Hari ini Jayden tidak memiliki jadwal mengajar, sehingga ia kembali fokus pada pekerjaannya di kantor. Beberapa meeting berjalan lancar tanpa hambatan, namun Rama, asisten pribadinya, tak bisa menutupi rasa heran. Ada sesuatu yang berbeda dari tuannya. Jayden tampak lebih bersemangat dari biasanya, meski sesekali melamun dengan tersenyum tipis tersungging di wajahnya, ia seolah menemukan kembali sesuatu yang lama hilang. kebahagiaan dalam hidupnya.
Meeting telah usai, Jayden masih terdiam di ruangan meeting sendirian, Rama yang baru saja masuk menunduk hormat, "Tuan, nyonya Naeira ingin bertemu. Ia sudah menunggu di ruangan kerja Anda."
Alis Jayden berkerut. "Kenapa, dia datang ke sini?" gumamnya, seolah tak suka dengan kehadiran Naeira di kantornya, dengan terpaksa Jayden beranjak dari kursinya dan melangkah keluar, berjalan menuju ruangan kerjanya.
Dari ambang pintu, terlihat Naeira duduk menyilangkan kakinya dengan tas kecil di pangkuannya. Begitu melihat Jayden masuk, ia langsung berdiri dan memeluk suaminya dengan erat, sedangkan Jayden hanya berdiam diri, terpaku tanpa membalas.
"Jay, aku rindu. Sudah dua hari kamu tidak pulang," ucapnya dengan suara lembut penuh kerinduan.
Namun Jayden tetap diam. Hatinya datar, tidak ada gelombang rindu yang sama. Justru bayangan mahasiswi di kampus yang bernama, Roselyn lebih sering berkelebat dalam pikirannya.
"Pulanglah Naeira, aku sibuk. nanti malam aku pulang ke rumah," jawabnya datar.
Naeira tidak beranjak, hanya terdiam lama, seolah ada beban besar yang ingin diucapkannya.
"Jay, kemarin kamu ke mana?" tanyanya lembut, hatinya tidak tenang.
"Aku meeting dengan pengelola kampus. Banyak bangunan yang harus diperbaiki," jawabnya singkat, tanpa mengalihkan tatapannya pada Naeira, Jayden tetap fokus mendatangani dokumen-dokumen di mejanya.
Setelah mendengar penjelasan dari Jayden, ia terdiam menunduk, senyum getir tercetak di wajahnya. "Menggapai hatimu... Begitu sulit, Jay. Berapa lama lagi aku harus menunggu sampai kamu bisa mencintaiku?" gumamnya lirih, tatapannya tak lepas dari sosok Jayden yang tetap sibuk dengan pekerjaannya.
Jayden berhenti sejenak, menghela napas panjang tanpa menoleh. “Apa kamu tidak bosan berada di ruang kerjaku?” suaranya datar, seakan setiap kata sengaja menjaga jarak di antara mereka.
"Kalau begitu, bisakah kamu mengantarku sebentar saja untuk menemui Karin, sahabatku? Rumahnya tak jauh dari sini." pintanya tanpa di gubris Jayden.
"Aku sibuk Naeira. Lihatlah dokumen ini menumpuk." jawabnya cepat dan dingin, tanpa menoleh.
Air mata Naeira jatuh tanpa bisa ia bendung, membasahi pipinya. “Bahkan untuk sekadar menemaniku pun kamu tidak mau… kamu selalu beralasan pekerjaan demi menghindariku! Apa salahku, Jay? Aku selalu berusaha keras agar kamu bisa menyayangiku, tapi sekali saja… mencoba agar kita lebih dekat, tatap aku ketika aku bicara!”
Jayden mendongak, menatap mata Naeira dengan sorot mata yang dingin, tajam, namun di dalamnya ada bayangan letih yang samar. "Sejak awal aku sudah mengatakan semuanya padamu, jangan terlalu berharap apapun dariku." Jayden berbicara tegas.
