Pagi itu, Jayden tiba di universitas milik keluarganya. Ia keluar dari mobil dengan jas hitam rapi, wajah dingin, dan langkah tenang. Suasana kampus ramai, mahasiswa-mahasiswi mulai berdatangan, namun kehadirannya seketika mencuri perhatian.
"Sepertinya Dosen baru ya?, Keren banget," gumam seorang mahasiswa, sedangkan para mahasiswi menatap dosen itu dengan terpesona penuh kekaguman.
"Ya ampun, gantengnya kebangetan, semoga ngajar di kelas kita!" seru salah satu dari mahasiswi lainnya. Mereka menganggukan kepalanya penuh harap.
Dari arah koridor, bisik-bisik serupa kembali terdengar. Para mahasiswi berdecak kagum.
“Dosen baru, ya? Ganteng, auranya dingin banget."
Jayden tetap berjalan tanpa menoleh, seolah tak peduli meski dirinya menjadi pusat perhatian di kalangan mahasiswi. Dengan langkah tenang, ia menuju ruangan dosen sebelum masuk kelas untuk mengajar.
Kedatangannya disambut hormat oleh rekan-rekan dosen. Tanpa banyak bicara, Jayden menyiapkan diri, membuka beberapa catatan, lalu mengambil buku-buku yang akan ia bahas di kelas.
Di dalam kelas jurusan Sastra Prancis, suasana ramai oleh obrolan para mahasiswa. Beberapa terlihat sibuk membuka buku, ada pula yang bercanda sambil menunggu dosen datang.
Tiba-tiba, seorang mahasiswi masuk setengah berlari, wajahnya tampak bersemangat. Ia segera menghampiri teman-temannya yang duduk di deretan kursi depan.
"Hey, guys ada info nih! ada dosen baru, ganteng banget loh," ucapnya sambil tertawa penuh semangat.
"Asli ganteng banget masih muda lagi, kayanya dia belum menikah deh," timpal mahasiswi yang lain dengan mata berbinar.
"Aku juga Fi, berpapasan dengannya, ya ampun gantengnya." Mereka saling bersahutan dengan diiringi gelak tawa.
"Aku bahkan lihat dia pas turun dari mobilnya, beuh betulan ganteng, auranya itu loh dingin banget kaya es," ujar salah satu temannya sambil terkekeh geli.
“Aku berharap sih dia ngajar di kelas kita. Kayaknya aku bakal semangat deh, nggak akan bolos lagi,” ujar Fifi sambil tersenyum centil. Ia memang dikenal sebagai yang paling heboh di kelas, selalu membuat suasana jadi ramai.
“Uuuh, dasar si Fifi, ngarep banget!” celetuk salah satu teman laki-lakinya dan yang lainnya pun ikut menyoraki, membuat kelas riuh dengan gelak tawa.
“Roselyn, Clara, kalian belum lihat kan? Kalau kalian melihat dosen baru itu, pasti juga terpesona seperti aku dan yang lain!” ujar Fifi matanya mengarah pada kedua temannya.
“Roselyn, auranya beneran beda banget. Dosen itu masih muda, ya kan, Reina?”
Reina langsung mengangguk antusias. “Iya, bener! Jarang banget ada dosen seganteng itu.”
"Belum, Fi," sahut Clara malas, tanpa minat. Sedangkan Roselyn hanya diam tak menanggapi, baginya hal itu sama sekali tidak penting dan tak peduli.
Di sisi lain, beberapa teman wanita lainnya masih asyik membicarakan dosen baru itu. Bahkan di grup chat kampus khusus mahasiswa pun suasana tak kalah ramai. Notifikasi pesan masuk terus berbunyi memenuhi layar ponsel mereka.
"Dosen baruuu! Ganteng banget sumpah!"
"Fix semangat kuliah mulai sekarang. Hahaha
"Kalian ada yang tahu? Dia udah nikah atau belum?
