Mempersiapkan Senjata Perang

"Bangun, Putri Tidur!", seru seorang perempuan dengan suara yang terdengar familiar. Berusaha membangunkanku yang kini sudah setengah tersadar dari mimpi yang bayangannya mulai memudar.

Dengan enggan aku membuka kedua mataku yang terasa berat dan seakan menolak terbuka. Mencoba memfokuskan bayangan di depanku yang tampak kabur. Semalam aku tidur lewat tengah malam, bahkan saat waktu sudah menunjukkan pukul empat pagi. Demi menuntaskan novel berisi hubungan Tate dan Miles yang akhir-akhir ini terus saja membayangiku. Dan, aku merasa senang dengan akhir kisah yang membuat mereka bersama dengan jalan yang terasa dewasa dan realistis.

"Nina!", seruku, begitu pandanganku mulai jelas akan sosok Nina yang tengah berdiri di samping ranjangku.

Aku memaksa bangun tubuhku yang sejujurnya masih nyaman berbaring di atas ranjang. Sebab, saat kulirik ke arah jam dinding di atas sana, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi.

Nina tampak sedang memperhatikanku dengan penampilan yang lumayan kacau. "Kamu habis begadang semalaman, Nora?", tebaknya. Mungkin ia tahu dari bulatan hitam yang tampak di sekitar mataku.

"Ya. Aku sudah selesai dengan kisah Tate dan Miles.", jawabku, sembari menyambar novel yang tergeletak di samping bantalku, memberikannya pada Nina.

"Ah, jadi karena ini? Hmm, aku tidak bisa menyalahkanmu. Sebab, aku melakukan hal yang sama saat itu. Aku begadang semalaman hanya untuk mengetahui akhir kisah hubungan mereka.", komentarnya.

"Sepertinya aku akan membutuhkan waktu untuk bisa melanjutkan ke novel selanjutnya. Rasanya aku masih belum bisa move on dari kisah hubungan mereka yang pahit dan manis."

"Ya, dulu aku pun begitu. Mungkin kamu akan butuh waktu berminggu-minggu untuk bisa melupakannya dan beralih ke novel lainnya."

"Ya, sepertinya begitu, Nina!", jawabku, lalu bangkit dari ranjang, untuk mencuci muka dan menggosok gigi di kamar mandi di dalam kamarku, yang pintunya sengaja kubuka agar tetap bisa berinteraksi dengan Nina.

"Sepertinya aku melewatkan sesuatu kemarin. Mrs. Grace bilang bahwa kemarin kamu pergi ke pantai dan bertemu seorang pria.", ujarnya

"Bukan seperti itu, Nina. Hmm, Ibu terlalu melebih-lebihkan. Aku hanya bersepeda kesana, lalu tiba-tiba ban belakang sepedaku bocor dan muncul seorang pria yang memberiku bantuan.", jelasku, mencoba meluruskan cerita yang sebenarnya.

"Benarkah? Tapi, bagaimana penampilan pria yang menolongmu itu? Apa dia tampan?", tanya Nina, berantusias.

"Ehm, ya. Tampan, baik dan hangat."

"Wah! Aku belum pernah bertemu pria seperti itu selama mengunjungi pantai Ben T. Davis. Jadi, siapa namanya?"

"Hmm, sayangnya kami belum sempat berkenalan, Nina. Dia sudah pergi terlebih dulu."

"Hmm, sayang sekali, Nora!"

"Ya. Tapi setidaknya aku sudah berterimakasih padanya."

"Tidak masalah, Nora! Ingat! Kamu belum bertemu Nick. Jadi, lupakanlah pria hangat itu dan fokuslah pada pertemuanmu dengan Nick besok.", kata Nina, lagi-lagi berusaha mengingatkanku pada pria populer di kampus baruku.

"Hmm, baiklah.", balasku, pasrah.

"Tapi, aku tidak bisa membiarkanmu pergi dengan penampilan seperti ini besok.", Nina menunjuk bulatan hitam di sekitar mataku dan rambutku yang tampak kusut. "Ayo kita siapkan senjatamu untuk berperang besok!", ajak Nina, yang tak kutahu apa maksud dari perkataannya itu.

"Hah? Kemana?", tanyaku, mengerutkan kedua alis dan dahiku.

"Bersiap-siaplah, Nora! Kamu akan tahu nanti. Cepatlah!"

Aku mengganti pakaian tidurku dengan sebuah crop top berwarna putih dan celana jeans berwarna gelap. Lalu, memakai tabir surya dan riasan tipis, juga menyisir dan mengikat rambutku ke belakang. Entah kemana Nina akan membawaku. Yang jelas aku sedang bersiap-siap sesuai instruksinya.

"Terimakasih untuk cookiesnya, Mrs. Grace. Bolehkah aku membawa Nora untuk sedikit bersenang-senang?", tanya Nina sambil menikmati cookies buatan Ibu. Ia meminta ijin pada Ibu untuk mengajakku keluar, dan jelas Ibu langsung memberinya ijin.

"Aku pergi dulu, Bu.", pamitku, sambil mencomot sebuah cookies dari dalam toples yang ada di dekat Nina, mencium kedua pipi Ibu, lalu bergegas pergi menuju mobil Nina yang terparkir di halaman depan rumah.

"Hmm, jadi kemana kita akan pergi, Nina?", tanyaku lagi, saat kami sedang dalam perjalanan ke suatu tempat yang belum kuketahui.

"Sudah kubilang, kita akan pergi untuk mempersiapkan senjatamu sebelum berperang besok, Nora!", jawab Nina, belum mau memberitahuku tentang rencananya saat ini.

"Hmm, baiklah. Sepertinya kamu tidak akan memberitahuku sampai kita tiba di tempat tujuan nanti."

"Percayalah, Nora! Kamu akan menikmatinya nanti.", kata Nina, sambil tersenyum di balik kemudinya.

Mobil sedan putih milik Nina melaju dengan kecepatan sedang, menyusuri jalan raya kota Tampa yang siang ini tampak cukup lengang. Sekitar tiga puluh lima menit kemudian, kami tiba di sebuah bangunan dengan nuansa pastel yang tampak seperti sebuah salon kecantikan.

"Salon kecantikan?", tanyaku.

"Ya. Kita akan bersenang-senang dan mempersiapkan senjatamu untuk berperang besok. Ayo!", Nina mengajakku turun dari mobilnya, menuju ke dalam salon kecantikan yang tidak terlalu ramai tersebut. Sepertinya ini adalah salon kecantikan langganan Nina. Sebab, begitu ia masuk ke dalamnya, para pegawai salon tampak akrab dan mengenalnya.

"Percayalah, Nora! Kamu akan menikmati pengalaman yang luar biasa disini."

"Hmm, baiklah.", jawabku, sekali lagi pasrah.

Para petugas salon memberiku berbagai treatment sesuai permintaan Nina. Mulai dari perawatan rambut, perawatan wajah, manicure & pedicure, massage, body mask hingga waxing. Jujur, aku belum pernah mendapatkan treatment selengkap ini. Dan kalau bukan karena menuruti rencana Nina, mungkin aku tidak akan pernah melakukakannya.

"Bagaimana perasaanmu, Nora?", tanya Nina, begitu aku menyelesaikan semua treatment di salon tersebut.

"Luar biasa. Trims, Nina.", kataku. Sejujurnya, mendapatkan treatment seperti ini memang rasanya begitu menyenangkan. Ini pengalaman pertamaku, dan aku sangat menikmatinya. Berkat Nina.

"Biar aku saja, Nina!", sahutku, saat Nina hendak menyelesaikan pembayaran di kasir.

"Tidak perlu, Nora. Sebagai imbalannya, berjanjilah padaku kalau kamu akan menikmati pertemuanmu dengan Nick besok.", kata Nina sambil tersenyum.

"Trims, Nina."

Aku tidak tahu apa yang membuat Nina tampak sangat bersemangat untuk pertemuanku dengan Nick besok. Entah ia memilki semacam alasan tertentu. Atau ia memang teman yang baik saja. Mungkin ia ingin mempertemukanku dengan seorang pria yang menurut penilaiannya baik, yang akan membuatku merasa nyaman dan senang. Mungkin.

"Aku penasaran, apa yang membuatmu sangat mengagumi pria bernama Nick itu, Nina? Ya, selain wajahnya yang tampan dan otaknya yang brilian.", tanyaku, saat kami sedang dalam perjalanan pulang.

Nina tampak merubah ekspresi wajahnya yang semua ceria menjadi sedikit sendu. Ia menghela nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku.

"Nick adalah pria yang sangat baik, Nora. Dulu, di tahun pertamaku berkuliah, aku mengalami hal yang sangat buruk dalam hidupku. Kedua orang tuaku bercerai. Bahkan aku menyaksikan Ayah menampar dan memaki Ibu dalam keadaan mabuk, dengan mata kepalaku sendiri. Dan, Ayah juga memukulku saat aku mencoba membela Ibu malam itu. Malam itu duniaku rasanya runtuh. Aku pergi dari rumah, mencoba melarikan diri dari kenyataan menyakitkan yang baru saja kualami. Tanpa sadar, aku hendak tertabrak bus kota karena menyebrang jalan dengan keadaan kacau dan melamun. Beruntung, seorang pria datang menyelamatkanku. Dia menenangkanku, mendengarkan semua ceritaku dan menguatkanku. Pria itu adalah Nick. Aku masih ingat betul betapa hangat dan lembut sikapnya malam itu. Dia seperti seorang malaikat yang Tuhan kirim untuk menyelamatkanku malam itu. Dan, sejak saat itulah aku sangat mengaguminya.", jelas Nina dengan senyuman getir terlukis di wajahnya.

"Aku ikut prihatin, Nina. Maaf karena sudah membuatmu mengingat kenangan pahit itu.", sesalku. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat Nina kembali mengingat kenangan buruk dalam hidupnya. Aku tahu pasti berat sekali baginya melewati semua itu.

Aku membelai lembut bahu Nina, berusaha menguatkannya. "Mulai sekarang, kamu bisa berbagi apapun denganku, Nina. Jangan pernah merasa sendirian lagi. Aku ada disini, jika kamu membutuhkan seseorang untuk berbagi.", kataku.

Aku tahu Nina pasti membutuhkan seseorang untuk bersandar, berbagi dan menjadi penyemangat di saat kenangan pahit itu kembali membuatnya terpuruk. Aku tahu betul, karena aku juga pernah berada di posisinya. Dan saat itu Jenny datang untuk membantuku melewati semua itu. Jadi, aku akan berusaha melakukan hal yang sama untuk Nina.

"Trims, Nora!", seru Nina, menatapku singkat sambil tersenyum kecil, dan aku membalasnya dengan senyuman hangat yang mungkin bisa membuatnya tenang. "Tapi, setidaknya saat ini aku ikut bahagia melihat Ibu kembali menemukan kebahagiaannya bersama Ayah Tiriku. Itu adalah salah satu hal yang bisa membuatku kuat hingga saat ini.", lanjutnya.

"Senang mendengarnya, Nina! Ibumu sudah kembali menemukan kebahagiaannya. Itu artinya kamu juga harus melupakan kenangan buruk itu dan menemukan kebahagiaanmu sendiri."

"Ya. Aku juga berharap akan menemukan kebahagiaanku suatu saat nanti, Nora."

"Aku yakin, kamu akan segera menemukannya, Nina."

"Semoga saja.", balasnya, lalu berusaha mengganti topik pembicaran diantara kami.

Nina mengakhiri obrolan kami tentang kenangan buruknya. Mungkin ia belum siap untuk mengungkitnya lagi. Mengungkit yang artinya mengingatnya kembali. Dan, aku tidak akan memaksanya untuk bercerita. Sebab, aku sendiri belum siap untuk menceritakan tentang kenangan masa laluku pada Nina. Aku percaya, akan ada masanya untuk kami saling berbagi kenangan masa lalu yang tidak menyenangkan itu.

"Nora, aku tidak bermaksud untuk memaksamu menyukai Nick. Meskipun, aku sudah memberitahumu pria seperti apa dirinya. Aku hanya ingin kamu mengenalnya dengan caramu sendiri, lalu memutuskan untuk menyukainya atau tidak. Itu keputusanmu, aku tidak akan ikut campur."

"Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu, Nina. Dan, aku sudah setuju dengan rencanamu."

"Nick adalah pria yang sangat baik. Aku hanya berharap kamu bisa mengenalnya, Nora."

"Ya, Nina. Besok aku akan bertemu dan mengenalnya. Trims."

Kami tiba di rumahku sekitar pukul dua siang. Nina turun dari mobilnya untuk menyapa dan berpamitan pada Ibu, lalu kembali melajukan mobilnya menuju rumahnya. Sebelum pergi, ia berpesan padaku agar tidur lebih awal malam ini. Sebab, katanya besok kami akan benar-benar bersenang-senang mulai siang hingga petang. Dan, karena aku sudah menuntaskan kisah hubungan Tate dan Miles, jadi aku tidak punya alasan lagi untuk tidur larut malam.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!