"Tapi kenapa Jay?, kenyataannya kamu tidak pernah mau belajar menerimaku! kenapa hatimu begitu keras, kamu benci padaku? Menyalahkanku karena surat wasiat itu?!" suaranya pecah oleh tangisan, wanita itu begitu rapuh.
Jayden hanya terdiam, menatapnya dalam. "Aku tidak pernah menyalahkanmu, yang membuat kita begini adalah janji ayahku pada ayahmu. Dan dari awal aku sudah menyatakan padamu, bahkan sampai saat ini hati dan perasaanku tetap tidak—"
"Cukup, Jay! Potong Naeira, matanya penuh luka. "Kalau begitu, apa kamu ingin kita berpisah? Akan kamu langgar janji ayahmu itu?"
Jayden terdiam, tubuhnya tegang ketika mendengar kata janji. Janji dalam surat wasiat itu. Itulah titik kelemahannya yang selalu membelenggunya.
"Ingat, Jayden," suara Naeira bergetar, ayahmu berjanji kamu akan selalu menjagaku. Kamu tidak akan pernah bisa meninggalkan aku." Ancamnya, Naeira pun melangkah pergi, menutupi luka yang begitu dalam.
Sedangkan Jayden mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan emosi, tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.
Dari arah lobby kantor, terdengar seseorang memanggil namanya.
"Naeira," teriaknya, suaranya terdengar tak asing.
"Ia menoleh, lalu berjalan mendekat ke arah lelaki itu dan tangisnya pecah di pelukannya. Davin. Sepupu Jayden sekaligus sahabat lamanya. Lelaki itu menepuk punggung Naeira dengan lembut.
"Kenapa, Nae? Kamu bertengkar dengan Jayden? Tanyanya pelan.
Naeira hanya mengeratkan pelukannya, air matanya tak terbendung. " Sudah, jangan menangis. Wajah cantikmu nanti luntur," hibur Davin tertawa pelan.
"Maaf, Davin. Aku refleks...aku butuh tempat untuk menangis. Ia melepaskan pelukannya perlahan.
Davin memegang tangan Naeira, "Ayo kita cari tempat, aku tidak mau kamu jadi pusat perhatian di sini." Davin membawa Naeira masuk ke dalam ruangan kerjanya.
"Davin tersenyum tipis. "Tidak apa-apa jika itu membuatmu tenang." Davin merangkul kembali Naeira, mencoba menenangkannya.
"Jika kamu ada masalah dengan Jayden, kamu bisa cerita padaku," ujar Davin tersenyum tulus.
"Kami tidak ada masalah, aku hanya menangisi nasibku Davin," Naeira menarik napasnya panjang sebelum melanjutkan perkataannya. "Kenapa, perasaanku terhadap Jayden begitu besar? Aku selalu berusaha agar dia bisa menerimaku dalam hatinya, sedangkan dia dari awal saja sudah enggan mencoba, membuka hatinya untukku."
Davin menatap Naeira dengan sorot iba, namun juga ada sedikit getir yang ia sembunyikan. Tangannya terangkat pelan, mengusap bahu Naeira dengan lembut.
Davin terdiam sejenak, menelan perasaan yang ia pendam sendiri. Senyum tipisnya tampak dipaksakan. “Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri? Sampai kapan kamu mau menyiksa hatimu seperti ini?”
Air mata Naeira kembali jatuh, ia tersenyum getir.
“Aku tidak tahu, Davin. Tapi hatiku keras kepala. Aku memang nggak bisa memaksa dia mencintaiku, tapi aku juga nggak bisa berhenti mencintainya... aku nggak bisa berhenti berharap. Setiap kali melihatnya, rasanya… aku ingin dia sadar kalau cintaku begitu besar untuknya.”
Davin benar-benar terdiam. Hatinya mencelos mendengar pernyataan Naeira. Ia tahu, bukan hanya Naeira yang menderita karena perasaan tak berbalas.
"Naeira…” suaranya terdengar lirih. “Kadang, sebesar apapun perasaan kita… kalau orang itu tidak suka terhadap kita, yang tertinggal hanyalah luka.”
Dan tanpa mereka sadari, sejak tadi sepasang mata tajam sedang mengamati.
------
Di sisi lain, di dalam ruangan kelas Fakultas Sastra Prancis, suasan hening. Para mahasiswa tengah sibuk menunduk, menulis, dan mengetik mengerjakan tugas mereka dari dosen.
“Ah, jenuh!” teriak Fifi tiba-tiba. Suaranya membuat seisi kelas menoleh kaget. Teman-teman yang sedang serius mengerjakan tugas langsung menatapnya.
“Fi, kenapa sih? Gak jelas, berisik tahu,” sahut Reina kesal.
Roselyn sempat menoleh sekilas, lalu kembali fokus menulis.
“Roselyn, aku rindu Pak Jayden,” ucap Fifi sambil tersenyum lebar.
“Gila,” decak beberapa temannya sambil menertawakan tingkahnya.
“Kenapa sih dia nggak ngajar tiap hari aja? Sehari aja nggak lihat Pak Jayden rasanya kayak nggak ada semangat belajar,” lanjut Fifi dengan penuh ekspresi.
Clara mendekat sambil menyipitkan mata. “Kamu beneran jatuh cinta sama Pak Jayden?”
Fifi terkekeh. “Sepertinya begitu.”
“Sepertinya bukan cuma kamu aja, Fi. Aku juga sama,” timpal Alisya tertawa.
Roselyn menarik napas panjang. “Fi, kamu nggak lihat jadwal terbaru?”
“Memangnya kenapa? Ada perubahan?” tanya Fifi heran.
“Coba cek ponsel mu. Semalam ada update jadwal,” tegas Roselyn.
Tak lama kemudian, mata Fifi melebar senang saat melihat layar ponselnya. “Horeee! Besok ketemu Pak Jayden seharian. Asiiik!” soraknya heboh.
“Fi, mulai besok sampai seterusnya, kita full kelas sama Pak Jayden. Jadi berhenti berisik, cepat selesaikan tugasmu. Aku mau kumpulkan sekarang,” ucap Roselyn tegas.
“Oke, kalau begitu.” Fifi hanya nyengir lebar, dengan semangat kembali mengerjakan tugasnya.
Roselyn memegangi keningnya, merasa pusing mendengar ocehan teman-temannya yang seakan galau bersama, hanya karena seorang dosen. Di grup chat seluruh fakultas pun tak jauh berbeda—semua membicarakan dosen baru itu.
“Roselyn, kayaknya cuma kamu deh yang biasa-biasa aja sama Pak Jayden. Apa kamu normal?” celetuk Reina sambil tertawa.
Roselyn menoleh cepat. “Tentu saja aku normal! Jangan ngawur, Reina!”
Reina malah makin tergelak.
Fifi ikut menimpali sambil tertawa, “Roselyn itu cerdas, fokusnya cuma ke buku-buku dan materi kuliah. Dia nggak ada waktu untuk mengagumi lelaki.”
Beberapa teman-temannya ikut tertawa mendengar pernyataan Fifi, sedangkan Roselyn hanya terdiam, dan memilih menenggelamkan diri pada bukunya.
Sementara itu, Clara yang duduk di sebelahnya tersenyum-senyum sendiri menatap layar ponselnya, membuat Roselyn tak tahan untuk menoleh ke arahnya.
“Kamu kenapa? Sebahagia itu, Cla?” tanya Roselyn penasaran.
Clara menggeleng pelan, lalu memperlihatkan layar ponselnya. “Ternyata kamu sama saja, ga ada bedanya dengan mereka, Clara." Roselyn mengernyit, tak mengerti dengan sikap sahabatnya itu.
"Habisnya, Pak Jayden ganteng banget sih, mana masih muda. Kayaknya masih single deh, Siapa tahu… masih ada harapan gitu," ucap Clara menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawanya agar tidak terlalu keras.
Roselyn menghela napas panjang, menatap sahabatnya seolah tak percaya.
“Lagian, aneh aja kamu nggak tertarik sama Pak Jayden,” bisik Clara terkekeh.
"Kalian yang menurutku aneh. Dia dosen, kita mahasiswa. Ada batas yang jelas, Clara." Sahut Roselyn tegas.
Clara menyipitkan matanya, bibirnya tersenyum penuh arti, " Hati-hati loh, Lyn, biasanya orang yang paling cuek justru yang paling menarik perhatian. Siapa tahu, malah kamu yang nanti di lirik sama Pak Jayden."
Roselyn tersentak mendengar perkataan sahabatnya itu, ia mendengus, berusaha mengusir rasa tak nyaman yang tiba-tiba muncul dalam hatinya. "Ngaco kamu, Clara. Itu nggak mungkin. Lagian... Aku ke kampus buat belajar, bukan buat sibuk mengagumi laki-laki. Apalagi seorang dosen, perkataanmu nggak masuk akal."
"Santai saja kali, tak perlu seserius itu, Lyn. Aku cuma bercanda," sahut Clara terkekeh kecil, melihat sahabatnya itu yang bereaksi begitu serius."
Roselyn memalingkan wajahnya, "lagian kamu sih, Clara..." gumamnya lirih. Namun, tanpa ia sadari, hatinya ikut berdesir setiap kali nama Jayden di sebut.
----
Di sisi lain, Jayden duduk termenung di balik meja kantornya. Bayangan wajah Roselyn tak juga pergi dari kepalanya. Pertemuan pertama itu meninggalkan kesan mendalam. Ia berbeda satu-satunya gadis yang tak acuh padanya.
“Kenapa kamu selalu ada di pikiranku…” gumamnya, tersenyum tipis. Dorongan untuk bertemu Roselyn semakin kuat, membuat hatinya gelisah.
Rama yang sejak tadi memperhatikan, berdehem pelan. “Tuan, ini dokumen yang Anda minta.”
Jayden seketika menegaskan wajahnya kembali datar.
“Apa Tuan ada masalah?” tanya Rama hati-hati.
Jayden membuka dokumen di tangannya, lalu menghela napas. “Tidak ada masalah. Hanya saja… ada sesuatu yang membuat hati saya berbeda.”
“Maksud Anda?” Rama mengernyit penasaran.
“Sejak pertama kali saya mengajar, ada seorang mahasiswi yang berbeda. Gadis itu… membuat saya tertarik."
Rama menatapnya lekat. “Tuan jatuh cinta pada gadis itu?”
Jayden terdiam sebentar, lalu tersenyum tipis.
“Entahlah.”
Rama menarik napas panjang. “Pantas saja sejak jadi dosen, Tuan sering melamun sambil tersenyum."
Jayden hanya terdiam di kursi kerjanya, sambil tersenyum samar.
“Tapi… bagaimana dengan Nyonya Naeira?” tanya Rama hati-hati.
Jayden menajamkan pandangan. “Saya dan Naeira terikat bukan karena cinta, tapi karena paksaan. Saya juga berhak bahagia.” Rama menganggukan kepalanya setuju dengan pernyataan tuannya.
Rama ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya berucap, “Barusan saya melihat Nyonya Naeira menangis... di pelukan Tuan Davin.”
Jayden tidak menunjukkan keterkejutan sedikit pun. Sebaliknya, senyum dingin perlahan tercetak di wajahnya.
“Bagus kalau begitu,” ucapnya tenang. “Sejak awal saya tahu Davin menyimpan perasaan pada Naeira. Hanya saja… Naeira belum menyadarinya.”
Jayden bersandar di kursinya, jemarinya mengetuk pelan meja kerja seolah sedang merancang sesuatu.
"Saya hanya ingin dia sendiri yang menyerah… memilih untuk melepaskan ikatan ini,” gumamnya lirih, sorot matanya tajam. Namun pikirannya justru melayang, terjebak pada bayangan seorang gadis yang membuat hatinya terguncang—Roselyn.
Lanjut Part 4》
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments