Aku memandang ke arah luar, dari dalam mobil Ford hitam milik ayahku yang sedang melaju di jalanan kota Florida yang cukup lengang. Kota yang dijuluki sebagai negara bagian matahari ini umumnya memiliki cuaca yang cerah, terutama di awal bulan Agustus seperti saat ini. Matahari tampak bersinar begitu teriknya, panas dan menyengat. Persis seperti apa yang ada di ingatanku, tiga tahun yang lalu.
Saat itu, terakhir kalinya aku memijakkan kaki di kota ini, aku masih seorang siswi SMA yang baru menyelesaikan tahun pertamaku. Lalu, tiba-tiba Ayah membawaku dan ibuku pindah ke California, karena urusan pekerjaannya. Jadi, mau tidak mau aku harus mengucapkan selamat tinggal pada semua kenangan yang kumiliki di kota ini.
Sebenarnya, aku tidak memiliki banyak kenangan semasa SMA dulu. Kenangan tentang bermain dengan banyak teman, memiliki satu atau dua orang sahabat, datang ke berbagai pesta di malam akhir pekan, memiliki liburan musim panas yang sangat menyenangkan. Aku tidak memiliki kenangan-kenangan semacam itu, bahkan tidak satu pun.
Dan mirisnya lagi, satu-satunya kenangan semasa SMA yang kumiliki justru tak ingin kuingat-ingat lagi. Kenangan yang setidaknya berawal sangat manis, meskipun berakhir begitu pahit. Kenangan yang terpaksa harus kukubur dalam-dalam, dan berharap takkan pernah muncul dalam benakku lagi.
Seperti yang sudah kubilang, aku benar-benar tak ingin mengingatnya lagi. Jadi, aku tidak akan menjelaskan lebih jauh tentang apa yang ada di dalam kenangan itu. Cukup sudah. Mari kita mengukir kisah yang baru di tempat yang lama.
Dulu, Ayah membawa kami pindah dari kota ini karena urusan pekerjaan. Dan kini, ia membawa kami kembali dengan alasan yang sama. Rencananya, Ayah dan Ibu akan tinggal di rumah lama kami yang selama ini dibiarkan kosong. Sementara, aku akan tinggal di asrama kampus, begitu perkuliahan kembali dimulai setelah libur musim panas yang panjang.
Beberapa saat yang lalu, aku adalah seorang mahasiswi tahun pertama di salah satu universitas di California. Dan, saat pertengahan Agustus nanti, aku akan menjadi mahasiswi pindahan tahun kedua di salah satu universitas di Florida.
Sejujurnya, pindahan kali ini rasanya tidak sama dengan pindahan sebelumnya. Jika sebelumnya, aku bisa pindah dengan mudahnya karena memang tidak banyak hal yang kumiliki di Florida. Pindahan kali ini justru sebaliknya, terasa cukup berat, karena di California sana aku memiliki seorang sahabat.
Namanya Jennifer, atau yang biasa kupanggil Jenny. Aku mengenalnya saat masih menjadi siswi SMA tahun ketiga di sekolah baruku di California. Kami satu sekolah, tapi beda kelas. Dia yang pada saat itu merupakan anggota tim pemandu sorak dan salah satu gadis populer di sekolah, entah bagaimana menemukan gadis introvert sepertiku dan berhasil merubahku. Meskipun, jelas bukan berubah menjadi salah satu gadis populer sepertinya. Namun, setidaknya ia berhasil mengeluarkan sisi lain dari diriku yang lebih baik dan tidak membosankan. Singkat cerita, kami berteman baik, menjadi sahabat dan kebetulan diterima di satu perguruan tinggi yang sama.
Memikirkan Jenny seperti ini, sudah membuatku merindukannya. Jelas ia juga terkejut dengan rencana pindahan yang mendadak dan tak pernah disangka ini. Semalam, aku mendatangi rumahnya untuk berpamitan. Kami sama-sama merasa kehilangan, sedih dan banyak berpelukan. Namun ia berjanji, akan selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol denganku melalui panggilan telepon dan mengunjungiku saat musim liburan tiba. Meskipun kini kami berjarak lebih dari 2500 mil, tapi hal tersebut tidak boleh mempengaruhi persahabatan kami.
"Selamat datang kembali di rumah!", seru Ayah dari belakang kemudinya, ketika mobil kami tiba di halaman depan sebuah rumah yang masih tampak familiar.
Aku dan Ibu turun dari mobil, melangkahkan kaki menuju beranda rumah. Sementara Ayah menurunkan koper-koper milik kami dari bagasi mobil, lalu membawanya menuju beranda.
"Ayo, masuk!", serunya lagi, membuka pintu rumah dengan kunci di tangannya.
Kami masuk ke dalam rumah lama kami. Rasanya seperti memutar kembali kenangan demi kenangan saat kami masih tinggal disini. Tidak heran, aku menghabiskan enam balas tahun usiaku tinggal di rumah ini, apalagi Ayah dan Ibu, yang tentu saja lebih lama dari itu.
"Hmm, aku tidak menyangka akan kembali ke rumah penuh kenangan ini.", kata Ibu, sambil tersenyum.
Rumah ini memang menyimpan banyak kenangan, terlebih untuk Ibu. Ibuku adalah seorang perancang busana yang kini namanya cukup tersohor. Sebelum sesukses sekarang ini, dulunya Ibu berjuang keras dari titik paling rendah, dimana rumah ini menjadi saksinya. Ibu menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar dan berlatih, hingga memiliki koleksi pakaian sendiri yang dulu dijualnya di sebuah butik pakaian kecil di Tampa.
