4. Perasaan Semakin Dalam.

Pagi itu, Jayden bersiap untuk berangkat ke kampus. Dari sudut ruangan, Naeira memperhatikan gerak-geriknya yang terlihat berbeda. Jayden tampak sibuk memilih jas dan kemejanya sendiri, sesuatu yang jarang ia lakukan. Biasanya, ia hanya mengenakan pakaian yang sudah disiapkan untuknya tanpa peduli.

Naeira terheran, namun memilih diam. Ia tak ingin pertanyaannya merusak suasana pagi itu. Seperti biasa, setelah sarapan Jayden langsung berangkat, meninggalkan Naeira yang masih duduk di meja makan, tanpa ucapan perpisahan layaknya sepasang suami-istri.

Hari ini, Jayden kembali menjalani perannya sebagai dosen. Ada semangat baru yang tumbuh dalam dirinya, terlebih karena sepanjang hari ini akan banyak menghabiskan waktu, mengajar di kelas Roselyn.

Jayden sudah menyiapkan materi yang akan di bahas di kelas nanti. Setelah melirik jam di pergelangan tangannya, ia pun memutuskan untuk segera melangkah masuk ke dalam ruang kelas.

"Bonjour à tous !" "selamat pagi semuanya!" Sapa Jayden dengan tenang, memasang wajah datar khasnya. Seketika kegiatan di kelas terdiam, semua mata tertuju padanya, para mahasiswi menatapnya terpesona, kecuali Roselyn seperti biasa.

"Bonjour, Monsieur, Jayden." "Selamat pagi, pak Jayden," jawab dari mahasiswa serentak sambil tersenyum penuh semangat.

"Comment allez-vous aujourd'hui?" "Apa kabar kalian hari ini?" tanya Jayden, tatapannya singgah sesaat pada Roselyn dengan dingin. Roselyn buru-buru mengalihkan pandangannya, tak ingin beradu tatap.

"Très bien, merci, et vous?" "Sangat baik, terima kasih, dan anda?" sahut sebagian mahasiswa masih dengan nada semangat.

"Je vais bien aussi, merci. Alors, commençons le cours." "Saya juga baik, terima kasih. Baiklah. Mari kita mulai pelajarannya."

Jayden menatap ke arah mahasiswa dengan lekat dan berbicara dengan tegas, "Kalian semester enam, harus sudah fasih berbicara bahasa Francis," ucapnya sebelum membahas materi pelajaran.

Jayden mulai menjelaskan materi tentang karya sastra klasik Prancis. Namun tiba-tiba suasana kelas mendadak terusik oleh suara Fifi.

“Wow… makin keren aja nih, Monsieur Jayden,” celetuknya lirih, matanya berbinar tak lepas menatap dosen di hadapannya itu.

Beberapa teman menahan tawa, sebagian lain ikut mengangguk setuju. Clara bahkan tak mau kalah, menimpali dengan nada menggoda.

“Iya, makin wow aja nih, Monsieur Jayden,” bisiknya sambil menyikut lengan Roselyn yang masih menunduk sibuk dengan bukunya.

“Apa sih, Cla…” Roselyn berdecak kesal, lalu perlahan mengangkat wajahnya. Seketika napasnya tercekat. Ada yang berbeda dari sang dosen hari ini, bukan hanya dari caranya berpakaian, tetapi juga dari auranya yang terasa lebih bersemangat.

Tatapan mereka kembali beradu singkat. Roselyn berusaha datar, dan acuh , sementara Jayden tetap menatap dengan wajah tegas. Ternyata, Roselyn masih sama acuh, masih tak menampakan raut terpesona ke arahnya, seperti mahasiswa lain.

Namun tanpa Jayden ketahui, di balik tatapannya itu, Roselyn tengah berusaha menenangkan debar jantungnya yang tak biasa.

"Fifi, fokus ya. Saya akan membahas, "I'amour tragique—konsep cinta tragis dalam sastra klasik Prancis." Suara Jayden tenang, namun tegas."

Perkataan dosen itu seketika membuat Fifi tersenyum-senyum salah tingkah namanya disebut, namun tatapan Jayden tetap mengarah ke Roselyn.

"Très bien, Monsieur, Jayden," jawab Fifi dengan ekspresif.

"Kesenengan tuh si Fifi, berasa di perhatiin." celoteh mahasiswa lain, gelak tawa kembali terdengar menggema dalam kelas. "Ye, sirik aja sih, Davian!" timpalnya, Roselyn tertawa melihat tingkah Fifi.

"Cemburu kali si Davian," Sorak Reina sambil tertawa kearahnya.

"Sudah diam, saya akan lanjutkan." Tatapan mata Jayden kembali mengarah pada Roselyn sehingga membuatnya seketika diam. Jayden tersenyum sekilas, melihat reaksi Roselyn yang terlihat risih oleh tatapannya.

"Ayo, Monsieur bahas tentang cinta itu, dong!" ujar fifi kembali bersuara, sehingga mendapat sorakan dari temannya.

"Cinta... Cinta... Ini bukan cinta bahagia Fifi, tapi cinta tragis." Sahut mahasiswa laki-laki sambil tertawa.

" Awas baper beneran si Fifi," timpal temannya yang lain sambil menahan tawanya.

Namun Jayden masih terdiam, pandangannya fokus memperhatikan Roselyn. Ada sesuatu pada gadis itu yang selalu menariknya, ingin lebih dekat.

"Roselyn." panggilnya tegas, seketika suasana hening.

"Saya ingin kamu menuliskan bagian karya sastra ini, sini ke depan." Perintahnya. Roselyn sempat terdiam sesaat dengan perasaan ragu. lalu berjalan pelan ke arahnya, ia menerima spidol dan memulai menulis di papan tulis sesuai intruksi dari Jayden.

"Kalian catat bagian pentingnya." Perintah Jayden, mahasiswa pun langsung memulai menulis.

Jayden berdiri tak jauh dari Roselyn, untuk pertama kalinya, ia begitu dekat dengannya dan tanpa sadar terus memperhatikannya, pandangannya tak lepas dari mahasiswi itu.

Roselyn yang sadar akan hal itu seketika membuat dirinya sedikit grogi, merasa tak nyaman, jantungnya berdebar aneh, tangannya yang memegang spidol bahkan sempat sedikit bergetar, "Ada yang salah dengan tulisanku, Monsieur?" tanyanya gugup, tanpa menoleh.

Menyadari hal itu Jayden tersenyum sekilas, "Tidak," jawabnya, sambil menggelengkan kepala, namun tatapannya masih tak teralihkan.

Roselyn mendesah pelan, ia ingin segera menyelesaikan tulisannya dengan cepat dan buru-buru duduk ditempatnya, menjauh dari sang dosen.

"Monsieur, kayanya Roselyn perlu gantian deh, tangannya pegel,tuh!" celetuk Fifi, suaranya kembali mengganggu konsentrasi temannya yang sedang fokus menulis.

"Modus lagi tuh si Fifi." celetuk temannya sambil tertawa pelan.

"Tidak perlu, Fifi. Selesaikan saja catatanmu," jawab Jayden dingin.

"Selesai, Monsieur." ujar Roselyn, "akhirnya."

"Merci, Mademoiselle Roselyn." ujarnya tersenyum singkat. Roselyn segera kembali ke tempat duduknya, berusaha menenangkan dirinya yang masih gelisah.

Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka. Seorang Dosen wanita berjalan masuk ke kelas sambil tersenyum ramah, melambaikan tangannya ke arah Jayden.

"Hai, Pak Jayden. Saya datang untuk memberikan pemberitahuan pada semua mahasiswa mengenai persiapan penyusunan proposal skripsi."

"Terimakasih." Jayden menerima map proposal itu dengan senyum singkat. Dosen wanita itu pun pamit keluar, meninggalkan kelas.

"Ok, kita lanjutkan ke pembahasan." Jayden kembali membahas Karya sastra klasik itu, matanya selalu mengarah pada Roselyn. Seolah setiap perkataannya tertuju pada dirinya.

"Lyn, ngerasa gak sih, Pak Jayden itu terus merhatiin kamu dari tadi." Bisik Clara pelan.

"Ya, aku risih, entah kenapa. Apa ada yang salah gitu dari penampilanku?" ucapnya polos, Clara malah tersenyum menggelengkan kepala, menahan tawa.

"Kalau aku sih, pengen di tatap terus sama Monsieur Jayden gitu," bisik Clara menggoda.

"Ih ! Aku justru takut di terkam," sahut Roselyn spontan, tanpa sadar suaranya terdengar cukup tinggi.

"Dasar—" ucapan Clara terpotong, ketika Jayden menatap ke arah mereka berdua. Roselyn menghela napas pasrah.

"Diterkam?" gumam Jayden sambil mengernyit. Beberapa teman yang mendengarnya menahan tawa.

"Kalian sedang membicarakan apa? Clara, Roselyn?! tegurnya dingin. seketika membuat kedua mahasiswi itu terdiam, menjadi pusat perhatian temannya.

"Saya tidak suka, saya sedang menjelaskan, kalian berdua malah sibuk mengobrol," tegasnya dingin dengan tatapan datar.

"Baru kali ini, lihat mereka ditegur dosen," bisikan samar terdengar dari temannya yang lain.

"Aduh, ternyata Monsieur Jayden marah betulan," gumam Fifi sambil menyikut Reina.

"Maaf, Monsieur, " ucap Clara tersenyum canggung, sementara Roselyn memalingkan wajahnya tak peduli, meskipun terlintas rasa malu di benaknya, karena ucapannya tadi terdengar jelas olehnya.

"Roselyn, saya minta pendapatmu, sepertinya kamu lebih pintar memahami karya sastra klasik ini." ujar Jayden, nadanya tenang tapi matanya menatap tajam pada Roselyn, terkesan seperti menantangnya. Namun ia suka.

"Silahkan, Mademoiselle Roselyn, pendapatmu!," lanjutnya. Roselyn tak gentar tangannya bertumpu pada meja meskipun jantungnya kembali berdebar aneh.

"Menurut pendapatku, cinta tragis seperti yang ditulis dalam novel 'Le Rouge et le Noir', bukan bukti keindahan cinta. Tapi bukti kebodohan manusia yang terlalu tunduk pada emosi, bahkan Julien Sorel lebih terobsesi pada status sosial daripada perasaannya sendiri," ucapnya tegas dengan wajah sinis, sementara mahasiswa lain saling berdecak kagum. "Wow, Roselyn hebat."

Jayden menaikkan alisnya, terkejut sekaligus terkesan dengan pendapatnya yang bagus, senyum tipis muncul di sudut bibirnya.

"Analisis yang berani, hebat. Tapi jika boleh saya tambahkan. Menurut saya, tragedi itu justru memperlihatkan kedalaman cinta, bukan kelemahan, Bukankah kesediaan untuk jatuh adalah bentuk keberanian?" Tatapannya tak teralihkan dari Roselyn.

"Ataukah bentuk kebodohan?, Monsieur Jayden," timpal Roselyn penuh keberanian, Roselyn kembali melanjutkan pendapatnya," Bukankah keputusannya menyerahkan diri pada emosi, di kendalikan oleh napsu dan ambisi itu yang menghancurkan hidupnya, sehingga membuatnya kehilangan segalanya." Deru napasnya memburu cepat, namun ia tak menundukan kepalanya sedikitpun.

Semua mahasiswa di kelas mengarahkan perhatiannya pada Roselyn, karena terpesona oleh keberaniannya beradu argumen dengan sang dosen, decak kagum pun terdengar kembali dari teman-temannya.

Jayden terdiam sejenak, pernyataan Roselyn seakan menyinggung dirinya, ia pun tersadar betapa dirinya sekarang tengah beradu dengan emosi yang mengekang, dipaksa tunduk pada sebuah ikatan yang tak seharusnya ia jalani. Sebuah ikatan pernikahan bukan pilihan dari hatinya, melainkan dari emosi yang di kendalikan oleh belenggu janji untuk memaksanya terus terikat.

"Jika itu pendapatmu, bagus." Jayden tersenyum tipis, tetap tenang, menatap Roselyn agak lama, ia menilai gadis itu, berani, tidak takut salah dan semakin menarik di matanya.

Tak lama kemudian, bel berbunyi menandakan waktu istirahat. Para mahasiswa berjalan keluar kelas, sebagian besar sudah bersiap menuju kantin.

“Ke kantin, yuk. Udah lapar banget!” seru Fifi sambil menarik tangan Alisya, mata mereka fokus menatap Jayden.

“Pak Jayden, kami duluan ya,” ucap Fifi genit sambil tersenyum ke arah dosen itu. Jayden hanya mengangguk singkat menanggapi.

Roselyn pun ikut berdiri setelah membereskan bukunya, Namun langkahnya terhenti sesaat ketika tanpa sadar tatapannya bertemu dengan Jayden, yang sedang duduk santai sambil menutup layar laptopnya. Dosen itu tampak tenang, dengan sorot mata tajam yang entah mengapa seolah hanya tertuju padanya saja.

“Roselyn, ayo!” panggil Reina dari arah pintu, menunggunya.

“Ah, iya.” Roselyn buru-buru mengalihkan pandangan dan menyusul teman-temannya keluar kelas, berusaha menepis debaran aneh yang memenuhi dadanya.

Sementara itu, Jayden masih menatap punggung Roselyn yang perlahan menghilang di balik pintu. Ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk sekadar membiarkannya berlalu begitu saja.

Saat hendak melangkah masuk menuju kantin, beberapa teman kelas Roselyn masih heboh membicarakannya.

“Hebat banget ya, sih Roselyn, berani beragumen dengan Pak Jayden."

“Iya, jujur aja keren banget tadi."

"Emang cerdas dia.”

“Gak heran kalau banyak cowok yang naksir. Cantik, cerdas pula,” timpal salah satu teman laki-lakinya, mereka mengangguk setuju.

Tanpa mereka sadari, Jayden berjalan tenang di belakang, mendengarkan setiap percakapan dari beberapa mahasiswa yang terkesan oleh Roselyn.

"Apa dia memiliki kekasih?" gumamnya lirih, baru memikirkan hal itu saja, hatinya sudah terasa sakit dan segera menepis pikiran itu, namun pikiran lain justru menghantamnya kembali.

"Apa aku jatuh cinta padanya? Kenapa perasaanku semakin dalam terhadapnya," bisiknya dalam hati, seolah tak sanggup mengelak lagi.

Sementara, Roselyn bersama teman-temannya sedang asyik duduk di kantin, menyantap berbagai macam makanan yang baru saja mereka beli sambil mengobrol ringan.

“Beruntung banget ya, dosen ganteng itu ngajar di Fakultas Sastra Prancis. Jadi pengen deh pindah jurusan,” celetuk seorang mahasiswa dari fakultas lain yang sedang asyik membicarakan dosen baru itu di tengah keramaian di kantin kampus.

Fifi, Clara, Alisya, dan Reina yang mendengar perkataan itu langsung tersenyum. “Ya dong, kami emang beruntung,” gumam Fifi sambil terkekeh, bangga.

Sementara itu, Roselyn sama sekali tak menanggapi. Ia tetap fokus pada makanannya, seolah tak peduli dengan obrolan tersebut.

"Eh, Roselyn tapi pak Jayden dari tadi pagi aku perhatikan, agak beda ya tatapannya ke kamu, kaya tertarik gitu." Seketika Roselyn terbatuk mendengar ucapan Reina yang secara tiba-tiba berbicara seperti itu.

Reina dengan sigap meraih botol minum lalu membuka tutupnya dengan cepat, "Pelan-pelan, Lyn. Makannya jangan terburu-buru, nanti tersedak lagi," ucapnya lembut sambil menepuk pelan punggung Roselyn.

"Ya ampun, Reina ucapanmu bikin aku kaget," Roselyn berdehem pelan. Pipinya merona, sementara matanya berusaha menghindar dari tatapan teman-temannya yang kini memperhatikannya.

"Ah, biasa saja. Aku justru kesal sama dia yang sering menatapku gitu, risih tahu!," ucapnya terdengar polos, tangannya tak henti memainkan botol minum di meja, seolah menenangkan dari kegugupannya.

"Roselyn, kamu bener, nggak ngerasa tertarik gitu sama Pak Jayden?" pancing Alisya dengan senyum nakal, penasaran.

"Maksudnya tertarik?" Roselyn mengernyitkan dahinya, tanpa berpikir lebih dalam.

"Ya, maksud kami, kamu nggak ada perasaan apapun gitu sama Pak Jayden? Kan kalau kita sih udah jelas mengagumi, bahkan tertarik sama dia, ya kan?" jelas Alisya dengan mata mengarah pada Fifi, Reina, dan Clara, mereka mengangguk sambil tertawa mengakui.

"Engga lah! Kok malah aku yang ngerasa diinterogasi kalian sih?" Roselyn mendengus kesal. "Bukankah sudah jelas kalian sendiri yang tertarik dan terpesona pada Pak Jayden. Aku sih enggak."

"Kan aku sudah bilang, Roselyn itu di kepalanya cuma ada buku, materi, sama tugas. Makanya dia nggak peka soal perasaan dan hati," cibir Fifi sambil tertawa. Suaranya disambut gelak tawa yang lain.

"Eh, kalau saingan sama Rosalyn, udah jelas kita yang kalah. Aku sih menyerah duluan!," timpal Clara sambil tertawa mengedipkan sebelah matanya.

"Benar." Fifi mengangguk setuju dengan cepat.

Roselyn hanya menghela napas berat, malas menanggapi ocehan mereka, sedangkan pipinya menyisakan rona merah yang tak disadarinya sendiri.

Tak jauh dari sana, di sudut kantin, seseorang memperhatikan mereka dengan tatapan penuh arti.

Jayden memperhatikan Roselyn yang sedang bersama teman-temannya, tanpa seorang pun yang menyadari kehadirannya, tak lama setelah melihat jam yang melingkar di tangannya ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.

Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi bel masuk. Para mahasiswa berjalan meninggalkan area kantin, menuju kelasnya masing-masing.

Suasana kantin perlahan sepi. Roselyn beserta teman-temannya ikut bergegas sambil masih bercanda soal topik tadi.

“Pokoknya aku yakin deh, tatapan Pak Jayden ke kamu itu beda, Lyn,” celetuk Reina lagi, tak menyerah masih menggodanya.

“Reina, stop ya… jangan bahas itu lagi,” Roselyn menekankan suaranya, meski wajahnya tak bisa menutupi kegugupannya.

Sesampainya di kelas, Jayden sudah berdiri di depan pintu, menunggu mereka dengan wajah tegasnya.

“Silakan duduk,” ucap Jayden datar, matanya sempat singgah sekilas pada Roselyn sebelum kembali menatap seluruh mahasiswa.

Fifi langsung berbisik ke Clara, “Tuh kan, bener kata aku. Lihat saja cara Pak Jayden memandang Roselyn tadi, berbeda." bisiknya, menahan tawa.

Clara mengangguk paham, sementara Roselyn hanya mendengus, pura-pura sibuk mengeluarkan buku dari tasnya. Ia bisa merasakan tatapan Jayden yang lagi-lagi tertuju padanya sehingga membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Lanjut Part 5 》

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!