Buku Harian Yang Tak Perna Selesai
Takut Kehilangan
Setelah malam yang penuh dengan sentuhan dan rahasia itu, Gabriella seharusnya merasa bahagia. Namun yang datang justru kecemasan. Semakin dekat ia dengan Corne, semakin besar rasa takutnya untuk kehilangan. Dan ketakutan itu diam-diam mulai menggerogoti dirinya.
GabrieLLa
Kamu udah pulang?
GabrieLLa
Dia nggak curiga?
Corne
Nggak. Dia percaya sama aku.
Hanya satu kata, tapi Gabriella merasakannya menekan dadanya. Dia percaya sama aku. Kalimat itu seperti pisau. Ada bagian dalam dirinya yang marah, cemburu, bahkan iri, karena kepercayaan itu bukan miliknya.
GabrieLLa
Corne, kalau suatu hari dia tahu tentang kita… kamu bakal milih siapa?
Corne
Jangan mikirin itu dulu.
GabrieLLa
Aku nggak bisa berhenti mikirin, Corne. Aku takut.
GabrieLLa
Takut kamu ninggalin aku.
Ada jeda lama sebelum Corne membalas. Jeda yang membuat Gabriella menahan napas, menatap layar dengan hati yang semakin tidak tenang.
Corne
Gabs, kamu tahu kan… aku sayang sama kamu.
GabrieLLa
Tapi rasa sayang nggak cukup buat bikin kamu milih aku.
Air mata Gabriella jatuh tanpa ia sadari. Ia benci pada dirinya sendiri, karena semakin hari ia semakin terikat. Ia tahu cinta ini salah, tapi ia juga tak sanggup lagi melepaskannya.
GabrieLLa
Aku nggak mau cuma jadi pilihan kedua, Corne.
Corne
Kamu bukan pilihan kedua. Kamu bagian yang lain dari aku.
GabrieLLa
Tapi bukan yang utama.
Diam lagi. Diam yang menusuk. Diam yang memberi jawaban tanpa kata-kata. Gabriella menggenggam ponselnya erat, seakan dari situ ia bisa menarik Corne lebih dekat.
GabrieLLa
Aku takut banget kehilangan kamu. Sampai aku nggak bisa tidur. Sampai aku mikir, gimana kalau besok kamu nggak nyari aku lagi?
Corne
Aku selalu bakal nyari kamu.
GabrieLLa
Tapi kamu juga selalu bakal pulang ke dia.
Corne
… Gabs, jangan bikin aku tambah bingung.
Gabriella menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ada sesuatu yang terasa hampa sekaligus penuh di dadanya. Ia ingin memeluk Corne, tapi sekaligus ingin marah. Ia ingin dimiliki, tapi tahu dirinya tak pernah bisa benar-benar jadi milik.
GabrieLLa
Aku harus jujur ya… aku mulai benci lihat kamu bahagia sama dia.
GabrieLLa
Aku nggak bisa tahan. Aku pengen kamu jadi milik aku sepenuhnya.
Corne
Kalau aku bilang aku nggak bisa?
GabrieLLa
Aku tetep nggak bisa berhenti sayang sama kamu.
Itulah inti dari segalanya. Cinta ini membuat Gabriella berubah menjadi seseorang yang ia sendiri hampir tak kenali. Posesif, rapuh, cemburu, takut kehilangan. Ia bukan lagi perempuan yang tenang; ia kini perempuan yang digoncang oleh rasa yang terlalu dalam.
GabrieLLa
Corne, kamu ngerti nggak sih? Aku udah nggak bisa balik jadi aku yang dulu.
GabrieLLa
Terus? Kamu mau apa?
Corne
Aku mau kamu tetap ada di sini, sama aku, meski caranya salah.
Itu bukan jawaban yang melegakan, tapi justru membuat Gabriella semakin terikat. Ia tahu dirinya seperti boneka yang diikat benang: tak bisa lari, meski sadar akan jatuh.
Malam itu, sebelum tidur, Gabriella menulis di buku hariannya:
"Ketakutan terbesar bukanlah kehilangan cinta, tapi kehilangan diriku sendiri di dalam cinta ini. Aku terlalu dalam jatuh, dan aku tidak tahu apakah aku masih bisa kembali. Corne adalah candu, dan aku adalah pecandu yang rela hancur asalkan tetap bersamanya.
Menjelang dini hari – 01.03 WITA....
GabrieLLa
Corne, janji ya… kalau aku tiba-tiba hilang, kamu bakal nyari aku.
Corne
Iya, Gabs. Aku janji.
GabrieLLa
Oke. Aku simpan janji itu. Kalau suatu hari aku nggak ada, aku akan tunggu kamu datang.
Gabriella memejamkan mata dengan tangis yang belum kering. Janji itu terasa manis sekaligus pahit. Ia tahu janji bisa jadi hanya kata, tapi di situlah ia menaruh seluruh harapannya. Harapan yang membuatnya bertahan, meski takut kehilangan setiap detik.
Comments