Kenapa Aku Yang Dihukum ( Anak Pelakor)
Disaat pengunjung lain sibuk berbincang, bercanda dan selfi untuk diupload di sosial media, 4 orang yang berada privat room sebuah resto, justru sebaliknya. Mereka tengah sibuk membahas bisnis yang akan membawa keuntungan bagi perusahaan masing-masing. Fokus mereka tertuju pada laptop, bukan pada minuman atau pun snack di atas meja, hngga akhirnya, senyuman merekah di bibir mereka.
"Deal," Yusuf berdiri, diikuti yang lainnya. Menyalami Andra selaku perwakilan dari perusahaan yang akan kerjasama dengannya. Finally, kerjasama yang telah dia impikan sejak dulu tercapai juga.
"Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik," Pak Andra menepuk lengan Yusuf. "Senang bisa bekerjasama dengan anak muda penuh semangat, penuh aura positif seperti anda. Papa anda di Surga, pasti bangga punya penerus seperti anda."
Yusuf tersenyum kecut, bukan karena tak suka pujiannya, melainkan tak suka Papanya dikatakan berada di surga. "Bajingan itu ada di neraka," gumamnya dalam hati, telapak tangannya mengepal kual.
Isani, sekretaris Yusuf itu membereskan barang-barang mereka yang ada di atas meja sepeninggal Pak Andra. Setelah semua beres, duduk kembali, menyeruput lemonade pesanannya lalu mengecek ponsel. Senyumnya mengembang membaca sebuah pesan dari tambatan hati yang bilang sudah ada di luar, menunggunya.
"Dafa," tebak Yusuf, tersenyum miring, matanya fokus pada ponsel. Sekilas tadi, sempat melirik Isani yang sedang tersenyum.
"Saya pulang dulu ya, Pak, Dafa sudah menunggu di luar," Isani memasukkan ponsel ke dalam tas.
"Dia bukan laki-laki yang baik."
Sani membuang nafas kasar, tersenyum simpul lalu berdiri. "Mau sampai kapan sih, kamu ngejelekin Dafa terus?" tak lagi menggunakan bahasa formal saat Yusuf sudah mulai membahas hal pribadi. "Gak capek apa, memfitnah calon suamiku?"
Yusuf menghela nafas panjang, meletakkan ponsel ke atas meja, menoleh ke arah Sani yang terlihat kesal. "Aku gak akan capek sampai kamu sadar kalau aku lebih baik daripada si berengsek itu."
Sani melongo, menutup mulut dengan telapak tangan lalu tertawa. "Heran deh!" ia geleng-geleng. "Ratusan atau bahkan ribuan cewek katanya naksir kamu, kenapa masih aja ngejar cewek yang udah jadi milik laki-laki lain."
"Milik?" ganti Yusuf yang tertawa. "Belum nikah, saranku jangan terburu-buru menyebut milik," jemarinya membentuk tanda kutip. "Takutnya gak jadi," tersenyum penuh arti.
"Persiapan pernikahanku dan Dafa sudah 90 persen. Hanya tinggal fitting baju pengantin ama nyebar undangan."
Lagi-lagi Yusuf tersenyum melihat begitu percaya dirinya Isani. "Yang sudah 99 persen, tinggal ijab saja, ada yang batal, apalagi masih 90 persen."
Sani menghentakkan kaki ke lantai, membuang nafas kasar sambil melotot pada Yusuf. "Aku sudah mengajukan resign ke HR. Tiga hari sebelum nikah, aku udah resmi berhenti kerja."
"Mau jadi pengangguran? Mau jadi istri yang gak bisa nyari uang, jadi beban suami?"
Mulut Sani terbuka lebar, kesal dengan ledekan Yusuf. Ada ya, laki-laki yang bilang kalau istri itu beban? Tangannya terangkat, ingin sekali mencakar-cakar muka menyebalkan di depannya itu, sayangnya ia masih harus menahan diri karena laki-laki itu atasannya.
"Dafa gak ngizinin kamu kerja setelah nikah?" Yusuf tersenyum miring. "Alasan saja dia. Aslinya dia cemburu sama aku. Ya gimana lagi, aku lebih segalanya dari dia."
"Permisi!" Sani yang muak dengan kata-kata Yusuf, memilih pergi saja, tak mau Dafa menunggu terlalu lama.
Yusuf tersenyum miring, menatap punggung Isani yang kian menjauh. "Hanya aku yang boleh menikahi kamu Isani."
...----------------...
"Kamu makin kurus kayaknya, San," Alea menarik sedikit bagian pinggang kebaya yang dicoba Isani. Bulan lalu rasanya dia sudah tepat saat mengukur, namun entahlah, sekarang mendadak saja jadi kurang pas, kebesaran.
"Gimana gak makin kurus Le, semua persiapan pernikahan aku dan Dafa semua yang urus," melihat ke arah Dafa yang duduk di sofa, sejak tadi tampak sibuk dengan ponsel, padahal ia berharap laki-laki itu akan memberikan sedikit komentar terkait kebaya yang dicobanya.
"Yang sabar, San. Semoga saja setelah nikah, kamu bakalan lebih bahagia."
"Aamiin."
Ponsel di tangan Dafa berdering, mengundang tatapan reflek dari Isani maupun Alea. Laki-laki yang tampak kikuk tersebut, meminta izin keluar untuk menjawab panggilan.
"Undangan fix cuma 100 orang, San?" Alea kembali fokus menandai bagian-bagian kebaya yang perlu di vermak.
"Iyalah. Konsepnyakan intimate wedding. Habis akad langsung resepsi kecil-kecilan."
"Papa kamu beneran gak bantu sedikitpun?"
"Ada sih bantu, tapi ya gitu, sembunyi-sembunyi, takut Tante Farah tahu."
Alea menghela nafas berat, mengusap lengan Sani. "Sabar ya, San. Sekali lagi aku cuma bisa support kamu dengan doa. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan setelah menikah. Kamu bakal bener-bener bebas dari ibu tiri dan saudara tiri kamu yang toxic itu."
Isani tersenyum kecut. "Aku gak bisa seratus persen nyalahin mereka, Le. Aku bisa faham kenapa mereka seperti itu sama aku," matanya mulai berkaca-kaca, teringat perlakuan Tante Farah dan Yumi padanya.
"Sabar, sabar," Alea memeluk Sani, mengusap punggungnya. "InsyaAllah setelah ini, kamu akan bahagia, punya keluarga baru, kehidupan baru."
"Aamiin," Isani menyeka sudut matanya yang berair.
Mereka terus mengobrol, membicarakan tentang persiapan pernikahan Sani yang sudah hampir 100 persen.
"Dafa lama banget sih, dia kan juga harus nyobain jasnya," Alea melihat ke arah pintu.
"Apa aku susul aja ya," Sani bangkit dari duduknya, melihat ke arah pintu lalu melangkah kesana. Senyumnya mengembang melihat punggung Dafa, pria itu telepon dengan seseorang di teras butik. Berjalan menghampirinya.
"Aku aja yang ngomong sama Sani. Please, kasih aku waktu. Aku harus nyari momen yang tepat." Dafa tampak gelisah, sebelah tangannya memijat pelipis.
"Mau ngomongin apa sih?"
Deg
Dafa terkejut mendapati Isani ada di belakangnya. "Sa-sayang," buru-buru mematikan telepon, memasukkan ke dalam kantong celana. "Se-sejak kapan kamu ada disini?" tanyanya gugup, wajahnya pucat pasi.
"Kamu kenapa sih, kok gugup gitu?" Sani mengernyit.
"Eng-enggak papa kok," Dafa berusaha menormalkan ekspresi.
"Kamu telepon sama siapa tadi?"
"Bukan siapa-siapa. Eh, udah selesai nyoba kebayanya?"
Sani merasa jika ada yang ditutup-tutupi darinya. Dafa juga kentara sekali sedang mengalihkan topik.
"Aku harus nyoba jas kan? Astaga, kenapa bisa lupa!" menepuk jidatnya lalu tersenyum. "Masuk yuk!" menarik tangan Sani kembali masuk ke dalam butik.
Meski merasa ada yang aneh dengan Dafa, Sani tak mau terlalu mempersalahkan. Mungkin Dafa hanya sedang lelah, sama sepertinya. Persiapan pernikahan ini memang menguras tenaga dan fikiran mereka.
...----------------...
"Mau mampir dulu?" tawar Sani saat mobil Dafa berhenti di depan gerbang rumahnya. Sekarang masih jam 8 malam, rasanya belum terlalu malam jika Dafa ingin mampir, ya, meskipun setiap laki-laki itu datang, ibu tirinya tak pernah bersikap baik padanya.
"Gak usah deh, aku capek banget hari ini."
"Ya udah, kalau gitu hati-hati. Love you."
"Love you too."
Isani keluar dari mobil Dafa, dengan langkah malas, masuk ke dalam rumah. Tak berpapasan dengan siapa pun saat menuju kamar, itu sudah anugerah baginya, karena hampir setiap kali bertemu ibu atau adik tirinya, yang ada selalu cek cok.
Sesampainya di kamar, Sani menjatuhkan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Rasa nyaman seketika menjalar ke seluruh tubuh. Hari ini selain sibuk dengan urusan kerjaan, dia masih harus lanjut ngurusin persiapan pernikahan. Capeknya dobel, tapi tak apa, dia bahagia karena akhirnya akan segera meninggalkan rumah ini. 20 tahun disini, bukan hal yang mudah, hari-harinya terasa berat, apalagi saat pertama kali tinggal disini. Tapi kini, akhirnya dia akan meninggalkan rumah ini. Ah.... rasanya sudah tidak sabar menunggu hari itu. Dia akan tinggal bersama Dafa, membangun keluarga kecil mereka. Baru membayangkan saja, rasanya sudah bahagia sekali, sampai tak sadar, ia tertidur dengan bibir tersenyum.
Brak
Sani terbangun karena kaget mendengar suara pintu kamarnya dibanting. Ia duduk, mengumpulkan nyawa sembari menatap Yumi yang baru masuk. "Bisa gak sih, kalau mau masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu. Kalau gak ngerti caranya ngetuk, minimal buka pelan-pelan," mendengus kesal. "Dasar Kakak gak ada akhlak," makinya dalam hati. Bukan tak berani maki langsung, tapi jika itu terjadi, masalah akan panjang, karena bukan hanya Yumi lawannya, melainkan Tante Farah juga. Dan endingnya, Papa akan marah-marah, bilang muak mendengar pertengkaran di rumah ini, dan ia yang harus selalu mengalah.
Puk.
Yumi melempar sesuatu ke muka Sani, tepat mengenai keningnya.
"Awww!" Sani mengiris, matanya reflek terpejam saat ada benda menimpuk dahinya, untung kecil dan ringan, jadi tak terlalu sakit.
"Lihat itu!" bentak Yumi, menunjuk sesuatu yang tadi dia lempar.
Sani menghela nafas panjang, berusaha untuk sabar. Ia menunduk, mengambil sesuatu yang terjatuh di dekat kakinya setelah menimpa kening. Sesuatu itu bentuknya mirip sekali dengan test pack. Meski tak pernah menyentuh yang namanya test pack, namun dia tahu benda tersebut karena sering muncul di film. Saat ia pungut, ternyata benar, itu adalah test pack. Namun yang membuat dia syok, adalah dua garis merah yang ada disana. "Ka-kamu hamil, Yum?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Rafly Rafly
pokoknya.. begitu ada notifikasi keluar.. apalagi othornya yg ini bikin karya Baru.. langsungg tak buntut tin..biar kamu nggak punya buntut bin ekor THOR..
soal nya selalu terngiang-ngiang kalimat keramat dan satu satunya pemilik nya hanya kamu..Maaaaaaaaak..kamu udah nongkrong saja di mari /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
2025-08-21
3
Felycia R. Fernandez
tespek...
gpp deh,biar gak dimadu...
yeeeeey... akhirnya kk othor kita punya novel baru lagi 🎉🎉🎉🎉🎉
dari kemaren udah bolak balik intip lho kk Yutantia,takut gak dapat notif nya dari NT 😆😆😆😆
2025-08-21
3
Kar Genjreng
ada yang baru muncul lagi ha ha kemana apa kabar baru muncul lagi hehehe,,😂😂
2025-08-20
2