BAB 5

BRAK

Belum puas membanting pintu mobil Dafa, Isani menendang bodi mobil tersebut. Persetan jika nantinya lecet karena ujung heels yang dia pakai, ia tak peduli. Hatinya sudah dihancurkan tanpa perasaan, rasanya kalau hanya mobil lecet, itu sama sekali tak sebanding dengan apa yang dia rasakan.

Melihat seorang berjaket ojol melintas tanpa penumpang, Sani langsung melambaikan tangan untuk memanggilnya. Tak masalah jika dia harus membayar lebih mahal karena tak melalui aplikasi, ia tak peduli, yang penting bisa segera pergi dari sini.

"Maaf Mbak, saya lagi nganter makanan ini, jadi gak bisa bawa penumpang," tolak driver tersebut setelah berhenti di depan Sani.

"Gak papa, Mas, saya ikut Masnya nganter makanan dulu, baru antarkan saya. Nanti ongkosnya saya kasih dobel." Sani naik ke atas motor meski belum mendapatkan persetujuan.

Untuk beberapa saat, driver tersebut terdiam karena kelakuan Sani yang terkesan merugikan diri sendiri, namun setelah dia fikir tak ada rugi untuknya, ia mengambil helm, menyerahkan pada Sani. "Pakai dulu Mbak."

Sani menerima helm tersebut lalu memakainya. Saat motor melewati mobil Dafa, dia memalingkan wajah ke arah lain, tak sudi melihat laki-laki itu.

Ikut mengantar makanan, dianggap Sani seperti healing. Setidaknya, dia tak harus segera tiba di rumah. Sumpah, dia muak sekali pada Yumi dan Tante Farah, bahkan pada Papa yang pagi tadi hanya bilang maaf, tanpa melakukan sesuatu untuknya yang jelas-jelas terdzolimi disini.

Isani menghela nafas berat begitu ojek yang ditumpanginya berhenti di depan rumah. Ia hanya diam, menatap nanar rumah yang sudah ditinggalinya selama 20 tahun lamanya.

"Mbak, udah sampai. Benarkan ini rumahnya?" Driver ojol menoleh ke arah Sani, takut salah alamat karena Sani tak segera turun.

"Aku boleh ikut Mas nya aja gak?" Isani tersenyum getir.

"Hah!" Driver tersebut sampai melongo.

"Becanda, Mas," Sani melepas helm, menyerahkan pada Driver.

"Mbaknya ada masalah berat ya?" tanya driver yang bernama Arif tersebut.

"Kelihatan ya?" Sani tertawa, lebih tepatnya menertawakan dirinya sendiri. Sepertinya saat ini matanya sembab karena dalam perjalanan tadi menangis, makanya Arif bisa langsung menebak dengan benar.

"Jadi benar ya?" Arif tersenyum. "Katanya good looking menyelesaikan setengah dari masalah hidup, tapi ternyata gak selalu ya, Mbak. Buktinya si Mbak cantik, tapi masalahnya masih berat juga."

"Mas nya bisa aja," Sani tertawa kecil.

"Sabar, Mbak. Semua orang punya ujian hidup masing-masing, tapi insyaallah, kadarnya sesuai kemampuan kita. Selama waktu masih terus berjalan, semua akan terlewati cepat atau lambat. Roda gak akan selalu ada di bawah atau di atas. Coba deh, kalau sedang merasa berat banget dengan cobaan hidup, Mbaknya ngaca."

"Maksudnya?"

"Ngaca, lihat anugerah yang sudah diberikan Allah pada Mbaknya. Mbaknya cantik banget loh. Ingat, gak semua orang dikasih kelebihan itu. Jadi, tetap merasa bersyukur, merasa beruntung, karena gak hanya cobaan, tapi Allah juga ngasih anugerah berupa paras yang cantik pada Mbaknya."

"Mas, kamu kok pinter sih. Setengah dari masalah aku rasanya langsung ilang gara-gara kamu deh," Sani tertawa sambil menyeka sudut matanya yang berair.

"Keep strong, Mbak e," Arif mengangkat telapak tangannya yang terkepal, memberi semangat.

Sani membuka tas, mengambil uang dua ratus ribu rupiah lalu menyodorkan pada Arif.

"Kebanyakan, Mbak."

"Kurang malah itu. Bayangin aja kalau barusan saya konsul ke psikolog, pasti lebih mahal dari itu biayanya. Makasih banyak ya, Mas. Semoga rezeki kamu makin lancar," Sani turun dari motor, mengucap salam lalu berjalan ke arah pagar.

Sebelum masuk, dia menarik nafas dalam lalu membuangnya perlahan. Membuka pagar, berjalan dengan langkah malas menuju rumah. Saat melewati ruang keluarga, dia yang sudah capek, masih harus mendengar teriakan Tante Farah yang nyelekit.

"He anak haram, sini kamu!"

Sani terus melangkah, pura-pura tuli. Lagian namanya bukan anak haram, jadi untuk apa menoleh.

"Hei, sini kamu!" Tante Farah kembali berteriak. "ISANI!" teriaknya lagi, kesal karena diabaikan.

Sani mendengus kesal, menghentikan langkah kakinya, menoleh ke arah Tante Farah dan Yumi. Kedua wanita itu berjalan mendekatinya dengan wajah tak ramah sama sekali.

"Apa maksud kamu mau batalin acara pernikahan ke WO hah?" teriak Tante Farah dengan mata melotot.

Sani tersenyum kecut, ternyata Dafa sudah mengadu. Gercep juga laki-laki sialan itu. Ah, kenapa rasanya dia makin benci pada Dafa, laki-laki tak tahu diri. "Kan emang pernikahan saya batal Tante, ya semuanya dibatalin."

"Gak usah. Gak usah dibatalin. Yumi dan Dafa yang akan menikah," ujar Tante Farah.

"Ya gak bisa dong," suara Sani mulai naik satu oktaf, ia keberatan.

"Kenapa gak bisa?" Yumi mendorong bahu Sani.

"Aku yang keluar uang, kenapa kamu yang menikmati?" Sani menatap Yumi nyalang. "Aku bisa ngasih calon suamiku padamu. Ambil, ambil saja. Tapi tidak dengan wedding dream yang sudah aku rencanakan hampir setahun ini. Aku yang capek mikirin semuanya, ngurus semuanya, nabung, enak saja kamu tiba-tiba mau ngambil alih."

"Heh anak gak tahu diri," Tante Farah mendorong bahu Sani. "Kamu lupa, kamu sudah 20 tahun numpang di rumah saya, makan gratis juga, sekarang mau itung-itungan. Kamu fikir biaya hidup kamu selama 20 tahun ini sedikit? Uang yang kamu keluarin untuk bayar WO, gak ada secuil dari biaya hidup kamu."

"Saya gak numpang, gak makan gratis juga," sangkal Isani. "Kehidupan saya memang sudah seharusnya ditanggung oleh Papa saya."

"Hahaha," Farah tergelak. "Kamu lupa sepertinya. Kamu itu anak haram, anak di luar nikah. Kamu tidak bernasabkan pada Fatur. Kamu bukan tanggungan dia, kamu juga gak berhak atas hartanya juga warisannya."

"Tapi dia Papa kandung saya," tekan Isani, menunjuk dadanya. "Dalam darah saya, mengalir darahnya. Karena dia saya lahir ke dunia, jadi sudah menjadi tanggung jawab dia untuk membesarkan dia."

"Halah, tetap saja, kamu anak diluar nikah yang gak punya kekuatan hukum apapun untuk meminta hak pada suami saya."

"Ada apa ini?" Fatur yang baru tiba di rumah, masuk dengan tergesa-gesa mendengar suara gaduh dari ruang keluarga. "Suara kalian terdengar sampai luar. Apa gak bisa sih, kalau ngomong itu agak pelan dikit?"

"Anak kamu ini," Farah menunjuk Isani. "Dia perhitungan sekali. Aku cuma bilang, gak usah batalin acara, Yumi dan Dafa yang akan menikah, eh.... dia malah keras kepala, maksa mau batalin acara."

"Ya karena semuanya aku yang ngurus, Tante," Sani tak mau disalahkan.

"Halah, cuma ngurusin doang dibesar-besarin. Dafa juga ikut ngurusin kali," Yumi ikut bicara.

"Kalau dibatalin, uangnya juga gak akan dikembalikan full sama WO. Selain itu Yumi dan Dafa musti repot ngurus dari awal lagi, dan itu buang-buang waktu," ujar Tante Farah.

"Itu bukan urusan saya. Pokoknya saya akan tetap batalin acara tersebut," tekan Isani.

"Benar-benar keras kepala kamu ya!" bentak Farah. "Gak tahu diri, sudah diurusin dari kecil, gak ada terima kasihnya."

"Ngurusin? Yang ada aku ngurusin diri aku sendiri, Tante," Sani tak terima. Sejak tinggal disini, sekalipun dia tak diizinkan makan di meja makan dengan keluarga. Dia juga musti melakukan pekerjaan rumah kalau sekolahnya mau dibiayain. Selain menjadi pembantu, dia juga dipaksa jadi baby sitter sejak Yuka lahir, padahal dia masih kecil saat itu. Dia tak pernah punya waktu untuk main, karena harus selalu mengasuh Yuka, anak kedua Farah yang saat ini kuliah di luar kota.

"Sudah, sudah!" Fatur menengahi. "Acaranya gak usah dibatalin, San," putusnya sebagai kepala keluarga.

"Apa maksud Papa?" Sani kecewa dengan ucapan Papanya.

"Yumi sudah hamil, dia harus menikah secepatnya sebelum perutnya membesar. Untuk uang kamu, Papa yang akan ganti."

"Ini bukan hanya soal uang, Pah," seru Isani dengan nafas mulai memburu. "Ini tentang konsep, tentang pemikiran, juga efforts aku buat wujudin dream wedding aku. Aku udah capek ngurus semuanya, aku udah meluangkan waktu banyak buat ini. Dan sekarang_"

"Halah, kayak yang paling ok aja konsep wedding kamu," ejek Yumi. "Cuma intimate wedding dengan 100 undangan doang, semua orang juga bisa ngelakuin itu. Lagian paling WO nya yang mikirin semuanya, kamu tinggal terima jadi aja."

Sani tersenyum kecut, kehabisan kata-kata untuk membantah. Dia dikeroyok sekarang, jadi percuma mau ngomong apapun.

"Sudahlah, San. Biar acaranya tetap jalan seperti rencana semula. Uang kamu akan Papa ganti," Fatur tak ingin masalah ini diperpanjang.

"Terserah kalian!" Sani membalikan badan, pergi begitu saja menuju kamarnya. Rasanya ngomong apapun juga percuma, dia hanya sendiri, pasti kalah dengan tiga orang.

Terpopuler

Comments

Niͷg_Nσͷg🕊

Niͷg_Nσͷg🕊

dasar laki2 bringsikkk, STI, bapak nggak punya akhlak...adanya sani kedua ini karena kesalahan kamu. tapi kamu tak pernah bisa memberikan sani perlindungan, kamu hanya membuat sani menderita. jika kamu seorang Ayah yang adil dan bijak..seharusnya kamu tidak memihak salah satu pihak. jelas2 di sini yang salah yumi..malah kamu membiarkan yumi merampas semua kebahagiaan sani. ayah macam apa kamu fatur? bukan masalah uang, tapi ini masalah dream weeding. jangan selalu smeuanya kamu nilai dengan uang...lihat saja, jika hari ini kamu bela2 yumi. belum tentu nanti pas datang sakitmu, yumi yang ada untukmu.

kenapa kamu tak pergi saja San? kenapa kamu masih bertahan di rumah yang tak memberikanmu bahagia, kenapa kamu rela hidupmu di injak2 sama mereka.

2025-08-23

4

Kar Genjreng

Kar Genjreng

kepala rumah tangga sebagai ayah tetapi lihat lah kelakuan nya mirip bamci berlindung di ketiak istri. mana wibawa nya sebagai kepala rumah tangga,,,,isani tidak tidak bisa kah pergi menjauh jangan tinggal di rumah itu lagi,,,, lihatnya sakit sekali,,,,,kan kebanyakan orang meremehkan Anak lahir di luar nikah tetapi salahkan ayah' nya dan ibunya Sani hanya di lahirkan. kalau tau mau jadi Anak haram juga ogah,, jadi ga dibatalkan wah tambah besar kepala yumi dan dafa dong,,,,biarkan Sani suatu hari mereka tidak akan langgeng,,, percaya lah jangan mau bila balikan,, Ok

2025-08-24

0

Esther Lestari

Esther Lestari

Kamu jangan mau ngalah Sani...meskipun bapakmu bilang akan ganti uangmu. Tetap batalkan, koq enak Yumi terima beres.
Keluar dari rumah saja Sani, tinggal sendiri daripada tinggal di lingkungan toxic gitu

2025-08-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!