NovelToon NovelToon

Kenapa Aku Yang Dihukum ( Anak Pelakor)

BAB 1

Disaat pengunjung lain sibuk berbincang, bercanda dan selfi untuk diupload di sosial media, 4 orang yang berada privat room sebuah resto, justru sebaliknya. Mereka tengah sibuk membahas bisnis yang akan membawa keuntungan bagi perusahaan masing-masing. Fokus mereka tertuju pada laptop, bukan pada minuman atau pun snack di atas meja, hngga akhirnya, senyuman merekah di bibir mereka.

"Deal," Yusuf berdiri, diikuti yang lainnya. Menyalami Andra selaku perwakilan dari perusahaan yang akan kerjasama dengannya. Finally, kerjasama yang telah dia impikan sejak dulu tercapai juga.

"Semoga kita bisa bekerjasama dengan baik," Pak Andra menepuk lengan Yusuf. "Senang bisa bekerjasama dengan anak muda penuh semangat, penuh aura positif seperti anda. Papa anda di Surga, pasti bangga punya penerus seperti anda."

Yusuf tersenyum kecut, bukan karena tak suka pujiannya, melainkan tak suka Papanya dikatakan berada di surga. "Bajingan itu ada di neraka," gumamnya dalam hati, telapak tangannya mengepal kual.

Isani, sekretaris Yusuf itu membereskan barang-barang mereka yang ada di atas meja sepeninggal Pak Andra. Setelah semua beres, duduk kembali, menyeruput lemonade pesanannya lalu mengecek ponsel. Senyumnya mengembang membaca sebuah pesan dari tambatan hati yang bilang sudah ada di luar, menunggunya.

"Dafa," tebak Yusuf, tersenyum miring, matanya fokus pada ponsel. Sekilas tadi, sempat melirik Isani yang sedang tersenyum.

"Saya pulang dulu ya, Pak, Dafa sudah menunggu di luar," Isani memasukkan ponsel ke dalam tas.

"Dia bukan laki-laki yang baik."

Sani membuang nafas kasar, tersenyum simpul lalu berdiri. "Mau sampai kapan sih, kamu ngejelekin Dafa terus?" tak lagi menggunakan bahasa formal saat Yusuf sudah mulai membahas hal pribadi. "Gak capek apa, memfitnah calon suamiku?"

Yusuf menghela nafas panjang, meletakkan ponsel ke atas meja, menoleh ke arah Sani yang terlihat kesal. "Aku gak akan capek sampai kamu sadar kalau aku lebih baik daripada si berengsek itu."

Sani melongo, menutup mulut dengan telapak tangan lalu tertawa. "Heran deh!" ia geleng-geleng. "Ratusan atau bahkan ribuan cewek katanya naksir kamu, kenapa masih aja ngejar cewek yang udah jadi milik laki-laki lain."

"Milik?" ganti Yusuf yang tertawa. "Belum nikah, saranku jangan terburu-buru menyebut milik," jemarinya membentuk tanda kutip. "Takutnya gak jadi," tersenyum penuh arti.

"Persiapan pernikahanku dan Dafa sudah 90 persen. Hanya tinggal fitting baju pengantin ama nyebar undangan."

Lagi-lagi Yusuf tersenyum melihat begitu percaya dirinya Isani. "Yang sudah 99 persen, tinggal ijab saja, ada yang batal, apalagi masih 90 persen."

Sani menghentakkan kaki ke lantai, membuang nafas kasar sambil melotot pada Yusuf. "Aku sudah mengajukan resign ke HR. Tiga hari sebelum nikah, aku udah resmi berhenti kerja."

"Mau jadi pengangguran? Mau jadi istri yang gak bisa nyari uang, jadi beban suami?"

Mulut Sani terbuka lebar, kesal dengan ledekan Yusuf. Ada ya, laki-laki yang bilang kalau istri itu beban? Tangannya terangkat, ingin sekali mencakar-cakar muka menyebalkan di depannya itu, sayangnya ia masih harus menahan diri karena laki-laki itu atasannya.

"Dafa gak ngizinin kamu kerja setelah nikah?" Yusuf tersenyum miring. "Alasan saja dia. Aslinya dia cemburu sama aku. Ya gimana lagi, aku lebih segalanya dari dia."

"Permisi!" Sani yang muak dengan kata-kata Yusuf, memilih pergi saja, tak mau Dafa menunggu terlalu lama.

Yusuf tersenyum miring, menatap punggung Isani yang kian menjauh. "Hanya aku yang boleh menikahi kamu Isani."

...----------------...

"Kamu makin kurus kayaknya, San," Alea menarik sedikit bagian pinggang kebaya yang dicoba Isani. Bulan lalu rasanya dia sudah tepat saat mengukur, namun entahlah, sekarang mendadak saja jadi kurang pas, kebesaran.

"Gimana gak makin kurus Le, semua persiapan pernikahan aku dan Dafa semua yang urus," melihat ke arah Dafa yang duduk di sofa, sejak tadi tampak sibuk dengan ponsel, padahal ia berharap laki-laki itu akan memberikan sedikit komentar terkait kebaya yang dicobanya.

"Yang sabar, San. Semoga saja setelah nikah, kamu bakalan lebih bahagia."

"Aamiin."

Ponsel di tangan Dafa berdering, mengundang tatapan reflek dari Isani maupun Alea. Laki-laki yang tampak kikuk tersebut, meminta izin keluar untuk menjawab panggilan.

"Undangan fix cuma 100 orang, San?" Alea kembali fokus menandai bagian-bagian kebaya yang perlu di vermak.

"Iyalah. Konsepnyakan intimate wedding. Habis akad langsung resepsi kecil-kecilan."

"Papa kamu beneran gak bantu sedikitpun?"

"Ada sih bantu, tapi ya gitu, sembunyi-sembunyi, takut Tante Farah tahu."

Alea menghela nafas berat, mengusap lengan Sani. "Sabar ya, San. Sekali lagi aku cuma bisa support kamu dengan doa. Semoga kamu mendapatkan kebahagiaan setelah menikah. Kamu bakal bener-bener bebas dari ibu tiri dan saudara tiri kamu yang toxic itu."

Isani tersenyum kecut. "Aku gak bisa seratus persen nyalahin mereka, Le. Aku bisa faham kenapa mereka seperti itu sama aku," matanya mulai berkaca-kaca, teringat perlakuan Tante Farah dan Yumi padanya.

"Sabar, sabar," Alea memeluk Sani, mengusap punggungnya. "InsyaAllah setelah ini, kamu akan bahagia, punya keluarga baru, kehidupan baru."

"Aamiin," Isani menyeka sudut matanya yang berair.

Mereka terus mengobrol, membicarakan tentang persiapan pernikahan Sani yang sudah hampir 100 persen.

"Dafa lama banget sih, dia kan juga harus nyobain jasnya," Alea melihat ke arah pintu.

"Apa aku susul aja ya," Sani bangkit dari duduknya, melihat ke arah pintu lalu melangkah kesana. Senyumnya mengembang melihat punggung Dafa, pria itu telepon dengan seseorang di teras butik. Berjalan menghampirinya.

"Aku aja yang ngomong sama Sani. Please, kasih aku waktu. Aku harus nyari momen yang tepat." Dafa tampak gelisah, sebelah tangannya memijat pelipis.

"Mau ngomongin apa sih?"

Deg

Dafa terkejut mendapati Isani ada di belakangnya. "Sa-sayang," buru-buru mematikan telepon, memasukkan ke dalam kantong celana. "Se-sejak kapan kamu ada disini?" tanyanya gugup, wajahnya pucat pasi.

"Kamu kenapa sih, kok gugup gitu?" Sani mengernyit.

"Eng-enggak papa kok," Dafa berusaha menormalkan ekspresi.

"Kamu telepon sama siapa tadi?"

"Bukan siapa-siapa. Eh, udah selesai nyoba kebayanya?"

Sani merasa jika ada yang ditutup-tutupi darinya. Dafa juga kentara sekali sedang mengalihkan topik.

"Aku harus nyoba jas kan? Astaga, kenapa bisa lupa!" menepuk jidatnya lalu tersenyum. "Masuk yuk!" menarik tangan Sani kembali masuk ke dalam butik.

Meski merasa ada yang aneh dengan Dafa, Sani tak mau terlalu mempersalahkan. Mungkin Dafa hanya sedang lelah, sama sepertinya. Persiapan pernikahan ini memang menguras tenaga dan fikiran mereka.

...----------------...

"Mau mampir dulu?" tawar Sani saat mobil Dafa berhenti di depan gerbang rumahnya. Sekarang masih jam 8 malam, rasanya belum terlalu malam jika Dafa ingin mampir, ya, meskipun setiap laki-laki itu datang, ibu tirinya tak pernah bersikap baik padanya.

"Gak usah deh, aku capek banget hari ini."

"Ya udah, kalau gitu hati-hati. Love you."

"Love you too."

Isani keluar dari mobil Dafa, dengan langkah malas, masuk ke dalam rumah. Tak berpapasan dengan siapa pun saat menuju kamar, itu sudah anugerah baginya, karena hampir setiap kali bertemu ibu atau adik tirinya, yang ada selalu cek cok.

Sesampainya di kamar, Sani menjatuhkan tubuh lelahnya ke atas ranjang. Rasa nyaman seketika menjalar ke seluruh tubuh. Hari ini selain sibuk dengan urusan kerjaan, dia masih harus lanjut ngurusin persiapan pernikahan. Capeknya dobel, tapi tak apa, dia bahagia karena akhirnya akan segera meninggalkan rumah ini. 20 tahun disini, bukan hal yang mudah, hari-harinya terasa berat, apalagi saat pertama kali tinggal disini. Tapi kini, akhirnya dia akan meninggalkan rumah ini. Ah.... rasanya sudah tidak sabar menunggu hari itu. Dia akan tinggal bersama Dafa, membangun keluarga kecil mereka. Baru membayangkan saja, rasanya sudah bahagia sekali, sampai tak sadar, ia tertidur dengan bibir tersenyum.

Brak

Sani terbangun karena kaget mendengar suara pintu kamarnya dibanting. Ia duduk, mengumpulkan nyawa sembari menatap Yumi yang baru masuk. "Bisa gak sih, kalau mau masuk kamar orang itu ketuk pintu dulu. Kalau gak ngerti caranya ngetuk, minimal buka pelan-pelan," mendengus kesal. "Dasar Kakak gak ada akhlak," makinya dalam hati. Bukan tak berani maki langsung, tapi jika itu terjadi, masalah akan panjang, karena bukan hanya Yumi lawannya, melainkan Tante Farah juga. Dan endingnya, Papa akan marah-marah, bilang muak mendengar pertengkaran di rumah ini, dan ia yang harus selalu mengalah.

Puk.

Yumi melempar sesuatu ke muka Sani, tepat mengenai keningnya.

"Awww!" Sani mengiris, matanya reflek terpejam saat ada benda menimpuk dahinya, untung kecil dan ringan, jadi tak terlalu sakit.

"Lihat itu!" bentak Yumi, menunjuk sesuatu yang tadi dia lempar.

Sani menghela nafas panjang, berusaha untuk sabar. Ia menunduk, mengambil sesuatu yang terjatuh di dekat kakinya setelah menimpa kening. Sesuatu itu bentuknya mirip sekali dengan test pack. Meski tak pernah menyentuh yang namanya test pack, namun dia tahu benda tersebut karena sering muncul di film. Saat ia pungut, ternyata benar, itu adalah test pack. Namun yang membuat dia syok, adalah dua garis merah yang ada disana. "Ka-kamu hamil, Yum?"

BAB 2

Sani yang masih syok, menghampiri Yumi. Sekali lagi, menatap tespack di tangannya untuk memastikan. "Kamu hamil?" menatap Yumi, sebelah tangannya menyentuh bahu kakak tirinya tersebut.

"Iya," sahut Yumi dengan ekspresi datar, tanpa beban, maupun rasa bersalah. Raut wajah tersebut, sungguh tak menggambarkan ekspresi wanita yang hamil di luar nikah.

Sani menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan. Ia dan Yumi tidak dekat, tak tahu seperti apa pergaulan saudaranya tersebut. "Apa Papa dan Tante Farah sudah tahu?"

"Ya, mereka sudah tahu, hanya kamu yang belum tahu," ekspresi datar Yumi, berubah menjadi senyuman, membuat kening Sani seketika mengkerut. Ia menyentuh rambut Sani, merapikan beberapa bagian yang kusut.

"Yum, are you ok?" Sani sampai bingung dibuatnya. Bukankah hamil di luar nikah itu adalah aib, tapi kenapa kakak tirinya tersebut malah terlihat bahagia.

"Of course."

Sani mundur selangkah, menelisik saudari tirinya tersebut dari atas ke bawah. Ada yang aneh disini.

"Aku sangat bahagia saat ini," dengan kedua lengan dilipat di dada, Yumi tersenyum.

Isani menggeleng, tak faham dengan Yumi. Kebahagiaan yang terpancar di wajahnya tampak begitu natural, bukan dibuat-buat.

"Em... " Yumi berjalan ke arah meja kerja Sani, mengambil sebuah foto berukuran 5R yang dipasang disebuah bingkai warna hitam, foto Sani dan Dafa. Ia tatap lekat-lekat foto tersebut. "Dia akan menikahiku," jari jempolnya, mengusap wajah Dafa dalam foto.

"Dia? Maksud kamu laki-laki yang menghamili kamu?" Sani tak faham karena Yumi berdiri membelakanginya.

"Iya, kamu benar sekali."

Sani bernafas lega, "Syukurlah kalau dia mau tanggung jawab." Pantas saja Yumi tak terlihat kalut, ternyata masalahnya sudah terselesaikan. "Jonatan, apa dia ayah dari anak itu?" Setahu dia, Jonatan adalah pacar terakhir Yumi. Yumi memang hobi gonta-ganti pacar, namun hingga usianya 28 tahun, belum juga menikah.

Yumi menggeleng sembari membalikkan badan ke arah Sani. "Dia," menunjuk foto Dafa yang ada di tangan kirinya.

"Maksud kamu?" Sani tak mau terlalu cepat menyimpulkan.

"Dafa. Dafa ayah dari anak dalam kandunganku."

Deg

Jantung Isani serasa langsung berhenti berdetak. Ia terdiam beberapa saat, sampai akhirnya menggeleng, berusaha menyangkal. "Enggak! Gak mungkin," terus menggeleng meski hatinya mulai gelisah. "Bercanda kamu gak lucu, Yum. Garing," tersenyum meski terkesan sangat dipaksakan.

Yumi tertawa terbahak-bahak, meletakkan kembali foto di tangannya ke atas meja, berjalan mendekati Isani.

"Enggak, gak mungkin!" Isani masih menggeleng, menyingkirkan tangan Yumi yang berada di bahunya.

"Isani, Isani, kamu itu terlalu lugu, terlalu bodoh!" mendorong kening Sani menggunakan telunjuknya. "Dafa sudah lama berselingkuh denganku, itupun kamu tak tahu."

Sani masih menggeleng meski matanya mulai memanas dan dadanya sesak. "Kamu bohong, Yum!"

Yumi mengambil ponsel di saku celananya. Mencari fotonya bersama Dafa, lalu menunjukkan pada Isani. "Apa sekarang, kamu percaya?" Ia menggeser satu persatu fotonya bersama Dafa.

Air mata Sani meleleh melihat begitu banyak foto Dafa bersama Yumi. Dari semua foto, yang paling membuatnya sakit hati adalah foto yang diambil di kamar Yumi, kamar yang hampir setiap hari dia bersihkan. Lututnya terasa lemas, dadanya makin sesak, dan seluruh tubuhnya gemetar.

"Sekarang kamu percayakan?" Yumi tersenyum jumawa, menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku. "Isani, kamu kasihan sekali. Cup, cup," mengusap punggung Sani, namun tangannya langsung ditepis kasar.

"Kenapa kamu tega melakukan ini?" dengan kedua telapak tangan terkepal kuat, Sani menatap Yumi nyalang. "KENAPA?" bentaknya tepat di depan wajah Yumi, nafasnya sampai tersengal-sengal.

"KENAPA KAMU BILANG HAH?" Yumi balik membentak, tatapannya tak kalah tajam dari Isani. "Karena aku pengen kamu merasakan, apa yang Mamaku rasakan!" ucapnya penuh penekannya. "Gak hanya Mama, tapi juga aku," menunjuk dirinya sendiri. "Gara-gara kamu dan ibu kamu, aku kehilangan sosok papa sejak kecil. Gara-gara kamu dan ibu kamu, rumah ini tidak pernah tenang, setiap hari aku harus mendengar Mama dan Papa bertengkar," Yumi tertawa sekaligus menangis.

Dulu, Yumi sering merindukan Papanya yang jarang pulang. Awalnya ia tak pernah marah karena ia fikir Papanya bekerja, namun saat tahu jika ternyata Papanya berada di rumah selingkuhannya, api amarah itu muncul di dadanya.

"Kamu merebut Papaku!" teriak Yumi, mendorong dada Isani hingga terhuyung ke belakang.

Isani tertawa ngakak, dari kedua matanya mengalir cairan bening. Bagaimana bisa dia dibilang perebut saat papa yang dimaksud, juga papanya.

"Bagaimana rasanya hah?" bentak Yumi. "Bagaimana rasanya saat calon suami kamu direbut orang?" rahangnya mengeras, telapak tangannya terkepal kuat. "Kamu tahu Isani," tersenyum, menyentuh rambut Isani, namun lagi-lagi, tangannya ditepis kasar. "Aku puas!" kedua matanya membulat sempurna. "Aku puas telah berhasil membalas dendam ku dan Mama," telunjuknya mengarah pada Isani, matanya menyala-nyala, penuh kebencian. "Aku puas melihat anak Ja lang, menerima karmanya. Aku puas karena sekarang, situasi berbalik. Akhirnya, kamu merasakan apa yang Mamaku rasakan dulu akibat ibumu, si J alang itu."

"Kamu yang ja lang!" bentak Isani, sebelah tangannya menjambak rambut Yumi. "Kamu yang Ja lang, Yumi!"

"Lepaskan!" Yumi berusaha berontak. Namun saat tak kunjung bisa melepaskan rambutnya dari tangan Sani, ia balas menjambak rambut Isani.

Keduanya terlibat adu jambak dan saling maki, seakan-akan semua perkataan kotor, sah-sah saja saat itu. Cacian, hinaan, sama-sama mereka keluarkan untuk mengungkapkan kekecewaan dan sakit hati, hingga suara gaduh mereka terdengar sampai luar kamar.

"Apa-apaan ini?" teriak Tante Farah yang baru masuk. "Lepaskan anakku!" ia langsung membantu Yumi.

PLAK

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Isani saat ia dan Yumi sudah selesai adu jambak. Ia menyentuh pipinya yang panas, tersenyum sekaligus menangis.

Yumi tersenyum puas sambil merapikan rambutnya yang berantakan.

"Berani sekali kamu menyakiti Yumi," bentak Tante Farah.

"Karena dia JA LANG!"

PLAK

Sekali lagi, Isani menerima tamparan keras hingga sudut bibirnya berdarah.

"Berani sekali kamu mengatai anak saya hah!" Tante Farah menatap Isani tajam. "Yang ja lang itu ibu kamu. Pelakor, perebut suami orang. Yumi dan Dafa saling mencintai, lagipula kamu dan Dafa belum menikah, masih sah-sah saja Yumi merebut."

"Sah-sah saja?" Sani sampai melongo, kehabisan kata-kata untuk menanggapi ucapan ibu tirinya tersebut.

"Bersyukurlah saya mau menampung kamu di rumah ini, kalau tidak, kamu jadi gelandang di jalan. Jadi, jangan berani-berani pada anak saya." Farah menarik lengan Yumi meninggalkan kamar Isani.

Dengan langkah lunglai, Isani berjalan ke arah pintu, menutup lalu menguncinya. Tubuhnya ambruk ke lantai, bersandar pada daun pintu, memeluk kedua lutut sambil menangis. Teringat kembali hal-hal yang dulu dia anggap sepele, ternyata adalah hal yang luar biasa, seperti saat ia melihat kaos Dafa di kamar Yumi, juga melihat tanda merah di leher kekasihnya tersebut. Segala alasan Dafa ia terima tanpa rasa curiga sedikitpun, saking percayanya ia pada laki-laki itu. Dia marasa hanya punya Dafa, hanya Dafa yang menyayanginya, namun ternyata kepercayaannya di khianati. Sekarang, saat pernikahan sudah di depan mata, kenapa dia baru tahu semuanya. Benar kata Yumi, ia terlalu bodoh.

BAB 3

20 Tahun yang lalu.

"Ma, kita mau kemana?" tanya Isani yang masih berumur 7 tahun. Ia dan Mamanya, berada dalam sebuah taksi saat ini.

"Bertemu Papa."

"Hore!!!" seru Isani girang, kedua lengannya terangkat ke atas. Sudah cukup lama ia tak bertemu papanya, dan ia rindu sekali. "Kita mau staycation di hotel ya Mah, sama Papa?" tadi dia melihat Mamanya membawa sebuah koper, dan sekarang ada di bagasi. Biasanya kalau membawa koper, pasti diajak pergi jauh dan menginap.

Erna tak menjawab, ia sibuk dengan ponselnya.

Isani melihat ke luar jendela mobil, menikmati pemandangan di luar sambil membaca tulisan-tulisan di depan bangunan atau di kendaraan. Senyuman tak lekang dari bibir mungilnya, hatinya diliputi kebahagiaan saat ini.

Taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah tingkat dua yang lumayan besar. Erna keluar lebih dulu, lalu disusul Isani yang membawa tas sekolahnya. Ia tak mengecek apa isi tas tersebut, yang pasti cukup berat saat dia gendong.

Dengan sebelah tangan menyeret koper, Erna menuntun Sani ke pintu gerbang. Pagar yang tidak dijaga sekuriti tersebut, tidak digembok, ia buka dari luar, lalu masuk bersama Sani.

"Ini rumah siapa, Mah?" Sani memperhatikan rumah besar tersebut. "Rumahnya bagus."

"Kamu mau tinggal disini?"

"Mau, mau," sahut Sani cepat, sedikit melonjak karena girang. "Apa kita akan pindah kesini, Mah?"

Erna menatap Sani, tersenyum miring, lalu kembali melihat ke depan. Sesampainya di teras, ia menelepon Fatur. "Aku ada di depan rumah kamu."

Mata Isani terus memperhatikan sekeliling rumah. Halaman yang luas dihiasi bunga dan pepohonan juga lampu taman. Di carport, ada sebuah mobil hitam yang terparkir. Mobil itu... rasanya ia tak asing.

"Mah, itu seperti mobil_. Papa," panggil Isani lantang, melihat Papanya keluar dari dalam rumah tersebut. Ia langsung berlari, memeluk Papanya.

Alih-alih membalas pelukan Isani, atau mencium lalu mengangkatnya ke atas seperti biasa jika mereka baru bertemu, kali ini Fatur hanya mematung, mulutnya terbuka setengah, dan wajahnya pucat.

"Papa, Sani kangen." Sani yang masih polos dan tak mengerti apa-apa, mendongak menatap Papanya sembari tersenyum. Ia memang termasuk anak periang yang suka tersenyum.

"Sani, Sani," setelah berhasil menguasai diri setelah syok beberapa saat, Fatur buru-buru melepas pelukan Sani. Ia menoleh ke arah pintu, takut seseorang tiba-tiba muncul dari sana.

"Papa, Sani kangen," rengek Isani yang ingin kembali memeluk Papanya, sayang, tubuhnya malah didorong.

Fatur mendorong bahu Sani ke arah Erna. "Buruan pulang!" ujarnya dengan mata membulat sempurna, menatap Erna sengit. "Bawa Sani pulang, nanti aku transfer uang," tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain membujuk dengan iming-iming uang. Dengan ekspresi gelisah, kembali melihat ke arah dalam rumah.

"Aku gak butuh uangmu lagi," tolak Erna, tersenyum jumawa. "Aku sudah muak dengan janji manis kamu. Sejak aku hamil hingga sekarang, kamu cuma janji-janji terus mau nikahin aku, tapi apa, semua hanya sebatas janji."

"Erna!" tekan Fatur. "Tolong fahami kondisiku, Farah sedang hamil, tak mungkin aku menceraikannya dan menikahimu."

Erna tersenyum kecut, kedua lengannya dilipat di dada. "Aku sudah bosan dengan segala alasanmu. Aku sudah tak berminat menikah denganmu lagi, karena aku sudah dapat pengganti yang jauh lebih kaya darimu," mendorong bahu Fatur dengan telunjuknya.

"Jadi benar dugaanku, kamu selingkuh selama ini," kedua telapak tangan Fatur mengepal, rahangnya mengeras. Belakangan ini, ia merasa Erna sedikit berubah. Ia juga beberapa kali memergoki Erna asyik dengan ponselnya sambil senyum-senyum sendiri, seperti orang kasmaran yang sedang chatingan.

"Selingkuh?" Erna tertawa ngakak. "Antara kita gak ada ikatan apa-apa, jadi kamu gak bisa nyebut aku selingkuh. Justru yang selingkuh itu kamu," menunjuk Fatur. "Kamu selingkuh dari Farah."

Fatur menggeleng, mulutnya menganga. Sungguh, ia tak percaya jika selama ini, telah diselingkuhi oleh selingkuhannya. Setiap bulan, ia selalu mentransfer uang untuk Erna dengan nominal yang lumayan, hampir sama dengan uang bulanan Farah, tapi ini balasannya.

"Aku gak mau basa-basi lagi," Erna mendorong Sani ke arah Fatur. "Urus anakmu, aku gak bisa bawa dia."

Sani menatap ibunya, bingung apa arti kalimat barusan.

"Apa maksud kamu?" Fatur mengernyit bingung.

Erna menarik koper yang ada di sebelumnya, mendorong ke arah Fatur. "Mulai hari ini, Sani ikut kamu."

"Er, kamu jangan main-main ya," Fatur tak henti-henti melihat ke arah dalam rumah, takut Farah atau Yumi tiba-tiba muncul.

"Aku gak main-main. Kekasihku mau menikahiku, tapi dia tak mau aku bawa anak. Jadi mulai sekarang, Sani ikut kamu karena dia tanggungjawab kamu."

"Ibu macam apa kamu hah!" bentak Fatur. Emosi membuat ia lupa jika bisa saja, suaranya terdengar hingga dalam. "Demi laki-laki, kamu campakkan anak kamu."

"Aku tidak mencampakkannya, aku hanya memberikan dia pada ayah kandungnya. Apa itu salah?"

"Ayah kandung?" celetuk Farah yang baru muncul dari dalam. "Ada apa ini?" dengan hati gelisah dan penuh tanya, ia menatap Sani dan Erna bergantian. Ia mengingat-ingat wajah wanita di depannya tersebut, rasanya mereka pernah bertemu beberapa kali, meski tidak kenal.

"Ma, Mama, aku bisa jelasin," dengan tubuh sedikit gemetar karena cemas, Fatur mendekati Farah, memegang lengannya. "Me-mereka."

"Aku selingkuhan suamimu," ujar Erna lantang. "Dan anak ini," menunjuk Sani. "Darah daging suami kamu."

Sontak, Farah menutup mulutnya yang menganga dengan telapak tangan. Kakinya lemas, hampir terjatuh jika tubuhnya tidak ditahan oleh Fatur. Ia menatap Sani, tubuhnya gemetar melihat anak yang usianya hampir sama dengan anaknya, ternyata adalah hasil selingkuh suaminya.

"Mah, Mah tenang, aku bisa jelasin," Fatur berusaha menenangkan Farah yang wajahnya mulai pucat pasi dan tubuhnya gemetar hebat. Saat ini, Farah tengah hamil 7 bulan.

"Apa ini benar, Pah?" gumam Farah, matanya mulai memanas, dadanya sesak.

Fatur hanya diam sembari menunduk, tangannya masih menahan bahu Farah, takut istrinya tersebut jatuh.

"Pah, jawab," dengan sisa kekuatan yang dia punya, Farah menoleh ke arah Fatur. Bukan jawaban, namun mata berkaca-kaca suaminya yang ia dapatkan. Tangis Farah pecah seketika, dengan kasar, ia menyingkirkan tangan Fatur dari bahu dan lengannya. "Jahat kamu, Pah. Kurang ajar!" dengan tubuh yang lemas, memukul dada Fatur meski ia yakin, pukulannya yang tanpa tenaga itu, mungkin tak terasa untuk suaminya.

Farah menatap anak kecil yang terlihat ketakutan, usianya hampir sama dengan anak pertamanya, Yumi, ini artinya, suaminya telah berselingkuh sejak mereka baru menikah. Bisa saja saat dia hamil Yumi, Fatur sudah mulai selingkuh.

"Maafin Papa, Mah," Fatur menyeka sudut matanya yang berair. Ia sangat menyesal, meski mungkin sangat terlambat.

Hati Farah hancur lebur, ia hanya bisa menangis sambil mengusap perut buncitnya. Anak dalam kandungannya berjenis kelamin laki-laki, yang dia fikir akan jadi pelengkap dalam rumah tangga dan makin membawa kebahagiaan, tapi ternyata, ia salah, badai justru datang.

Erna berdecak melihat drama sepasang suami istri yang sedang tangis-tangisan tersebut. "Sudahlah Mbak, gak usah nangis. Tenang aja, aku kesini buat ngembalikan suami kamu kok. Aku udah gak mau sama dia."

Farah menatap Erna penuh kebencian, kedua telapak tangannya terkepal kuat. Ia maju, mendekati Erna dan melayangkan telapak tangan, sayangnya bisa ditahan oleh Erna dengan mudah. Yang ada, dia malah terhuyung ke belakang karena Erna mendorongnya, untung Fatur sigap menahan tubuhnya hingga tak sampai jatuh.

"Keterlaluan kamu Erna!" bentak Fatur.

"Aku hanya membela diri," bantah Erna, tersenyum miring. "Udahlah, gak usah sok mau nampar atau mukul aku," menatap Farah nyalang. "Wanita hamil kayak kamu, gak akan bisa melawan aku."

PLAK

Erna melongo, telapak tangannya memegang pipi yang terasa panas. Fatur menamparnya dengan keras. Bukan keras lagi, tapi sangat keras hingga pipinya kebas dan sudut bibirnya berdarah.

"Jangan berani sentuh istriku," ancam Fatur.

"Cie... mulai belain istri nih," Erna malah cekikikan. "Eh Mbak, aku kasih tahu ya," menatap Farah. "Jangan baper karena dibela suami kamu, biasanya kalau sama aku, dia selalu ngejelek-jelekin kamu. Dia bilang kamu gak bisa ngurus diri, habis lahiran badannya gembrot, badan kamu juga bau."

"Cukup Erna!" bentak Fatur, rahangnya mengeras, dan kedua matanya memerah.

"Bahkan dia juga bilang, kamu gak enak mainnya, kalah jauh sama aku," Erna masih saja tak mau diam. Rasanya puas melihat Farah malu dan Fatur naik darah.

"ERNA!" teriak Fatur. Tangannya sudah melayang di udara, namun ia tahan karena melihat Sani menangis. Anak sekecil itu, harus dihadapkan dengan pertengkaran kedua orang tuanya, bagaimana ia tak menggigil ketakutan.

Farah mengurut dadanya yang sakit, harga dirinya seperti diinjak-injak saat si pelakor, membuka semuanya. Suami yang di depannya terkesan baik, ayah yang baik juga, ternyata berbeda jauh jika di belakangnya.

"Sudahlah, pacarku mau menjemputku sebentar lagi," Erna melihat jam di ponselnya. "Mas, jaga Sani ya, rawat dia dengan baik disini."

Farah yang mulanya menunduk, langsung mengangkat wajah. "A-apa maksudnya?" menatap Erna dan Fatur bergantian.

Erna mendekati Sani, mengusap kepalanya. "Anak ini namanya Isani, mulai sekarang, dia akan tinggal disini bersama Papanya."

"Enggak! Aku tidak mau!" teriak Farah, menggeleng cepat. "Bawa anak haram itu pergi dari sini!" menunjuk ke arah pintu gerbang. "Aku tak sudi melihatnya."

Erna mengangkat kedua tangannya. "Sayangnya gak bisa, dia akan tinggal disini bersama Papanya, Papa kandungnya," ulangnya penuh penekanan. "Bye, aku pergi dulu. Dada Sani, baik-baik ya disini sama Papa dan Mama Farah," tersenyum, melirik Farah.

"Gak mau," Isani menggeleng cepat sambil menangis. "Sani mau ikut Mama, Sani mau tinggal sama Mama," memegang kuat kaos yang dipakai Erna, takut benar-benar ditinggal disini.

"Maaf sayang, Mama gak bisa bawa kamu." Erna melepas paksa tangan Sani dari kaosnya, berjalan cepat menuju pintu gerbang.

"Mama... " Isani berlari mengejar Mamanya. "Sani mau ikut Mama," menarik lengan Mamanya, lalu memeluk wanita itu kuat-kuat. "Isani gak mau tinggal disini, Sani mau ikut Mama," sambil terisak, menatap Mamanya.

"Sani, lepasin Mama!" Erna berusaha melepaskan tubuhnya dari pelukan Sani.

"Gak mau, Sani mau ikut Mama. Jangan tinggalin Sani, Ma. Sani janji gak akan nakal, Sani akan nurut sama Mama."

Bug

Erna mendorong Sani hingga terjatuh. Melihat itu, Fatur berlari menghampiri Sani dan Erna.

"Keterlaluan kamu Erna!" bentak Fatur. "Ibu macam apa kamu yang mau meninggalkan anaknya." Ia membantu Sani bangun.

"Gak usah sok jadi ayah yang baik. Kamu juga bukan laki-laki yang baik, karena laki-laki yang baik, tidak akan berselingkuh saat istrinya baru melahirkan anak untuknya."

Mendengar itu, Farah yang berpegangan pada pilar teras, makin lemas, perlahan tapi pasti, tubuhnya merosot ke lantai.

Tin tin tin

Suara klakson dari sebuah mobil mewah yang berhenti di depan rumah, membuat semua orang melihat kesana.

"Kekasihku sudah datang. Selamat tinggal, Mas. Sani, jadi anak yang baik ya Nak," tersenyum, lalu membalikkan badan, berjalan ke arah pagar.

"Mama... " teriak Isani, dia ingin mengejar Mamanya, namun tubuh kecilnya ditahan oleh Fatur. Meski Sani anak selingkuhan, ia sangat menyayanginya. "Mama... Sani ikut," terus berontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Papanya. "Mama..., Mama," Sani meraung-raung melihat Mamanya masuk ke dalam mobil. "Mama, jangan tinggalin Sani," teriaknya saat mobil hitam membawa pergi sang Mama.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!