Tak lama kemudian, para pelayan kembali dengan nampan perak berisi sarapan. Roti panggang dengan selai mawar, soufflé telur yang mengembang sempurna, sosis asap, dan semangkuk buah-buahan segar yang dipotong dengan presisi artistik. Air liur Luna hampir menetes.
Ia makan sambil bersandar di tumpukan bantal empuk, menikmati kemewahan yang tak pernah ia bayangkan. Namun, hal yang paling menakjubkan adalah bagaimana tubuh ini bergerak.
Tanpa sadar, jari kelingkingnya terangkat sedikit saat memegang cangkir teh. Pisau di tangan kanannya memotong soufflé dengan keanggunan yang tidak pernah ia miliki seumur hidupnya sebagai Aluna.
Para pelayan di sekitarnya tampak tenang, tidak menunjukkan tanda-tanda keanehan mengenai sikapnya.
"Syukurlah," batin Luna lega. "Artinya aku tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan. Refleks tubuh Luna Velmiran ini benar-benar penyelamat."
Sambil menikmati setiap gigitan, pikirannya mulai berpacu, menyusun rencana. Dunia ini berasal dari game Iselyn dan Delapan Pedang, sebuah game dengan dua puluh kemungkinan rute cerita yang berbeda.
Pikirannya berpacu. Dua puluh rute. Itu artinya ada dua puluh set event dan item unik. Jika Iselyn di dunia ini hanya bisa mengambil satu jalur, maka sembilan belas jalur lainnya... adalah ladang harta karun yang tak terjamah!
Senyum licik terukir di bibirnya. Ia bisa membayangkan harta luar biasa dari game dan keberuntungan yang tersembunyi. "Semuanya bisa jadi milikku! Haha! Haha!"
Namun, sebelum berburu harta karun, ia harus tahu dulu rute mana yang akan diambil Iselyn. Berita baiknya, semua rute di game dimulai dari satu tempat yang sama: hari pertama di Akademi Sihir Kekaisaran. Akademi Trisula.
Dengan santai, ia menoleh pada pelayan pribadinya. "Margaret, omong-omong, kapan pendaftaran akademi dimulai?"
Margaret, yang sedang merapikan lipatan selimut, tampak terkejut. "Tapi... Nona Muda? Bukankah Nona bilang lebih baik mati daripada masuk ke tempat membosankan itu? Duke sampai menghukum Nona tidak boleh keluar dari mansion selama sebulan..."
Luna membeku.
"Sial! Aku lupa bagian ini!"
Benar juga. Karakter Luna Velmiran di game memang baru muncul di paruh kedua cerita, setelah insiden penyerangan di pesta istana. Alasannya... Sudah sangat jelas. Luna yang terlalu dimanja mana sudi membuang semua prestise hanya untuk belajar mandiri.
Luna mengepalkan tangannya di bawah selimut. Ia tidak bisa diam saja. Jika ia ingin har— menyelamatkan Riven, ia harus masuk ke akademi dan bergerak lebih cepat.
Tekadnya sudah bulat. "Margaret," ujarnya dengan nada yang lebih tegas, membuat sang pelayan sedikit terlonjak. "Sampaikan pada Ayah. Aku ingin bertemu. Sekarang. Bantu aku bersiap."
Persiapan menuju pertempuran pertamanya dimulai.
Melawan Duke?
Salah.
Lawannya adalah ritual berpakaian ala bangsawan.
Sebuah... gaun.
Semuanya baik-baik saja saat chemise katun yang ringan berkuasa, tetapi... Semua berubah saat sang tiran bernama korset datang.
Dua orang pelayan mulai menarik talinya dari belakang, napas Luna tercekat. Setiap tarikan terasa seperti meremas organ dalamnya tanpa ampun. "Gila, bagaimana para nona bangsawan bisa bernapas dengan benda ini!?" jeritnya dalam hati.
Tekanan di pinggangnya ini terasa lebih menyakitkan daripada omelan bosnya di kehidupan lama. Namun, anehnya, rasa sakit yang tajam dan nyata ini justru membuatnya semakin sadar. Rasa sakit ini adalah bukti.
Bukti bahwa ia jauh dari yang namanya sedang bermimpi.
Setelah korset terpasang kencang, beberapa lapis petticoat dikenakan untuk memberi volume, diikuti gaun utama berwarna merah gelap dengan hiasan renda mawar putih. Anting rubi dan kalung mutiara sederhana melengkapi penampilannya.
Luna menatap pantulannya di cermin. Yang berdiri di sana bukanlah Aluna si wanita karir yang lelah. Melainkan seorang putri bangsawan yang sesungguhnya. Cantik, kuat, dan... sedikit mengintimidasi.
Para pelayan berdecak kagum. "Nona Muda terlihat sangat mempesona."