Pesan-pesan itu bertebaran di grup chat, lengkap dengan emotikon tertawa dan hati. Beberapa mahasiswa bahkan diam-diam mengambil potret dosen baru itu dari belakang saat ia berjalan, lalu mengunggahnya ke grup.
“Gagah banget, ya. Dari belakang aja udah keliatan gantengnya!” tulis salah satu mahasiswa, disusul derai tawa virtual. Hampir semua anggota grup menekan tanda suka.
“Hey guys, di grup aja sampai rame loh!” ujar Fifi sambil tertawa, menunjukkan layar ponselnya ke teman-teman.
Namun di tengah keramaian tentang dosen baru itu, Roselyn tetap tenang. Ia hanya melirik sekilas layar ponselnya lalu menutupnya kembali, tanpa minat.
“Cukup, Fifi, Reina. Kita sudah semester enam, sebentar lagi masuk tahap skripsi, lebih baik fokus pada pelajaran, jangan sibuk dengan hal yang tidak penting, ramai mengagumi dosen ganteng,” ujar Roselyn dingin sambil menggelangkan kepala tak acuh.
Mereka hanya tersenyum mendengar ucapan Roselyn, mahasiswi cerdas yang terkenal tegas di kelasnya.
“Betul sekali, apa yang dikatakan Mademoiselle Roselyn,” sahut salah satu teman laki-lakinya sambil berlagak fasih berbahasa Prancis, membuat seisi kelas kembali tertawa.
"Aku tidak peduli tampangnya, yang penting materinya berkualitas,” ucap Roselyn dengan nada tegas.
Langkah Jayden terhenti sejenak di depan pintu kelas. Ia sempat mendengar suara tegas seorang mahasiswi, membuatnya penasaran siapa pemilik suara itu. Wajahnya tetap datar ketika membuka pintu, suasana kelas yang semula ramai langsung hening. Semua mata sontak mengarah pada dirinya.
“Bonjour, je m’appelle Monsieur Jayden,” ucapnya memperkenalkan diri dengan bahasa Prancis. Suaranya tegas namun tenang, penuh wibawa. Seketika semua perhatian tertuju padanya. Para mahasiswi tersenyum bahagia, sebagian bahkan tampak berbisik kecil, kagum melihat sosok dosen baru itu.
Namun, berbeda dengan yang lain, Roselyn yang duduk di barisan depan tetap tenang. Tatapannya lurus, penuh percaya diri, tanpa sedikit pun memperlihatkan dengan rasa kagum.
“Tuh kan, feeling aku benar, dosen pengganti sastra Prancis," gumam Reina sambil tersenyum bahagia, matanya fokus menatap dosen baru itu tanpa berkedip.
“Rose, ganteng banget,” bisik Clara yang duduk di sampingnya, menepuk pelan lengan Roselyn.
“Apa sih, Clara. Jangan ikut-ikutan deh,” timpal Roselyn datar, suaranya nyaris tanpa ekspresi.
Sejenak mata Jayden dan Roselyn beradu tatap. Suasana kelas masih ramai oleh decak kagum para mahasiswi, namun Roselyn tetap tenang. Wajahnya santai, tatapannya datar, tak sedikit pun menunjukkan ketertarikan. Justru sikap berbeda itu yang membuat hati Jayden untuk pertama kalinya... terguncang.
Jayden menurunkan pandangannya ke daftar absen. Ia mulai memanggil satu per satu nama mahasiswa.
“Alisya Karenina.”
“Hadir, Pak.” Mahasiswi itu mengangkat tangan sambil tersenyum manis.
“Clara Almiza.”
“Hadir, Pak.” Clara pun mengangkat tangan dengan senyum tipis.
“Davian Almahes.”
“Hadir, Pak,” sahut seorang mahasiswa dengan nada santai.
“Fifi Armania.”
“Hadir, Pak.” Fifi mengangkat tangan dengan gaya berlebihan, lalu terkekeh, “Dan akan selalu hadir, Pak.”
Seisi kelas menahan tawa, sebagian tak kuasa ikut terkikik. Jayden hanya melirik sekilas tanpa menanggapi, lalu kembali menunduk pada daftar absen.
“Reina Raharsya.”
“Hadir dong, Pak,” jawab Reina sambil tersenyum lebar, matanya masih terpaku pada dosen baru itu.
“Roselyn Arnetatya.”
Roselyn mengangkat tangannya singkat tanpa ekspresi. Jayden menatapnya beberapa detik, seolah hendak membaca sosok mahasiswi itu, sebelum akhirnya melanjutkan memanggil nama berikutnya hingga daftar hadir selesai.
Setelah semua nama dipanggil, Jayden menutup buku absen. “Baik, kita masuk ke materi. Pertama, saya akan membahas teori sastra: Strukturalisme, Postmodernisme, Dekonstruksi, dan sebagainya.”
Baru beberapa menit ia menjelaskan tentang teori itu, tiba-tiba Roselyn mengangkat tangannya.
"Pak, menurut pendapat saya teori itu sudah tidak relevan di zaman sekarang. Bukankah seharusnya sastra dipandang lebih fleksibel, tidak kaku pada aturan lama?”
Seketika semua mata tertuju pada Roselyn. Suasana kelas yang hening kini terdengar bisik-bisik kecil dari temannya.
“Berani banget, ya, Roselyn. Baru dosennya masuk udah dikritik,” bisik seorang mahasiswa dari belakang. “Dia kan memang cerdas,” timpal temannya.
Jayden terdiam sejenak. Matanya menatap Roselyn dengan sorot tajam namun mengandung ketertarikan. Lalu, untuk pertama kalinya, sebuah senyum samar tercetak di wajah dinginnya.
Baiklah, Roselyn. Kalau itu pendapatmu, buktikan dengan riset. Minggu depan saya ingin hasil tulisanmu di meja saya.”
Roselyn mengangguk ringan. “Baik, Monsieur Jayden," ucapnya datar.
Namun perkataannya mampu membut Jayden tertegun. Ia menarik napas perlahan. Ada sesuatu berbeda dari mahasiswi itu bukan hanya cantik melainkan kecerdasan dan keberanian, sikap kritis yang tak biasa ditunjukkan oleh mahasiswa lain sehingga merasa dirinya tertantang.
"Pertanyaan yang bagus," gumamnya, lalu kembali melanjutkan penjelasan materinya dengan tegas dan tenang, tatapan matanya terarah pada Roselyn.
"Sastra selalu lebih luas dari pada teori. Justru dari benturan antara kebebasan sastra dan keteraturan teori, terciptalah pemahaman yang lebih kaya."
"Oh gitu ya, Monsieur Jayden, " sahut Fifi menganggukan kepalanya sambil tersenyum lebar.
Jayden menatapnya singkat. "Ya, Fifi. Belajarlah dengan rajin agar kamu paham."
Fifi langsung menyahut cepat, "Kalau belajarnya sama Monsieur Jayden sih, pasti rajin." Perkataannya yang menggoda itu langsung disambut gelak tawa satu kelas.
"Modus, lo, Fi," celetuk salah satu mahasiswa laki-laki sambil tertawa diiringi sorakan teman-temannya kembali.
Sedangkan Roselyn hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya, tanpa sadar Jayden sedang memperhatikannya.
"Si fifi berani banget, deh ngomong gitu," timpal temannya dengan nada geli.
Jayden akhirnya berdehem, suaranya tegas. "Diam, kita lanjutkan pembahasan." Seketika kelas kembali hening, aura wibawanya membuat semua mahasiswa teratur kembali.
----
Lanjut Part 3 》
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Black Jack
Membuat saya terharu
2025-09-01
0