakaran dan ke-dua orangtua kamu meninggal dunia, dan gak ada keluarga yang menjemputmu.'
Tentu saja Caroline mengingat dengan sangat baik asal-usulnya, dari mana dia didapatkan, di mana dia dilahirkan atau bagaimana dia berakhir menjadi anak angkat seorang janda tanpa anak—Kanzha Dzansyana.
Caroline menghentakkan kaki menegaskan ingatan yang membersit di sana. "Iya! Aku diadopsi sama Ibu saat usia tiga tahun, dan aku gak ada kembaran, tapi ..., kenapa dia mirip banget sama aku?" urai Caroline masih membingungkan kemiripan wajahnya dengan Yuzdeline.
"Ibu mengatakan itu saat aku SMP, aku gak hilang ingatan," cetusnya lagi, "Aku harus kasih tahu Hanna, aku harus bergosip sama sahabatku," sambung Caroline.
Bersicepat gadis cantik pemilik long wavy hair—hitam mengkilat itu melakukan panggilan telepon dengan Hanna Luzmanita—sahabat terbaik yang dia miliki dari sejak bangku SMP.
Panggilan telepon bergetar selama beberapa detik, mengguncang gelisah yang tidak pernah bisa diredam.
Tuk'
Panggilan telepon akhirnya terangkat, setelah dua menit lamanya Caroline menunggu. "Han, Han, Hanna ..., ada berita besar dan ini aneh banget," sambar Caroline penuh antusias.
Kekeh kecil terdengar mendayu di telinga. "Apa ...? Kamu ketemu pangeran berkuda emas?" sahut Hanna di balik panggilan telepon tersebut.
"Ck, bukan ..., yang ada bukan pangeran berkuda emas, tapi titisan Serigala yang lagi pms sepanjang waktu," timpal Caroline, asal.
Yang dimaksud gadis bermata almond itu adalah Calvino, meski pertemuan mereka singkat, namun cukup membekas di hati, di samping itu, ada getaran bermakna yang sulit diterjemahkan mengguncang jiwanya.
Tergelak sudah Hanna di seberang panggilan telepon, sahabat satu-satunya dari Caroline itu terkekeh, tak kuasa mendengar jawaban absurd dari gadis yang berdiri di hadapan lampu taman sambil menggantung satu tangan di pinggang.
"Kamu ini Lin, bisa banget jawaban absurd-nya."
Caroline mencebik, kemudian dia mendengkus sambil mendelik. "Udah itu gak penting, ada hal yang lebih penting dari itu," katanya kembali serius.
"Apa? Ada masalah dengan Ibu Kanzha?" sahut Hanna terdengar bulat di telinga Caroline.
"Aku bertemu kembaranku di restoran tempatku bekerja," cetus Caroline secara langsung.
"Hah?!" seru Hanna setengah lantang, "Kembaran gimana ceritanya? Kamu 'kan gak punya kembaran, maksudnya gimana, sih, ini?" cecar Hanna menuntut kejelasan cerita tersebut.
Inilah yang dipikirkan Caroline sepanjang dia merajut langkah menyusuri jalan tersebut. Sembari memberengut, gadis itu menendang-nendang lampu taman di hadapannya, tidak keras, hanya hentakkan kecil nan lembut.
Digigit bibir bawah sambil menerawang kembali kemungkinan fakta tentangnya dengan Nyonya Yuzdeline. "Eum ..., aku juga bingung, yang jelas tadi waktu aku gak sengaja masuk ke pertengkaran suami-istri seorang pengunjung, dan istri dari pengunjung itu mirip banget sama aku," terang Caroline membayangkan bagaimana kejadian tadi berlangsung.
Hatinya berdebar kembali, berdebat dengan banyak hal yang memenuhi isi kepala, napasnya tersengal ketika dia merasakan keterkejutan yang hebat sesaat setelah dua pasang mata itu tak sengaja dipertemukan.
"Semirip apa?" Hanna penasaran, dia kembali bertanya untuk memastikan kejelasan cerita tersebut.
"Saking miripnya, aku seperti sedang melihat diriku di pantulan kaca," timpalnya dengan penuh keyakinan.
Sring.
Aroma apa ini? Ia harum seperti mawar segar menyebarkan serbuk mewanginya, ia berkelana bersama angin menyimpan serbuknya di hidung sang empunya, melekat familiar di ingatan.
Caroline terdiam, kaku. Mengelilingi area sekitar untuk mencari tahu, aroma apa yang dia hirup di sana. "Aku merasakan aroma itu lagi, Han, aroma yang selalu hadir di mimpi setelah ...."
Brum ....
mobil mewah hitam melintas tak bertenaga, ia melaju dalam ketenangan. Seorang lelaki di dalamnya melirik ke arah kiri dimana Caroline berada, masih menendang-nendang lampu tangan sambil menggerutu.
Degh!
Rasa yang dikenal, tapi tak tahu maksudnya. Calvino selalu merasakan perasaan ini, namun ia selalu mengabaikan dan membiarkan perasaan itu memudar tanpa ingin tahu, mengapa rasa seperti ini selalu datang dan pergi sesuka hati.
"Sepertinya para wanita malam ini sedang dalam mode sumala. Seperti wanita itu, kayak orang gila aja, ngobrol sama lampu taman, sambil nendang benda mati," gerutu Calvino tetap menjalankan kendaraan tanpa memedulikan keberadaan Caroline di tengah kegelapan.
Belum sampai dia ke ujung jalan, lelaki gagah itu tiba-tiba menghentikan kendaraannya, matanya membulat, tajam. "Wait?" Spontan dia menoleh ke belakang untuk mengamati sosok wanita tadi, dia hanya merasa mengenalinya.
To be continued ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Queen Alma
jangan2 jodohnya Calvino itu Caroline
2025-09-04
2