Setelah semua dirasa telah cukup, semua barang milik ibu selir ke dua puluh enam, raden mas Soemitro, serta milik Paijo segera dinaikkan ke pedati milik VOC. Ibu selir beserta Paijo juga ikut di pedati tersebut, sementara Raden mas Soemitro, dua utusan dari Japan, satu utusan VOC menaiki kuda mereka menuju tempat tinggal pejabat demang area Kadiri timur.
Demang adalah jabatan dalam struktur pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Jabatan ini berada di bawah Bupati. Berhubung belum ada pribumi yang menjabat, maka bupati dijabat oleh VOC namun diawasi oleh pejabat Belanda yaitu residen. Demang statusnya berada di atas lurah atau kepala desa dan dibawah seorang bupati yang kekuasaannya menaungi lima buah Kecamatan. Seorang Demang bertanggung jawab pada pejabat yang lebih tinggi seperti wedana Bupati dan pada residen VOC.
Tak terasa mereka telah sampai di rumah Demang. Rumah yang sederhana yang memiliki halaman yang luas. Rumah dengan model tempo dulu yang memiliki daun pintu serta jendela kupu tarung bagian kanan dan kiri. Area bale memiliki soko guru di bagian tengah. Tak lupa juga terdapat sentong kanan dan kiri sebagai kamar. Bagian Sisi lainnya di samping ruang bale terdapat dapur yang terhubungan dengan kamar mandi.
Raden Soemitro, ibu Selir ke delapan puluh enam, Paijo mulai membersihkan tempat kediaman Demang tersebut. Para Utusan Putra Selir I, utusan VOC juga tak lupa juga ikut membantu Raden Soemitro. Setelah semua dirasa cukup, Paijo segera ke dapur untuk mengolah makanan yang ada. Setelah selesai masak, makanan sederhana itu disajikan kepada para Utusan dan Raden Soemitro.
"Saya izin pamit Raden Sumitro,"ucap utusan VOC pada Raden Sumitro.
"Iya kisanak. Terima kasih sudah ikut membantu saya membersihkan lokasi ini. Hati-hati di jalan," jawab Raden Soemitro pada utusan VOC tersebut.
Raden Sumitro mengantar utusan VOC itu hingga di depan rumah. Dilihatnya utusan VOC itu dari depan rumah hingga menghilang di lingkungan jalan.
"Untuk para Utusan Putra Selir I, panjenengan silakan Istirahat di sentong kanan. Nanti bila malam telah tiba, saya akan membangunkan kisanak agar bisa bersiap untuk kembali ke Japan. Selamat beristirahat di kediaman saya yang sederhana ini," ucap Raden Soemitro pada utusan Putra Selir I.
"Inggih Raden. Matur nuwun sanget karena panjenengan telah sangat memperhatikan kami."
"Sama-sama. Itu sudah kewajiban saya sebagai orang yang jenengan antarkan."
Paijo dan Ibu Selir terlihat tengah menyiapkan makanan di dapur.
"Paijo, mulai saat ini jangan panggil saya Ibu selir ke delapan puluh enam ya. Ini bukan di area kerajaan lagi. Ibu ingin menghilangkan semua status yang berada di kerajaan. Panggil saja saya Mbah ibu," seloroh ibu Selir pada jongosnya, Paijo.
"Lho panjenengan belum punya wayah lho."
"Nggak apa-apa. Sebentar lagi aku juga punya wayah to. Nanti aku paksa Raden Soemitromu itu untuk menikah. Wong sudah umur sudah tiga puluh tahun sama sekali nggak pengen menikah itu gimana? Aku tak tahu dia punya trauma apa dengan menikah. Mungkin karena melihat aku dan raja yang tak pernah kontak fisik dan terlalu banyak hal kurang baik yang dialaminya selama di kerajaan yang membuatnya enggan untuk menikah. Tapi nanti aku akan berusaha untuk menasehatinya. Semua pernikahan belum tentu sama. Ada yang bahagia ada yang tidak. Semoga Raden Soemitromu mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya kelak. Itu saja pintaku pada Tuhan."
"Paijo, nanti jangan lupa juga. Nanti kalau ada perempuan yang bisa ngaji dan bisa mengajari saya untuk salat, tolong ajak dia ke sini ya agar dia bisa mengajari aku," pinta ibu Selir yang sekarang mulai dipanggil mbah Ibu tersebut.
"Inggih Mbah ibu. Sendika dawuh. Bila nanti ada perempuan yang sesuai dengan kriteria mbah Ibu, nanti saya akan coba untuk mendatanginya," jawab Paijo dengan penuh semangat.
"Paijo, kamu masih punya ibu?"
"Masih mbah Ibu. Saya masih punya ibu dan adik perempuan."
"Adikmu itu lho jodohkan saja dengan Radenmu itu," seloroh mbah ibu.
"Wong adik saya masih menyusu mbah Ibu. Masih nyimit. Nanti kelamaan panjenengan dapat wayah. Lagian saya juga takut bila menjodohkan Raden Soemitro.Takut tak sesuai dengan tipenya Raden. Takut salah pilih. Biar Raden ketemu dengan jodohnya sendiri mbah ibu. Yakinlah. Semua nggak akan lama kok mbah Ibu," jelas Paijo pada mbah ibu.
"Mbah Ibu? Sopo kui Jo?" tetiba Raden Soemitro datang ke dapur.
"Ibu selir nyuwun gantos nami dados mbah Ibu Raden."
"Lho, ganti nama tho bu? Bancakan Jo. Gawe jenang abang."
"Inggih Raden Mas."
"Bu,silakan istirahat di sentong kiri. ibu pasti lelah setelah melakukan perjalanan jauh. Saya akan istirahat di kamar dapur saja, bersebelahan dengan Paijo," ujar Raden Soemitro pasa mbah Ibu.
"Jangan dekat kamar saya Raden. Tidur kula ngorok lho. Takutnya nanti akan mengganggu tidur Raden."
"Sudah biasa. Bukankah kita juga sudah sama-sama selama ini? Ngorokmu sudah kebal di telingaku."
"Raden, Ibu selir sudah nggak mau dipanggil ibu selir maunya dipanggil baik Mbah ibu," seloroh Paijo pada tuannya.
"Belum punya wayah, tapi sudah dipanggil mbah ibu. Terus gimana ini?" tambah seloroh Paijo.
"Nggak papa ya. Biar Raden kamu segera menikah," tambah mbah Ibu.
"Ibu ini. Aku masih belum memikirkan tentang menikah. Kumohon jangan memaksaku," elak Raden Soemitro pada keinginan ibunya.
"Kamu sudah berumur tiga puluh tahun Soemitro. Aku juga sudah ingin menimang cucu. Coba lihat yang lain umur tiga puluh tahun sudah menimang cucu tiga hingga empat. Aku belum menimang satu cucu sama sekali. Saat di kerajaan, kamu juga nggak mau dengan siapapun," jelas mbah Ibu dengan seksama.
"Siapa yang mau dengan anak lelaki seorang selir ini ibu."
"Semoga di sini kamu nanti akan bertemu jodoh yang mencintaimu apa adanya ya Soemitro. Ibu mendoakan yang terbaik untukmu."
"Tangen lamun Bu. Siapa yang mau dengan centeng kolonial Belanda seperti saya bu? Wong saya ini seorang Demang."
"Demang rasa Raden Soemitro."
"Ibu ini. Sampun sampun. Capek saya ngadepin Ibu. Sampun sak kajenge panjenengan mawon. Kula Los kan mawon sakniki."
Paijo tertawa lebar. Ia paling tahu Raden Soemitro paling tidak bisa menghadapi ibunya.
"Bu nanti malam aku ingin jalan-jalan sendirian. Enak rasanya saat orang tidak mengenal siapa kita. Bisa melihat keadaan masyarakat seperti apa adanya. Melihat adat masyarakat di sekitar seperti apa? Kebiasaannya seperti apa? Saya ingin belajar bagaimana menjadi orang biasa. Awalnya mungkin terasa berat karena dari kecil hidup jadi kerajaan yang semuanya yang serba ada. Jadi sekarang harus terbiasa menjalani semua dari awal. Tapi tidak apa-apa. Selama ada ibu di samping saya, saya merasa semuanya akan baik-baik saja. Terima kasih karena Panjenengan telah berkenan mengikuti saya hingga ke pelosok desa yang seperti ini. Tempat yang semua serba kekurangan seperti ini. Mari kita belajar semuanya lagi dari awal njeh Bu," ucap Raden Soemitro pada ibunya.
"Silakan berjalanlah sendiri agar kamu mengetahui keadaan masyarakatmu seperti apa agar kamu bisa menjadi pengayom terbaik bagi mereka. Belajarlah menjadi pemimpin yang baik bagi masyarakatmu. Semoga kamu bermanfaat bagi mereka," jawab mbah Ibu dengan penuh semangat.
Wayah : cucu
Tangen lamun: mimpi
Centeng: suruhan, bawahan, kaki tangan, pegawai kompeni
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments