Buku Harian Yang Tak Perna Selesai
Saat Dunia Milik Kita
Ada malam-malam tertentu ketika kata-kata dalam chat tak lagi cukup. Ketika rindu menuntut sesuatu yang lebih nyata dari sekadar notifikasi ponsel. Malam itu, Gabriella dan Corne memilih diam-diam bertemu. Sebuah kesalahan yang sudah mereka tahu, tapi tetap mereka lakukan.
Corne
Aku bisa keluar sebentar. Kamu bisa ketemu?
GabrieLLa
Sekarang? Malam ini?
Corne
Iya. Aku butuh lihat kamu.
GabrieLLa
Kamu yakin aman?
Corne
Nggak pernah ada yang benar-benar aman, Gabs. Tapi aku nggak peduli. Aku cuma pengen kamu.
Hati Gabriella berdebar. Tangannya gemetar saat mengetik jawaban. Ia tahu pertemuan itu akan semakin menjerat mereka berdua, tapi rasa ingin bertemu lebih kuat dari rasa takut.
GabrieLLa
Oke. Katakan di mana.
Corne
Tempat biasa. Aku tunggu.
Dan akhirnya, di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, mereka bertemu. Mata Gabriella langsung menemukan tatapan Corne di antara keramaian. Ada sinar yang selalu sama: hangat sekaligus berbahaya. Ia duduk di hadapannya, mencoba menenangkan degup jantung yang seperti berlari.
Corne menyandarkan siku di meja, menatap Gabriella...
Corne
Kamu cantik malam ini.
Gabriella tersipu, tapi menunduk..
GabrieLLa
Jangan bilang gitu. Nanti aku makin susah lepas ..
Corne
Memang aku pengen kamu susah lepas.
Kata-kata itu membuat Gabriella kehilangan kendali. Mereka bicara panjang, tertawa pelan, lalu diam ketika dunia di sekitar tak lagi terdengar. Hanya ada mereka berdua.
Setelah kafe sepi, mereka berjalan ke mobil Corne. Tak ada tujuan jelas, hanya mengikuti jalan-jalan kota yang mulai tidur. Hingga akhirnya mobil berhenti di tempat sunyi, sebuah parkiran kosong yang diterangi lampu jalan redup.
GabrieLLa
Corne… ini gila...
Corne mendekat, suara berat...
Corne
Ya, ini gila. Tapi aku nggak mau berhenti.
Tatapan mereka bertemu. Dunia seakan runtuh di sekitar mereka. Corne meraih wajah Gabriella, dan tanpa banyak kata, bibir mereka bersatu. Hangat, terburu-buru, penuh rindu yang ditahan terlalu lama. Gabriella tahu, di pelukan itu, ia menemukan rumah yang tak boleh ia miliki.
Gabriella dalam pelukan...
GabrieLLa
Kalau aku terus kayak gini, aku nggak akan bisa balik lagi.
Corne
Jangan balik. Tetap di sini, sama aku.
Kata-kata itu hanya ilusi. Mereka tahu esok akan kembali pada kenyataan masing-masing. Tapi malam ini, mereka memilih berpura-pura dunia hanyalah milik mereka berdua. Tangan Gabriella menggenggam erat baju Corne, seolah takut ia menghilang.
Waktu berjalan cepat, seperti mencuri. Setiap detik jadi sesuatu yang terlalu berharga untuk dilepas. Mereka tidak hanya berbagi kata, tapi juga kehangatan, sentuhan, dan kejujuran yang tak bisa mereka ucapkan di hadapan siapa pun.
Gabriella setelah lama terdiam, suara bergetar...
GabrieLLa
Kalau semua ini salah… kenapa rasanya begitu benar?
Corne
Karena hati kita nggak bisa bohong.
GabrieLLa
Tapi hati juga bisa jadi pengkhianat.
Corne
Kalau itu berarti aku pengkhianat, aku rela.
Dirinya larut dalam pelukan Corne. Ia sadar, ia sedang menulis bab paling berbahaya dalam catatan hariannya. Bab yang tak boleh dibaca siapa pun. Namun di sisi lain, bab inilah yang membuatnya merasa hidup lebih dari sebelumnya.
Corne menatap Gabriella dengan mata sendu...
Corne
Besok aku harus pulang ke dia.
Gabriella menahan air mata...
GabrieLLa
Aku tahu. Dan aku juga harus pura-pura baik-baik aja sama dia yang ada di rumahku.
Corne
Aku benci pura-pura.
GabrieLLa
Tapi itu harga dari cinta ini, Corne. Cinta kita nggak akan pernah diakui.
Malam semakin larut. Mereka tahu waktu hampir habis. Tapi justru karena itulah, detik-detik itu semakin intim, semakin melekat. Gabriella menatap wajah Corne lama-lama, mencoba menghafal setiap garisnya, setiap senyum samar yang mungkin esok hanya tinggal bayangan.
GabrieLLa
Janji satu hal, Corne.
GabrieLLa
Kalau suatu hari aku nggak kuat lagi, jangan salahin aku kalau aku pergi.
Corne menggenggam tangan Gabriella erat...
Corne
Kalau kamu pergi, aku yang bakal nyari kamu.
Gabriella tahu itu janji kosong. Tapi hatinya tetap menggenggam erat kalimat itu, seolah benar-benar akan terjadi. Ia menutup malam itu dengan tangis yang ia sembunyikan di dada Corne.
Dan ketika akhirnya ia kembali ke rumah, membuka buku lusuh di meja, ia menulis:
"Aku sudah melewati garis yang tak pernah boleh kulewati. Aku sudah mencicipi kebahagiaan yang bukan milikku. Dan meski aku tahu ini akan menghancurkanku, aku tetap ingin mengulanginya lagi. Karena bersamanya, untuk sesaat, dunia benar-benar terasa milik kami."
Comments