"Yah, Bu, aku ke kamar dulu.", sahutku, menyeret sebuah koper besar berwarna pastel milikku menuju kamar lamaku di atas tangga
Aku tercengang, menatap ke seluruh punjuru kamar lamaku yang masih tampak sama persis seperti saat kutinggalkan. Sebuah ranjang yang cukup besar dengan nakas di sebelahnya, sebuah lemari pakaian kayu berwarna cokelat, sebuah meja dan komputer lamaku, juga beberapa komik jepang kesukaanku. Berada di dalam kamar lamaku rasanya seperti kembali ke masa lalu saat usiaku masih belasan tahun. Apalagi sehari sebelum kami tiba disini, Ayah memesan jasa layanan Home Cleaning untuk membersihkan debu-debu yang menempel selama rumah ini kosong. Jadi, begitu kami tiba, setiap sudut rumah tampak bersih seperti saat kami masih tinggal di rumah ini.
Jarum jam menunjukkan tepat pukul dua belas siang, saat aku meliriknya di atas pergelangan tangan kiriku. Aku mencoba mencari kesibukan, apa yang sekiranya bisa kulakukan di tengah hari seperti ini. Sebab, kedua mataku rasanya terlalu segar untuk tidur siang sekarang. Lalu, tiba-tiba aku teringat Jenny.
Aku mengambil ponsel milikku yang beberapa saat lalu kusimpan di dalam tas selempang kecil berwarna cokelat terang yang kini tergeletak di atas ranjang lamaku. Kularikan ibu jari tangan kananku di atas layar ponsel itu untuk mencari nama Jenny di kontak telepon. Kemudian, menekan salah satu ikon dengan gambar telepon untuk menghubunginya.
Tuuuut... tuuuutt... tuuuuttt...
"Halo,Nora!", seru Jenny dari balik panggilan telepon, dengan suara yang terdengar sangat berantusias.
"Hai, Jenny!", balasku.
"Sudah sampai?"
"Baru saja."
"Bagaimana? Apa kamu sudah merindukanku?", godanya.
"Tentu saja. Belum apa-apa aku sudah merindukan komentar-komentar pedasmu, Jenn.", jawabku, balik menggodanya.
"Hei! Aku melakukannya demi kebaikanmu.", protesnya. Membuatku tak kuasa menahan tawa.
"Ya. Tentu aku tahu itu."
"Jadi, bagaimana? Apakah Florida jauh lebih baik daripada disini?"
"Tanpamu? Tentu saja tidak. Belum ada sehari saja aku sudah merasa bosan."
"Kalau begitu, kemarilah, Nora! Ayo kita pergi berpesta di rumah Lily malam ini!"
"Hmm, sepertinya aku akan melewatkan malam yang menyenangkan kali ini."
"Benar sekali! Padahal aku ingin mengenalkanmu dengan kekasihku yang tampan dan seksi."
"Siapa? Mike?"
"Ugh, jelas bukan! Aku sudah memutuskannya semalam."
"Hah? Kenapa?"
"Dia terlalu pencemburu. Dia bahkan melarangku pergi berpesta lagi."
"Mungkin dia mengkhawatirkanmu, Jenn. Kamu gadis cantik dan populer di kampus, dan pasti banyak pria yang mengincarmu."
"Hmm, jangan membelanya, Nora!"
"Haha. Baiklah. Maaf! Jadi siapa kekasihmu yang seksi dan tampan yang kamu maksud tadi?"
"Stefan."
"Stefan? Stefan Jonas?"
"Yup!"
"Jenn? Apa kamu bercanda?"
"Aku serius, Nora."
"Tapi, kamu tahu kan kalau dia itu badboy?"
"Percayalah, Nora! Berpacaran dengan badboy jauh lebih menarik dan menantang. Kurasa, kamu juga harus mencobanya."
"Ya Tuhan! Tidak, terimakasih!"
"Haha. Baiklah. Kalau begitu biar aku saja."
Obrolanku dan Jenny kian lama terasa kian mengasyikkan. Memang begitulah kalau sudah mengobrol dengannya. Tidak pernah sekalipun obrolan kami terasa membosankan. Bahkan seringkali kami sampai lupa waktu, sebab rasanya waktu berjalan cepat sekali.
"Nora! Turun dulu, Sayang! Saatnya makan siang."
Dengan terpaksa aku mengakhiri obrolan kami yang semakin menarik ini, begitu kudengar suara Ibu memanggilku dari bawah dan kulirik jarum jam yang sudah menunjukkan lewat pukul dua siang. Ibu menyuruhku turun ke bawah untuk makan siang bersamanya dan Ayah.
Saat aku turun ke bawah, di atas meja makan sana sudah tersaji hidangan makan siang kami yang berupa roti isi keju panggang dan sup tomat. Tebakanku, pasti Ibu memesannya secara online dan mendapatkannya melalui jasa layanan antar makanan. Sebab, tadi kami memang belum sempat pergi ke supermarket untuk membeli bahan makanan.
"Ibu dengar ada yang baru saja mengobrol begitu asyiknya.", kata Ibu, tiba-tiba, saat kami sedang menyantap makan siang kami. Aku tahu kalimat itu pasti ditujukan untukku.
"Ah, iya. Tadi aku bertelepon dengan Jenny. Dia menitipkan salam untuk Ibu dan Ayah.", jawabku.
"Maaf karena pekerjaan Ayah membuatmu jauh dari sahabatmu.", sahut Ayah.
"Tidak apa-apa, Yah. Kami masih bisa bertelepon atau saling berkunjung saat libur panjang."
"Atau kalian bisa pergi berlibur berdua ke suatu tempat yang bagus. Nanti Ayah bisa mengaturnya untuk kalian."
"Wah, terdengar menyenangkan!"
"Ide yang bagus, Sayang!", sahut Ibu, tersenyum pada Ayah.
"Anggap saja itu sebagai permintaan maaf Ayah karena sudah membuat kalian harus berpisah."
"Terimakasih, Yah."
Obrolan di meja makan kali ini berlangsung tidak cukup lama. Kami hanya membicarakan seputar pekerjaan Ayah, rencana Ibu untuk kembali membuka butik pakaian disini, juga rencanaku tinggal di asrama kampus dan berkuliah di sana saat pertengahan Agustus nanti.
Setelah menghabiskan makan siang dan menyelesaikan obrolan kami, Ayah dan Ibu bersiap-siap pergi ke supermarket untuk membeli beberapa barang dan bahan makanan. Sementara aku kembali ke kamar, mengeluarkan semua pakaian dan barang-barang yang ada di dalam koper besar milikku, lalu menatanya ke dalam lemari cokelat lamaku dan beberapa tempat lainnya.
Setelah itu, aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, sambil memainkan ponsel yang tergeletak tepat di sampingku. Ku buka pesan masuk dari Jenny. Dia mengirimiku foto dirinya bersama kekasih barunya yang bernama Stefan, sedang berciuman di dalam mobil. 'Tampan, seksi, dan pencium yang hebat. Bagaimana? Sudah tertarik?', tulisnya.
'Terimakasih atas review-nya, Jenn. Tapi, tidak. Simpan saja untuk dirimu.', balasku sambil tersenyum.
Begitulah Jenny. Dia dan dunianya selalu tampak menarik dan menyenangkan. Tapi, jangan salah paham dengannya. Dia memang bukan gadis polos, lugu atau semacamnya. Kamu tidak akan menemuinya di perpustakaan, toko buku, atau perkumpulan mahasiswa teladan. Karena, jelas bukan seperti itu dirinya.
Dia adalah Jenny. Gadis populer dengan rambut pirangnya yang indah dan parasnya yang cantik, yang suka berpesta, memiliki sederet mantan kekasih dan menyukai hal-hal yang menarik dan menantang dalam hidupnya. Dan yang terpenting, dia adalah seorang sahabat yang selalu ada dalam setiap suka-duka, menjadi pendengar yang baik, loyal, apa adanya dan tidak pernah menghakimi apapun yang kulakukan atau menjadi keputusanku. Jadi, seharusnya itu menjadi alasan yang cukup, kenapa aku sangat menyayanginya.
Aku dan Jenny saling berkirim pesan. Dia banyak membicarakan tentang hubungannya dengan kekasih barunya yang ia bilang tampan, seksi dan pencium yang hebat itu, juga tentang pesta di rumah Lily nanti malam yang sepertinya akan menyenangkan. Hingga tanpa sadar rasa kantuk mulai menguasaiku dan membuatku tertidur di atas ranjang lamaku.
Wajah langit yang terlihat di balik jendela kamar sudah berubah warna menjadi jingga kemerahan, ketika aku membuka kedua mataku. Lalu, aku pun menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pantas saja, ternyata waktu sudah menunjukkan lewat pukul enam sore. Perjalanan panjang dari California ke Florida hari ini tampaknya cukup melelahkan, hingga membuatku tertidur selama berjam-jam.
Aku meregangkan tubuhku yang masih terbaring di atas ranjang. Rasanya nyaman sekali. Seakan membangunkan otot-otot yang sebelumnya terasa kaku dan tegang akibat tertidur selama berjam-jam.
Dan ketika kesadaranku kembali penuh, aku bergegas menuju kamar mandi di sudut kamarku untuk membersihkan tubuhku yang cukup berkeringat dan lengket. Tidak heran, bulan Agustus di Florida tercatat sebagai puncak bulan terpanas dengan rata-rata suhu harian mencapai 33°C.
Rasanya sungguh menyegarkan, ketika air yang keluar dari pancuran di atas kepala mengguyur seluruh tubuhku, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ditambah aroma dari sampo dan sabun favoritku yang wanginya menyeruak keluar, ketika mengusapkannya ke seluruh permukaan kulit kepala dan tubuh. Menambah sensasi menyenangkan dan menenangkan dari aktivitas membersihkan diri yang kulakukan.
Setelah itu, aku mengambil salah satu koleksi kaos yang kupunya, juga sebuah celana jeans pendek di dalam lemari, lalu memakainya. Tidak lupa memakai riasan tipis untuk menutupi ketidaksempurnaan yang ada pada wajahku, seperti halnya yang sudah Jenny ajarkan padaku. Lalu, merapikan rambut panjangku yang kubiarkan jatuh terurai.
Aku berniat menghabiskan waktu malam ini untuk pergi ke toko buku. Mencari beberapa buku bacaan menarik yang bisa menemani waktu luangku selama menunggu perkuliahaan dimulai. Ide itu kudapatkan saat sedang melakukan kegiatan mandi beberapa saat yang lalu. Kurasa tidak buruk juga.
Ayah meminjamkanku mobilnya, setelah aku memberitahunya ingin pergi ke toko buku. Sebenarnya aku berencana pergi kesana naik taksi online, tadinya. Tapi, berhubung Ayah memaksaku untuk menggunakan mobilnya saja, jadi kenapa tidak?
Aku mengeluarkan mobil Ford hitam milik Ayah yang terparkir di garasi, lalu melajukannya dengan kecepatan sedang melintasi jalanan di sekitar rumah yang cukup sepi, namun berangsur-angsur menjadi cukup ramai saat mulai memasuki jalanan kota.
Toko buku terdekat berjarak sekitar lima belas kilometer dari rumah, yang dulu merupakan toko buku langgananku sejak masa SMP. Masih ingat dengan beberapa koleksi komik Jepang yang ada di kamar lamaku, bukan? Ya. Aku pernah menjadi seorang penggemar berat anime dan manga, dulu. Namun, lagi-lagi semua itu terpaksa harus kutinggalkan dalam rangka mengubur dalam-dalam sebuah kenangan semasa SMA yang tidak ingin kuungkit lagi. Jangan penasaran! Karena, aku tidak akan pernah membahasnya.
Beberapa menit kemudian, aku sudah tiba di toko buku yang tadi kubicarakan. Kuparkir mobil Ford hitam milik Ayahku di halaman depan bangunan toko buku yang tidak terlalu luas tersebut. Kemudian, aku keluar dari mobil dan melangkahkan kaki menuju ke dalam toko buku yang tampak tidak terlalu ramai.
Begitu memasuki toko buku tersebut, kedua mataku langsung tertuju pada beberapa rak buku di sebelah kanan meja kasir yang di atasnya terdapat tulisan 'FIKSI'. Aku langsung berjalan menghampiri rak-rak tersebut, karena disanalah aku akan mencari satu atau dua buku yang menarik. Rak-rak buku tersebut berisi beberapa karya fiksi, seperti komik, cerita pendek, novel, cerita bergambar, roman, fiksi ilmiah dan karya fiksi lainnya.
Aku menghampiri rak buku berisi puluhan judul novel. Pikirku, memiliki beberapa judul novel yang menarik untuk dibaca sepertinya akan menyenangkan. Karena aku tidak memiliki satupun rekomendasi novel untuk dibeli, jadi aku membaca blurb beberapa novel yang kuambil secara acak, untuk mendapatkan gambaran cerita.
Setelah menghabiskan hampir tiga puluh menit waktuku untuk membaca blurb beberapa novel acak, akhirnya, aku menjatuhkan pilihanku pada tiga novel yang berjudul, 'Ugly Love' karya Colleen Hoover, 'Things We Never Got Over' karya Lucy Score dan 'Broken Like You' karya Luna Pierce. Aku membawa ketiga novel tersebut menuju kasir untuk melakukan pembayaran, lalu bergegas pulang.
Aku tidak memiliki rencana lain selain pergi ke toko buku, tadinya. Namun, saat mobil yang kukendarai melaju di jalanan sekitar rumah, aku melihat sebuah taman yang tampak asri, nyaman dan cukup sepi. Sebuah ide mendadak muncul di benakku, menyuruhku berhenti dan singgah di sana untuk membaca novel yang baru kubeli beberapa saat tadi.
Dalam ingatanku, sepertinya saat berangkat tadi, aku tidak menjumpai adanya taman di sekitar sini. Atau mungkin aku terlalu fokus menatap jalan di depan dan mengemudikan mobil milik Ayahku, sehingga tidak menyadari keberadaannya. Sepertinya begitu.
Di antara tiga novel yang baru kubeli, aku belum tahu novel mana yang akan kubaca terlebih dahulu. Jadi, aku membawa ketiganya bersamaku, menyusuri jalan setapak menuju ke arah bangku taman di depan sana.
Di atas bangku taman, aku membaca ulang blurb dari ketiga novel yang kubawa, untuk membantuku memutuskan satu diantara ketiganya yang akan lebih dulu kubaca. Dan aku menjatuhkan pilihanku pada novel berjudul 'Ugly Love' karya Colleen Hoover.
Pada blurb di sampul bagian belakang novel tersebut memuat sebuah kalimat yang menarik perhatianku. 'Jangan bertanya tentang masa lalu. Jangan berharap akan masa depan'. Sepertinya novel ini akan menceritakan sebuah kisah percintaan di antara dua tokoh, dimana salah satunya mengharapkan tentang cinta, sementara yang lainnya memiliki trauma percintaan yang membuatnya merasa belum siap untuk menerima cinta yang baru. Menarik.
Di bawah lampu taman yang tidak terlalu terang, aku mulai membaca halaman demi halaman novel tersebut. Mencoba masuk ke dalam cerita dan merasakan emosi yang ada di dalamnya. Dan, berhasil. Aku berhasil melakukannya, hingga tanpa sadar sudah menghabiskan waktu selama berjam-jam untuk membacanya.
Lalu, ponsel di dalam saku celanaku tiba-tiba berdering, menandakan ada panggilan masuk yang kemungkinan itu dari Ayah atau Ibu. Dan, benar. Aku melihat nama Ibu tertera pada layar ponselku. Buru-buru aku mengangkatnya.
"Halo, Nora!", seru Ibu dengan nada cemasnya.
"Halo, Bu!", balasku.
"Kamu dimana, Sayang? Ini sudah hampir jam sepuluh malam. Apa kamu baik-baik saja?"
Aku merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya aku keasyikan membaca novel, sampai-sampai lupa waktu begini. Ibu dan Ayah pasti sedang mengkhawatirkanku.
"Aku sedang membaca buku di taman dekat rumah, Bu. Maaf, karena tidak memberi kabar dan sudah membuat Ibu khawatir.", kataku, benar-benar menyesali perbuatanku.
Ibu menghela nafas panjang. "Syukurlah kalau begitu, Sayang!"
"Kalau begitu aku pulang dulu, Bu. Sampai bertemu di rumah."
"Iya, Sayang. Hati-hati!"
Dengan terburu-buru aku merapikan ketiga novel yang tergeletak di atas bangku taman, lalu membawanya kembali bersamaku, melangkahkan kaki, setengah berlari menuju mobil.
Brukkkk....
Tanpa sengaja aku tersandung sesuatu yang keras di bawah sana, dan terjatuh, terjerembap di atas tanah. Sementara ketiga novelku terlempar cukup jauh di depanku.
"Aargh!", erangku. Merasakan perih pada kedua lututku yang sepertinya terluka.
"Hei! Kamu tidak apa-apa?", tanya seorang perempuan yang tengah berlari ke arahku. Ia memungut ketiga novelku yang terjatuh, lalu membantuku berdiri.
Aku membersihkan tanah yang menempel di kedua lengan, pakaian dan kakiku, sambil menahan malu. Kenapa aku bisa seceroboh ini? "Aku baik-baik saja. Terimakasih.", ucapku.
Perempuan itu tersenyum kepadaku. Ia memiliki wajah cantik dan manis, rambut keriting sebahu , juga kulit berwarna kecokelatan yang tampak menawan. Sepertinya kami seusia.
"Sama-sama. Kamu tinggal di sekitar sini? Kurasa aku belum pernah melihatmu."
"Ehm, ya. Dulu keluargaku pernah tinggal disini, lalu pindah ke California, dan sekarang kembali tinggal di sini lagi. Kurang lebih begitu.", jelasku.
"Hmm, sepertinya aku dan keluargaku datang dan mulai tinggal disini, saat kamu dan keluargamu pindah ke California."
"Sepertinya begitu.", balasku. "Ehm, Aku Nora!", kataku lagi, mengulurkan tangan kananku ke depan.
"Hai, Nora! Aku Nina!", sahutnya, menjabat tangan kananku.
"Apa yang membuatmu terburu-buru hingga terjatuh begitu?"
"Ehm, kurasa aku terlalu fokus dengan novel baruku. Aku jadi lupa waktu dan membuat orang rumah khawatir."
"Hmm, novel yang menarik. 'Ugly Love', kebetulan aku juga memilikinya dan baru saja selesei membacanya."
"Ya. Aku baru mulai membacanya beberapa jam yang lalu. Dan, aku sudah sangat menyukainya."
"Kamu akan semakin menyukainya saat sudah membacanya lebih jauh. Hmm, tenang! Aku tidak akan memberimu spoiler sedikitpun."
"Haha. Trims, Nina!", seruku. Ternyata seru juga mengobrol dengan Nina. Dia orang yang baik, ramah dan menarik.
"Kamu suka membaca novel?"
"Ehm, sebenarnya ini novel pertama yang kubaca. Aku membeli beberapa novel, agar bisa mengisi waktu luangku untuk membacanya. Aku sedang menunggu perkuliahan yang akan dimulai pertengahan Agustus nanti."
"Jadi, kamu pergi kuliah? Dimana?"
"Ya, ini tahun keduaku. Aku baru saja mengurus kepindahanku di University of Florida."
"Sungguh? Jurusan apa?"
"Bisnis."
"Wah, seprtinya kedepannya kita akan sering bertemu, Nora! Kebetulan sekali, aku juga berkuliah disana dan mengambil jurusan yang sama denganmu."
"Benarkah? Wah, ini berita baik untukku, Nina!"
"Kamu berencana untuk tinggal di asrama kampus? Atau mungkin lebih suka melakukan perjalanan dari Tampa ke Gainesville?"
"Tentu saja tinggal di asrama. Aku tidak ingin menyusahkan diri sendiri, karena kelelahan."
"Hmm, kurasa aku bisa membantumu mengurus pembagian kamar. Kebetulan aku mengenal salah satu pengurusnya. Aku bisa memintanya untuk memasukkanmu ke kamar yang aku tempati. Karena, lagi-lagi kebetulan teman sekamarku memutuskan untuk tidak tinggal di asrama lagi. Hanya jika kamu mau."
"Tentu saja aku mau! Terimakasih banyak, Nina. Kita baru berkenalan, tapi kamu sudah memberiku banyak bantuan. Senang berkenalan denganmu."
"Sama-sama, Nora. Senang juga berkenalan denganmu."
Obrolan kami berlangsung menarik, sampai akhirnya aku kembali teringat bahwa Ibu dan Ayah pasti sudah menungguku di rumah sejak tadi. Jadi, aku berpamitan pada Nina, teman satu kampus, satu jurusan bahkan kelak akan menjadi teman satu kamar di asrama kampus. Dengan terburu-buru namun lebih berhati-hati, aku melangkahkan kaki menuju tempat mobil milik ayah terparkir. Namun, baru sekitar lima langkah, aku tersadar bahwa aku dan Nina belum sempat bertukar nomor telepon. Jadi, aku menghentikan langkah kaki dan memutar badan.
"Nina!", seruku pada Nina yang tampak hendak pergi. "Tunggu!", seruku lagi, berlari ke arahnya.
"Ada apa, Nora! Apa ada yang tertinggal?", Nina tampak bingung karena aku kembali dan menghampirinya lagi
"Kita belum sempat bertukar nomor telepon tadi. Boleh?", tanyaku, sembari mengulurkan ponselku ke arahnya.
"Ah iya, benar. Kita belum sempat melakukannya.", Nina mengambil ponsel di tanganku, lalu memberikan ponsel miliknya padaku. Kami saling bertukar nomor telepon.
"Trims, Nina! Kalau begitu aku pergi dulu! Sampai jumpa!", seruku, berlari ke arah mobil milik Ayahku sambil menyimpan ponsel yang sudah berisi nomor Nina di dalam kontaknya.
Aku duduk di balik kemudi, melajukan mobil dengan kecepatan penuh menuju rumah yang hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari taman. Kumasukkan kembali mobil milik Ayahku ke dalam bagasi rumah lamaku. Lalu, bergegas masuk ke dalam rumah.
Di dalam sana tampak Ibu dan Ayah sedang menungguku dengan perasaan cemas di ruang tengah. Mereka langsung menghela nafas panjang, begitu aku muncul dari balik pintu utama.
"Kami mengkhawatirkanmu, Sayang!", seru Ibu dengan wajah cemasnya.
"Maaf, Yah, Bu. Sepertinya ini salahku."
"Lain kali beritahu kami kalau kamu masih ingin bermain di luar, Nora. Setidaknya kami tahu kamu sedang berada dimana."
"Iya, Yah. Maaf!"
"Kami hanya khawatir kamu kenapa-kenapa, Nora. Ibu tahu kamu sudah dewasa. Tapi, berkendara sendirian malam-malam begini, di sebuah kota dengan tingkat kejahatan tertinggi ketiga di AS, rasanya cukup berbahaya. Apalagi kamu perempuan.", jelas Ibu, membelai rambut panjangku.
"Iya, Bu. Aku mengerti.", jawabku, menyesali perbuatanku. "Oh ya, tadi aku bertemu seorang perempuan bernama Nina. Dan, kebetulan sekali, kami akan menjadi teman satu kampus, satu jurusan dan satu kamar di asrama kampus.", sambungku. Memberitahu Ibu dan Ayah tentang Nina.
"Wah, beruntung sekali kalian bisa bertemu, Sayang!", komentar Ibu. "Akhirnya, kamu menemukan teman baru."
"Iya, Bu. Malam ini aku benar-benar beruntung.", balasku sambil tersenyum. "Baiklah, aku pergi ke kamar dulu, Yah, Bu. Rasanya aku sudah mulai mengantuk.", kataku, mencium kedua pipi Ibu dan Ayah, lalu menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan bergegas tidur.
Hari berikutnya, Nina berkunjung ke rumah. Pagi-pagi tadi ia menghubungiku lantaran merasa bosan menghabiskan liburan musim panasnya yang katanya sedikit membosankan. Tadinya, aku berniat mengajaknya bersepeda atau pergi ke pantai. Tapi, ia bilang ingin mengunjungiku di rumah saja. Ia ingin lebih mengakrabkan diri denganku dan kedua orang tuaku.
Nina memang seorang gadis yang ramah, ceria dan menyenangkan. Kedua orang tuaku langsung menyukainya, begitu mereka mulai mengobrol, terlebih lagi Ibu. Ternyata, Ibu Nina adalah seorang jurnalis salah satu majalah fashion yang cukup besar di Miami. Sementara Nina sendiri sudah cukup akrab dan mengerti tentang Fashion. Jadi, tentu saja Ibu merasa senang sekali mengobrol dengannya.
Aku mengajak Nina pergi ke kamarku, setelah Ibu selesei membuatkan kami dua gelas smoothie dingin dengan tampilan yang tampak segar dan menggiurkan. Benar-benar cocok sekali diminum di waktu seperti sekarang ini, saat Matahari di Florida bersinar begitu teriknya, hingga membuat udara yang masuk ke dalam rumah terasa hangat.
Saat pertama kali masuk ke dalam kamarku, Nina tampak terkejut melihat koleksi komik Jepang yang kumiliki. Ia tidak menyangka aku memiliki manga sebanyak itu. Lalu, aku menjelaskan padanya jika itu adalah koleksi lamaku, saat aku masih duduk di bangku SMP dan SMA tahun pertama. Dan untuk saat ini, aku tidak lagi menyukainya.
Ia sempat bertanya padaku tentang alasan yang membuatku tidak lagi menyukai manga. Dan, aku mengatakan semua itu hanya soal preferensi yang berubah seiring bertambahnya usia. Tentu saja itu hanya alasan yang sengaja kubuat untuk mengakhiri keingintahuannya. Bukan maksudku untuk membohonginya. Hanya saja, aku tidak ingin mengungkit lagi kenangan masa lalu yang ingin kulupakan itu.
Kami menikmati segelas smoothie buatan Ibu, selagi dingin. Rasanya benar-benar enak dan menyegarkan. Lalu, Nina menceritakanku banyak hal tentang kampus baruku, seperti berbagai fasilitas yang dimiliki, kegiatan-kegiatan kemahasiswaan yang populer, kegiatan perkuliahan, serba-serbi asrama kampus, termasuk kejadian dan/atau gosip yang sedang naik daun di kampus.
"Sepertinya aku belum sempat memberitahumu kalau kita punya teman satu jurusan yang sangat tampan dan diidolakan banyak mahasiswi di kampus.", kata Nina, tampak berantusias dengan gosip barunya. Tiba-tiba, mengingatkanku pada Jenny yang juga selalu tampak berantusias kalau sudah bergosip tentang pria tampan dan sejenisnya.
"Benarkah?"
"Tunggu! Aku akan menunjukkanmu.", Nina memainkan ponselnya, mencari sesuatu yang katanya ingin ia tunjukkan padaku. "Lihatlah!", serunya kemudian, menunjukkan sebuah foto padaku.
Foto tersebut memuat gambar seorang pria dengan wajah tampan, seperti yang Nina bilang. Ia tampak sedang tersenyum manis dengan tatapan matanya yang hangat. Mengenakan sebuah sweater berwarna krem dan celana jeans, dengan gaya rambut belahan samping yang tampak mempesona.
"Namanya Nick.", ucap Nina, memperhatikanku yang tengah menatap foto tersebut. "Bagaimana menurutmu?"
"Tampan dan.... manis.", jujurku.
"Bukan hanya itu, Nora. Popularitas Nick bukan hanya karena ketampanannya. Dia juga pintar dan masuk ke dalam daftar mahasiswa berprestasi di kampus.", sanggahnya.
"Benarkah?"
"Ya. Itulah alasan banyak mahasiswi yang mengidolakannya."
"Hmm, masuk akal."
"Kamu tidak tertarik dengannya, Nora?"
"Entahlah, Nina."
"Kamu sudah punya kekasih?"
"Haha, tidak. Maksudku, aku belum pernah bertemu dengannya ataupun mengenalnya. Jadi, aku tidak bisa bilang tertarik dengannya atau tidak."
Nina tampak sedang mencerna ucapanku, lalu tiba-tiba seperti mendapatkan sebuah pencerahan. "Kurasa tidak lama lagi kamu akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya, Nora.", kata Nina, sambil menyunggingkan senyum miring.
"Bertemu?"
"Ya. Akhir pekan nanti akan ada pesta musim panas yang diadakan komunitas kampus di danau milik University of Florida. Aku yakin kalau Nick pasti datang. Jadi, kamu harus ikut denganku untuk datang ke pesta itu."
"Tapi, aku belum resmi berkuliah disana, Nina."
"Tidak masalah, Nora. Percaya padaku!"
"Hmm, baiklah.", kataku. Aku menyerah pada akhirnya. Membiarkan Nina merencanakan apa yang dia inginkan terhadapku.
"Kurasa kamu sangat mengidolakan pria bernama Nick itu. Jadi, kenapa kamu malah antusias sekali ingin mempertemukanku dengannya?", tanyaku.
"Memang benar, Nora. Tapi, sayangnya dia tidak pernah tertarik padaku."
"Bagaimana kamu tahu?"
"Karena, sejak lama aku sudah mencoba mendekatinya. Tapi, dia hanya memberikan respon yang biasa saja. Bahkan, bukan aku saja. Banyak perempuan di kampus yang berusaha mendekatinya juga, namun dia memberikan respon yang sama."
Aku memicingkan mata, berniat menggoda Nina. "Nina! Jangan-jangan dia sebenarnya gay.", godaku.
"Nora! Jelas bukan itu alasannya.", sergahnya, merasa tidak terima mendengarku menjelekkan pria idamannya.
"Benar kan? Kamu bilang banyak perempuan yang tergila-gila padanya, berusaha mendekatinya, tapi dia malah bersikap biasa saja. Apalagi namanya kalau bukan gay?"
"Haha. Terimakasih atas leluconnya yang tidak lucu, Nora! Tapi aku sangat yakin kalau Nick masih menyukai perempuan."
Aku tertawa karena merass berhasil menggoda Nina. "Haha. Baiklah, Nina!"
Nina menghabiskan segelas smoothie miliknya, hingga tak bersisa. Lalu, kami melanjutkan obrolan panjang kami yang semakin menarik. Dia menceritakan tentang pesta musim panas pekan depan yang katanya berlangsung setiap tahun saat libur musim panas tiba.
Biasanya pesta tersebut berlangsung meriah dan seru, dengan berbagai aktivitas air seperti kayaking, paddleboarding, kano dan lainnya. Juga berbagai permainan dan olahraga, seperti rock climbing wall, Frisbee, bola, tarik tambang, jenga raksasa, permainan papan dan permainan tim lainnya. Terkadang food truck yang berasal dari sponsor kampus juga turut hadir melengkapi Grill dan BBQ gratis yang disediakan disana. Kemudian untuk musik dan hiburan, biasanya mereka menyuguhkan live DJ atau live music yang berasal dari band akustik lokal. Tidak lupa ada photo booth yang juga dihadirkan sebagai fasilitas populer yang ditunggu banyak mahasiswa.
Semua yang diceritakan Nina tentang musim panas pekan nanti terdengar menyenangkan. Jadi, sudah kuputuskan untuk ikut saja dengannya. Tapi satu hal yang harus kalian garis bawahi, aku memutuskan untuk pergi kesana, karena ingin turut menikmati keseruannya, bukan semata-mata ingin bertemu pria bernama Nick yang sudah direncanakan Nina.
Saat langit hampir menunjukkan wajah senjanya, Nina berpamitan. Ibu memintanya untuk tinggal lebih lama, agar kami bisa makan malam bersama. Namun, Ia menolak dengan halus. Ia bilang kalau sebenarnya ia juga mau makan malam bersama kami, tapi untuk malam ini ia tidak bisa melakukannya. Sebab, ia dan kedua orangtuanya akan berkunjung dan menginap di rumah kakek dan neneknya di Orlando selama beberapa hari ke depan.
Kurasa Nina benar-benar orang yang gigih. Ia bersungguh-sungguh dengan niatannya untuk mengajakku pergi ke pesta musim panas akhir pekan nanti. Jadi, sebelum ia melangkahkan kakinya untuk pergi, ia memberitahu Ibu tentang pesta musim panas itu. Ia meminta ijin pada Ibu untuk mengajakku pergi kesana. Dan, tentu saja Ibu memberinya ijin. Bahkan, tampaknya Ibu senang sekali dengan rencana yang dibuat Nina, karena tak ingin melihatku kesepian dan merasa bosan di rumah.
"Selamat Malam, Mr. & Mrs. Grace!", pamitnya, lalu melangkahkan kaki keluar dari rumah kami.
Selepas Nina pergi, aku membantu Ibu memasak dan menyiapkan hidangan untuk makan malam. Menu makan malam kali ini adalah ayam panggang dengan bumbu lemon dan bawang putih, salad dan roti dinner rolls. Kemudian ditutup dengan lemonade dan dessert berupa cookies cokelat yang lezat.
Sekitar empat puluh lima menit kemudian, semua hidangan sudah tertata rapi di atas meja makan. Ibu memanggil Ayah yang sedang berada di ruang kerjanya untuk bergabung bersama kami di meja makan. Kami menyantap hidangan makan malam diselingi obrolan-obrolan ringan, seperti biasa. Setelah itu, aku membantu Ibu membersihkan peralatan makan yang kotor, lalu bergegas kembali ke kamar.
Seharian ini aku belum sempat menghubungi Jenny dan mengobrol dengannya. Bahkan, kami hanya beberapa kali berbalas pesan. Ia pasti tidak sabar dengan cerita terbaru yang kumiliki hari ini. Jadi, sebelum mengakhiri malam ini dengan berbaring di atas ranjang hingga pagi datang, aku berniat ingin menghubungi Jenny dan mengobrol dengannya.
"Hai, Nora!", serunya dari balik panggilan telepon.
"Hai, Jenn!"
"Sepertinya kamu agak sibuk hari ini. Ada cerita menarik apa?", tanyanya, penasaran.
"Maaf, Jenn. Seharian ini ada seorang teman berkunjung ke rumah."
"Seorang pria?"
"Haha. Bukan. Maaf sudah mengecewakanmu.", aku tertawa mendengar respon Jenny yang tampak kehilangan ekspektasinya tentangku. "Kamu tahu kan aku tidak cukup pintar bergaul dengan pria, Jenn? Tidaka akan pernah bisa sehebat dirimu.", lanjutku.
"Ayolah, Nora! Kamu cantik dan cukup seksi. Kamu hanya perlu sedikit keberanian untuk membiarkan para pria di sekelilingmu mendekatimu."
"Trims untuk sarannya, Jenn. Aku akan mempertimbangkannya", jawabku, sambil lalu.
"Jadi, siapa seorang teman yang kamu bicarakan tadi?"
"Namanya Nina. Aku bertemu dengannya semalam di sebuah taman dekat rumah lamaku, Jenn. Dan, kebetulan sekali dia berkuliah di kampus baruku. Dia juga tinggal di asrama kampus. Jadi, kurasa kedepannya aku akan menghabiskan banyak waktu dengannya."
"Wah! Senang mendengarmu memiliki teman baru disana, Nora! Tapi, awas! Jangan sampai melupakanku! Kamu tidak akan pernah menemui perempuan gila dan seksi sepertiku.", peringatnya, sambil tertawa.
"Tentu saja, Jenn. Aku masih sangat membutuhkan rencana-rencana gilamu dalam hidupku.", balasku, diiringi tawa yang pecah.
"Bagus!"
"Oh ya, akhir pekan nanti dia mengajakku pergi ke pesta musim panas yang diadakan komunitas di kampus. Dia bilang ingin mempertemukanku dengan salah satu pria populer di kampus."
"Wah, teman barumu tampaknya menarik juga, Nora! Jelas kamu harus mencobanya. Jadi, seperti apa pria populer yang di kampus barumu itu? Apa dia seorang badboy yang seksi?"
"Entahlah, Jenn. Aku belum bertemu dengannya. Nina bilang pria itu tampan dan juga pintar. Dan banyak mahasiswi di kampus yang menggilainya."
"Hmm, jadi sepertinya pria itu bukan tipe badboy yang seksi, melainkan pria manis yang menawan. Bukankah itu adalah tipe pria yang kamu sukai, Nora?"
"Entahlah, Jenn. Rasanya saat ini aku tidak berminat mengurusi soal pria."
"Ayolah, Nora! Bukankah kamu bilang ingin benar-benar melupakan kenanganmu di masa lalu? Kurasa inilah saatnya membuka hati dan mencobanya lagi bersama orang yang baru.", kata Jenny.
Aku sedikit terkejut mendengar Jenny tiba-tiba mengungkit soal kenangan masa lalu yang ingin kulupakan itu. Sebab, ia tahu betul kalau aku tidak ingin mengingat-ingatnya lagi. Tapi, jika dipikir-pikir apa yang barusaja Jenny katakan ada benarnya juga.
Selama ini aku selalu berusaha keras untuk menguburnya dalam-dalam dan melupakannya. Namun, aku selalu menutup hatiku untuk orang yang baru. Dan, hal tersebut justru membuatku semakin terjebak dalam bayangan kenangan masa lalu tersebut. Jadi, kurasa kali ini aku harus mencoba membuka hati, seperti yang dikatakan Jenny.
"Nora! Maaf, aku tidak bermaksud mengungkit tentang kenangan masa lalu itu.", sahut Jenny, menyesali perkataannya begitu menangkap diamku.
"Tidak, Jenn. Kurasa kamu benar. Aku harus lebih berani membuka hati untuk mengenal dan menerima orang baru."
"Aku akan membantumu, Nora! Meskipun aku tidak ada disana bersamamu, tapi kamu bisa menghubungiku kapanpun. Kita bisa mengobrol kapanpun tentang hal itu.", janji Jenny.
Jenny adalah satu-satunya orang yang kupercaya, yang mengetahui tentang kenangan masa lalu yang kukubur dalam-dalam dan ingin kulupakan itu. Aku menceritakan semuanya tanpa ada yang terlewat sedikit pun. Dan, ia memberiku sebuah pelukan hangat yang menguatkanku saat itu. Tanpa sebuah penilaian, tanpa sebuah penghakiman. Seperti yang pernah kubilang, Jenny adalah seorang pendengar yang sangat baik.
"Trims, Jenny!"
"Sama-sama, Nora!"
Malam ini kami memiliki obrolan yang panjang. Kebanyakan tentang persoalan kenangan masa laluku dan rencana baru untuk membuka kembali hatiku. Jenny memberiku banyak saran. Ia menguatkanku, menyemangatiku, sekali lagi. Sementara obrolan lainnya tentang apa yang terjadi di pesta semalam yang diadakan di rumah Lily.
Jenny bilang bahwa semalam Mike, mantan kekasihnya sengaja datang ke pesta untuk meminta maaf padanya, juga memohon agar Jenny mau kembali menjadi kekasihnya. Sementara Stefan, kekasih baru Jenny juga ada di pesta tersebut, dan menyaksikannya. Sehingga, terjadi baku hantam diantara keduanya. Beruntung Jenny berhasil menghentikan Stefan dan mengajaknya pulang.
Kemudian yang terjadi selanjutnya adalah Stefan mengajak Jenny ke apartemennya. Stefan memang berasal dari keluarga yang kaya. Kedua orangtuanya membelikan sebuah apartemen mewah di dekat kampus untuknya. Jadi, sejak di tahun pertama ia berkuliah, ia sudah tinggal disana.
Jenny bilang, menghabiskan malam di apartemen Stefan jauh lebih baik daripada berada di pesta. Jelas, kalian juga mengerti apa maksudnya. Kurasa aku tidak perlu memperjelas apa yang terjadi diantara Jenny dan Stefan semalam. Aku hanya berharap semoga saja Stefan tidak seburuk yang kupikirkan. Semoga saja pria itu tidak akan pernah menghancurkan hati Jenny. Meskipun, selama ini rasanya Jenny belum pernah sekalipun merasa hancur atau tersakiti hanya karena seorang pria.
Hari ini sepertinya akan masuk ke dalam daftar hari yang baik untukku. Aku banyak mengobrol, tertawa dan merasa terhibur dengan Nina dan Jenny. Apalagi Jenny akhirnya berhasil menyadarkanku bahwa mungkin inilah saatnya aku harus membuka hati dan bersenang-senang lagi. Dan aku sudah membulatkan tekad untuk mencobanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!