Luna tersenyum tipis. "Antarkan aku ke kantor Ayah."
Perjalanan menuju sayap barat mansion terasa menegangkan. Luna berjalan menyusuri koridor panjang yang lantainya dilapisi karpet tebal berwarna merah marun.
Di dinding, potret-potret leluhur keluarga Velmiran dalam bingkai emas menatapnya dengan tatapan abadi, seolah menilai apakah ia pantas menyandang nama mereka.
Setiap kali berpapasan dengan pelayan, mereka akan berhenti dan menunduk dalam-dalam, memberikan penghormatan tanpa suara. Ini sangat berbeda dari kehidupannya dulu, di mana ia hanyalah sosok anonim di tengah keramaian kota. "Keren gila...."
Saat pintu ganda yang menjulang tinggi di hadapannya terbuka, pemandangan di dalamnya benar-benar meleset dari ekspektasinya.
Ia membayangkan kantor bangsawan yang kecil, gelap, dan penuh tumpukan perkamen tua.
Namun, yang ia masuki lebih mirip aula perusahaan modern. Ruangan itu luas dengan langit-langit tinggi, bahkan memiliki lantai dua dan tiga.
Bukan tumpukan dokumen berdebu, melainkan suara puluhan pena yang berdecit serempak, decitan mesin hitung mekanis, dan gumaman para staf yang bekerja dengan efisiensi luar biasa.
Luna berjalan dengan anggun, berhenti beberapa langkah di depan meja besar ayahnya. Menaruh satu tangan di dada dan tangan lainnya sedikit mengangkat gaunnya, ia membungkuk dengan sempurna.
"Luna Velmiran izin menghadap Ayah."
Duke Arslan Velmiran, pria paruh baya berbadan kekar, mendongak. Matanya yang tajam langsung berbinar melihat putri kesayangannya, tetapi ia segera memasang wajah serius.
"Ehem... Apa menurutmu peringatan Ayah hanya kata-kata kosong? Kamu masih dalam masa hukuman. Untuk apa kamu kemari?"
Luna tetap tenang. "Saya datang untuk memberitahu Ayah bahwa Saya telah berubah pikiran. Saya bersedia masuk ke akademi."
Keheningan melanda. Duke Arslan tampak terkejut, lalu raut wajahnya melembut menjadi senyum bangga. "Bagus! Ayah tahu putri Ayah akan membuat keputusan yang tepat!" Ia hendak berdiri, tetapi kemudian berhenti. Matanya menyipit curiga.
"Tapi... ini tidak seperti dirimu. Apa yang membuatmu tiba-tiba berubah pikiran?"
Luna sudah menduga pertanyaan ini. "Aku harus memberikan alasan yang masuk akal bagi seorang gadis manja," pikirnya cepat. "Saya... Saya hanya bosan, Ayah. Mendekam di kamar selama seminggu ini membuatku sadar, mungkin bersosialisasi di akademi tidak seburuk itu."
Alasan itu terdengar cukup dangkal dan khas Luna Velmiran. Duke Arslan mengangguk, tampaknya puas.
"Baiklah." Duke tersenyum kembali. "Apa ada hadiah yang kamu inginkan?"
Luna tersenyum. "Begitu doang? Terus di kasih hadiah?" Luna tidak bisa melewatkan kesempatan ini. "Saya ingin uang saku dalam jumlah besar."
Duke Arslan tertawa kecil, merasa geli. "Uang saku? Putriku, untuk apa? Katakan saja namamu di toko manapun di ibu kota, dan semua isinya bisa kau bawa pulang. Tagihannya akan sampai ke meja Ayah."
"Gila... Seriusan? Aku bisa melakukan hal ikonik 'borong semua toko ini' seperti di novel-novel miliarder itu?" batin Aluna histeris.
"Saya tidak ingin membeli gaun atau perhiasan, Ayah," jawabnya dengan suara terkendali. "Saya ingin membeli artefak dan membeli sesuatu yang terlihat berharga di pasar barang antik dan pelelangan. Untuk itu, Saya memerlukan uang tunai sendiri."
Alasan itu membuat Duke terdiam. Ia menatap putrinya, melihat kilat ambisi yang baru di matanya. Ia lalu bersandar dan mulai mengetukkan jarinya ke meja mahoni. Hening. Semua pekerja seoalah memahami isyarat itu dan diam. Satu-satunya suara di ruangan itu adalah ketukan ritmis yang terasa seperti dentuman palu godam di dada Luna.
Akhirnya, ketukan itu berhenti. Duke Arslan menatap lurus ke mata putrinya.
"Baiklah," katanya dengan nada final. "Permintaanmu disetujui. Nakun, Ayah juga punya satu syarat. Ikut Ayah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments