Buku Harian Yang Tak Perna Selesai
Cinta Dalam Diam
Malam itu, setelah menutup percakapan dengan Willie, Gabriella masih terjaga. Ia mencoba menulis, tapi setiap kata yang ia coretkan selalu berbelok ke satu nama: Corne. Nama yang seharusnya tidak memenuhi catatan hariannya, nama yang seharusnya ia hapus dari pikirannya. Nama yang terus membayangi pikirannya. Nama yang ia simpan rapat-rapat, bahkan dari Willie.
Namun begitulah cinta yang tak diundang: ia datang tiba-tiba, lalu diam-diam mengikat hati. Gabriella tahu ini salah. Ia punya pasangan. Corne juga. Tapi justru kesalahan itu yang membuatnya makin sulit dilepaskan.
Dan di sinilah semuanya bermula. Sebuah percakapan yang tak pernah boleh diketahui dunia.
Corne
Belum juga. Lagi kepikiran banyak hal.
GabrieLLa
Tentang pasanganmu?
Corne
Hehe… iya. Tentang dia, tentang kita juga.
Gabriella menatap layar ponselnya dengan jantung yang berdebar cepat. Setiap kali Corne menyebut “tentang kita,” ada bagian dari dirinya yang sekaligus bahagia dan hancur. Bahagia karena merasa dipilih, hancur karena tahu dirinya bukan satu-satunya.
Corne
Kita nggak seharusnya gini...
Corne
Kamu punya dia dan juga terikat, aku juga punya orang lain...
GabrieLLa
Tapi tetap aja, Corne. Kamu bikin aku nggak bisa berpaling.
Gabriella memejamkan mata. Kata-kata itu menusuk sekaligus menghangatkan. Ia tahu Corne benar-benar mencintai pasangannya, berbeda dengan dirinya yang hidup dalam ikatan kosong. Namun di sela kebahagiaan orang lain itu, Gabriella menemukan ruang kecil untuk merasakan dicintai—meski dalam sembunyi.
GabrieLLa
Kadang aku iri sama dia.
GabrieLLa
Karena dia punya kamu sepenuhnya, sementara aku cuma punya potongan waktumu.
Corne
Jangan bilang gitu. Kamu penting buat aku.
GabrieLLa
Tapi bukan yang utama..
Hening sejenak. Gabriella bisa merasakan jeda panjang dari Corne. Jeda itu terasa seperti pengakuan diam-diam bahwa memang benar: ia bukan prioritas. Tapi entah kenapa, meski tahu, Gabriella tetap bertahan.
Corne
Aku nggak bisa janji bakal milih kamu, Gabs. Tapi aku juga nggak bisa berhenti nyari kamu.
Corne
Karena cuma sama kamu aku bisa jadi diriku sendiri.
Gabriella terisak pelan. Ia menuliskan kata-kata itu di halaman buku hariannya malam itu: “Aku bukan rumah utamanya, tapi aku adalah tempat ia singgah. Dan entah kenapa, aku rela.”
GabrieLLa
Corne, kamu tahu kan aku sayang banget sama kamu?
GabrieLLa
Tapi rasa ini salah.
Corne
Iya. Salah… tapi indah.
Kata itu menggema di kepala Gabriella: salah tapi indah.
Bukankah memang begitu? Seperti bunga liar yang tumbuh di tempat yang tak seharusnya, namun tetap merekah dengan cantik. Hubungan ini salah, tapi justru di sanalah kejujuran hatinya bertemu.
GabrieLLa
Aku takut, Corne. Takut kalau suatu hari aku kehilangan kamu.
Corne
Jangan pikir sejauh itu dulu. Nikmati aja yang kita punya sekarang.
GabrieLLa
Tapi aku bukan tipe orang yang bisa nikmatin tanpa mikir masa depan.
Corne
Kalau gitu… biar aku yang mikir masa depan, kamu cukup nemenin aku hari ini.
Gabriella terdiam lama. Ia ingin protes, ingin marah, ingin berkata bahwa ia pantas lebih. Tapi bibirnya kelu, jari-jarinya kaku. Karena di balik semua luka, ia tetap memilih berada di sisi Corne, meski hanya dalam diam.
GabrieLLa
Kamu tahu nggak, Corne? Aku udah lama nggak merasa hidup. Sama pasanganku, aku cuma jadi bayangan. Tapi sama kamu… aku jadi nyata...
Corne
Aku juga ngerasa gitu, Gabs. Kamu bikin aku bisa jujur sama diri sendiri.
GabrieLLa
Kalau aku bukan siapa-siapa, kenapa kamu tetep balik ke aku?
Corne
Karena kamu rumah yang nggak pernah aku ceritain ke siapa pun.
Malam makin larut. Kata-kata itu terpatri dalam ingatan Gabriella. Rumah. Betapa ironisnya: ia disebut rumah, padahal dirinya tak bisa dimiliki. Namun justru di situlah cinta dalam diam tumbuh. Diam bukan karena tak ada suara, tapi karena suara itu harus dikubur rapat, agar dunia tak mendengarnya.
GabrieLLa
Corne, kalau suatu hari aku hilang… kamu bakal nyari aku nggak?
Corne
Aku nggak mau mikirin kamu hilang. Tapi kalau itu terjadi, aku yakin aku nggak bakal berhenti nyari.
Corne
Meski ada siapa pun.
Air mata Gabriella menetes lagi. Antara haru dan sakit, antara ingin menggenggam dan harus melepaskan. Ia menutup chat itu dengan satu kalimat, sebelum terlalu larut dalam perasaan yang dilarang.
GabrieLLa
Selamat malam, Corne. Jangan mimpiin aku. Itu tugasnya dia.
Corne
Selamat malam, Gabs. Tapi kalau mimpiku bandel dan tetep nyari kamu, itu salah siapa?
Gabriella menutup ponselnya, lalu membuka buku harian. Ia menulis:
"Cinta ini memang tak boleh ada. Tapi ia tetap tumbuh, liar, di ruang-ruang yang sepi. Aku bukan pilihan utama, tapi aku adalah rahasia yang ia jaga. Dan mungkin… cinta dalam diam ini adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup."
Comments