Pagi itu, langkah Citra bergema pelan di sepanjang koridor. Jemarinya menggenggam erat buku-buku tebal di dada, seolah itu perisai yang bisa melindunginya dari dunia luar. Tatapannya tetap ke lantai, berharap bisa melewati lorong itu tanpa menarik perhatian siapa pun.
Sayangnya, harapannya sirna begitu saja.
Rachel Aurora dan gengnya sudah berdiri menghadang. Senyum sinis mengembang di wajah cantik Rachel, matanya menatap penuh benci.
“Aduh, jalan liat-liat dong!” sergahnya tajam.
“Sabar, Ra, nanti cantiknya ilang,” goda Sherly sambil terkekeh.
Salsa menambahkan dengan nada mengejek, “Eh cups, lo culun begini kok bisa deket sama Dion, sih? Aneh banget.”
Rachel melangkah maju, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari Citra. “Iya kan? Jelas-jelas cantikan gue ke mana-mana. Lo nggak level!”
Citra menunduk, jemarinya mencengkeram buku lebih erat. “Gua… gua nggak ada hubungan apa-apa sama Kak Dion. Kalian salah paham,” ucapnya lirih. Suaranya nyaris tenggelam, tapi getarannya cukup terdengar.
Rachel mendekat, tawanya dingin. “Semua orang tahu Dion cuma deket sama gue. Lo pikir lo siapa, berani-beraninya deketin dia?”
Sherly sudah bersiap mendorong Citra ke dinding, ketika sebuah suara berat menggema di udara.
“Ada apa ini?”
Semua kepala sontak menoleh.
Dari ujung koridor, Dion Wijaya berdiri tegap dengan seragam OSIS rapi. Rambutnya sedikit berantakan tapi justru membuat auranya semakin kuat. Tatapan matanya dingin, lurus menembus Rachel dan gengnya.
Waktu seakan melambat. Rachel spontan merapikan rambutnya, memasang senyum manis seolah tak terjadi apa-apa. “Eh, Kak Dion… ini lho, si Citra tadi nabrak aku,” ucapnya manja, suaranya dibuat lembut.
Dion tidak bergeming. Ia terus berjalan mendekat, langkah kakinya terdengar mantap, menekan atmosfer lorong yang tadinya penuh ejekan. Sesampainya di depan mereka, ia menoleh pada Citra.
“Lo gak papa kan Cit?” tanyanya, suara lembutnya kontras dengan tatapan tajamnya ke Rachel.
Citra membeku. Jantungnya berdetak begitu kencang hingga ia yakin semua orang bisa mendengarnya. Perlahan ia mengangguk, masih menunduk, wajahnya memerah.
Tanpa ragu, Dion mengulurkan tangan. “Sini, buku-bukumu berat.”
Sherly dan Salsa ternganga. Rachel membeku di tempat, matanya membelalak tak percaya.
Dengan gerakan tenang, Dion mengambil beberapa buku dari pelukan Citra, lalu berbalik. Sebelum melangkah pergi, ia menoleh sekilas ke Rachel. “Jangan bikin masalah lagi.”
Lorong yang biasanya ramai mendadak sunyi, seolah semua murid yang sempat melihat kejadian itu menahan napas.
Rachel mengepalkan tangannya kuat-kuat, bibirnya tersenyum getir menutupi rasa terhina.
Sementara Citra berjalan di samping Dion, langkahnya goyah, wajahnya merah padam. Untuk pertama kalinya, ia merasa… dilihat.
Dan di situlah cerita mereka benar-benar dimulai.
Citra masih bisa merasakan degup jantungnya bahkan setelah mereka keluar dari koridor itu. Dion berjalan tenang di sampingnya, memegang sebagian buku yang tadi ia ambil begitu saja dari pelukan Citra.
“Lo beneran nggak papa kan?” tanya Dion lagi, kali ini lebih pelan.
Citra hanya mengangguk cepat tanpa berani menoleh. Pipinya panas, kepalanya tertunduk. Kenapa Dion harus sedekat ini? Rasanya seperti mimpi—cowok paling populer di sekolah, berjalan di sampingnya sambil membawakan buku.
Begitu sampai di depan kelasnya, Dion menyerahkan buku-buku itu kembali. “Lain kali, kalau ada yang gangguin, bilang aja ke gue,” ucapnya tegas.
Citra melongo sesaat, sebelum buru-buru mengangguk. “I-iya, Kak… makasih.”
Dion hanya mengangguk singkat, lalu pergi dengan langkah tegap. Beberapa siswa yang sejak tadi memperhatikan langsung berbisik-bisik, dan itu membuat perut Citra terasa mual. Ia tahu, kabar ini bakal cepat menyebar.
Seperti dugaan Citra, menjelang jam istirahat, gosip sudah memenuhi kantin.
“Eh lo tau nggak, tadi Dion belain Citra?” bisik seorang siswi.
“Masa sih? Itu si culun berkepang? Gila, nggak masuk akal banget.”
“Rachel pasti ngamuk tuh.”
Citra hanya bisa menunduk dalam-dalam saat melewati meja-meja kantin. Raka, sahabatnya yang duduk santai di pojok kantin, langsung melambai memanggilnya.
“Cit! Sini duduk!” serunya.
Dengan sedikit lega, Citra bergabung dengannya. Raka, anak kepala sekolah yang terkenal supel, menatapnya penasaran. “Gue denger ada drama di koridor. Lo lagi-lagi jadi korban Rachel, ya?”
Citra menghela napas. “Udah biasa, Rak. Gue nggak apa-apa kok.”
“Gue tau lo kuat. Tapi tetep aja, kalo dia makin keterlaluan, gue nggak bakal diem,” kata Raka sambil menepuk meja. Tatapan matanya tajam, membuat Citra hanya bisa tersenyum tipis.
Raka menatap Citra lama, tatapannya berbeda dari biasanya. Ada sesuatu di balik senyum tipisnya, sesuatu yang membuat Citra agak tidak nyaman.
“Cit,” ucap Raka pelan, suaranya nyaris berbisik, “gue tahu identitas lu.”
Citra spontan menoleh, matanya melebar. “Maksud lo apa?”
Raka hanya menyeringai kecil, tangannya memutar-mutar botol minuman. “Ayah lo kan… donatur terbesar sekolah ini.
CEO perusahaan yang semua orang kenal. Jangan kira gue nggak tahu. Lo boleh culun di sini, tapi di luar… lo itu pewaris besar.”
Jantung Citra berdebar kencang. Tangannya mencengkeram buku lebih erat. “Tolong, Rak… jangan bilang siapa-siapa,” pintanya cepat, matanya panik.
Raka menghela napas, lalu tersenyum lembut. “Tenang aja. Rahasia lo aman sama gue. Lagi pula… dari dulu gue udah—”
Kalimatnya terpotong karena tiba-tiba beberapa teman sekelas mereka mendekat.
“Eh, Citra!” seru Kiara, anak kelas XI-3 yang terkenal aktif. “Sumpah, asli lu hebat kemarin lomba, ya?”
Citra berkedip bingung. “Hah? Lomba?”
“Lomba Robotik!” sahut Kiara semangat. “Lu juara 2 nasional, kan? Gue liat postingannya di Instagram official acara itu.”
Beberapa siswa lain ikut mendekat, wajah mereka antusias.
“Iya, Cit, keren banget lo. Katanya tim sekolah lain aja sampai kaget, anak culun kayak lo bisa ngalahin mereka.”
“Ajarin gue dong, biar bisa ikut olimpiade teknologi tahun depan.”
Wajah Citra memerah. Ia tersenyum kikuk, menggaruk pelipis. “Iya, gue awalnya iseng daftar lewat IG. Nggak nyangka bisa menang…”
“Gila, lu rendah hati banget!” seru Kiara lagi sambil menepuk bahu Citra. “Mulai sekarang, kalo ada tugas fisika atau matematika, gue maunya kelompok sama lu!”
Beberapa anak lain mengangguk setuju, langsung merubung meja Citra.
Untuk pertama kalinya, perhatian satu kelas tertuju padanya—bukan karena ejekan, tapi karena kagum.
Di sudut ruangan, Rachel memperhatikan dari jauh dengan tatapan gelap. Jemarinya mengetuk meja berulang-ulang, menahan emosi. Sementara Raka hanya tersenyum tipis, matanya tak lepas dari Citra.
Karena sebelum Dion muncul dalam hidup gadis itu… dialah yang lebih dulu menaruh hati.
Dion bersandar di dinding dekat lapangan basket, matanya tanpa sadar mengikuti sosok Citra di kelas sebelah.
Gadis itu sedang dikelilingi teman-temannya, tertawa kecil saat Kiara dengan semangat memuji prestasinya di lomba robotik.
Di sisi lain, Raka duduk tak jauh dari Citra, senyumnya jelas penuh arti. Mereka terlihat dekat, seakan ada rahasia yang hanya dimiliki berdua.
Dion mengepalkan tangannya pelan.
"Cewek yang dulu gue anggap culun, yang dulu gampang banget gue cuekin… ternyata punya sesuatu yang bikin gue pengen tahu lebih jauh," batinnya.
Tatapannya semakin tajam ketika melihat Raka mencondongkan badan, berbisik sesuatu hingga membuat Citra tersenyum kikuk.
"Kenapa ya… tiap kali liat mereka bareng, hati gue panas gini? Gak enak banget rasanya."
Ia menunduk sebentar, lalu menghela napas panjang. Dion Wijaya—ketua OSIS yang biasanya tenang dan karismatik—mendadak merasa cemburu untuk pertama kalinya.
Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk ke kamar luas bergaya gotik Eropa. Tirai panjang berwarna maroon perlahan ditarik oleh dua orang pelayan.
Cahaya emas menimpa wajah seorang gadis berkulit kuning langsat yang masih terlelap di ranjang empuk berhias ukiran klasik.
“Non… bangun, sudah pagi. Ini kan hari pertama Non Citra masuk sekolah,” suara lembut salah satu ART membuyarkan mimpi indahnya.
Citra mengerjap pelan, mengucek matanya sambil menoleh ke arah dua pelayan yang sudah berdiri rapi di sisi tempat tidur.
Dengan enggan ia bangun, lalu berjalan masuk ke kamar mandi besar berhias marmer elegan. Uap tipis dari air hangat sudah memenuhi ruangan, taburan kelopak bunga mawar dan sabun aroma terapi menebarkan wangi menenangkan.
Beginilah keseharian Citra setiap pagi—segala sesuatu disiapkan dengan sempurna, bak seorang putri.
Salah satu pelayan mendekat, menyisir lembut rambut panjangnya yang hitam berkilau. Seragam sekolah sudah tergantung rapi di gantungan, disertai sepatu yang dipoles bersih.
Rambutnya dikepang samping dengan gaya sederhana, jauh dari kesan berlebihan.
“Non, mau sarapan apa?” tanya seorang ART dengan sopan.
Citra melirik jam di meja. Matanya membulat kecil.
“Roti selai aja, Bi. Soalnya udah telat,” jawabnya buru-buru.
Pelayan itu mengangguk, segera bergegas menyiapkan.
Citra menatap pantulan dirinya di cermin besar. Semua kemewahan ini hanya ada di rumahnya. Di sekolah nanti, ia hanyalah Citra Asmarani si culun berkacamata tebal—bukan putri tunggal seorang pengusaha besar.
Ia menarik napas dalam-dalam. Hari pertamanya di sekolah baru… sebentar lagi dimulai.
Citra yang sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya turun dari tangga megah berlapis karpet merah. Langkahnya pelan, menuruni anak tangga tinggi itu bak seorang putri yang hendak memasuki aula kerajaan.
Begitu tiba di ruang makan, aroma wangi roti panggang langsung menyambutnya.
Di atas meja panjang dari kayu mahoni, tersusun beraneka macam sarapan: roti isi daging asap, roti isi selai stroberi buatan chef, croissant hangat, hingga roti dengan aneka pasta.
Tak hanya itu, ada juga susu segar dan jus mangga yang tertata di gelas kristal, membuat suasana semakin terasa bak jamuan bangsawan.
Namun, Citra hanya duduk diam. Ia mengambil sepotong roti isi selai dan segelas susu, pilihan sederhana di antara semua hidangan mewah itu.
Sembari menggigit pelan, matanya mencari-cari sosok yang biasanya duduk di ujung meja.
“Loh, Bi… Papi mana?” tanya Citra sambil menoleh pada ART yang berdiri di dekat pintu.
“Papi Non lagi di Singapura. Seminggu baru pulang, Non,” jawabnya sopan.
Citra mengangguk kecil, mencoba menelan rasa kecewa bersama gigitan rotinya. Meski terbiasa dengan kesibukan ayahnya, tetap saja ada ruang kosong setiap kali beliau tak ada.
Ia menarik napas, lalu memandang ke arah seragam putih abu-abu yang melekat di tubuhnya. Hari ini akan jadi awal yang baru—sekolah baru, teman-teman baru. Dan tentu saja, rahasia besar yang harus tetap ia jaga rapat-rapat.
FLASHBACK
Citra kecil berlari riang menuju gerbang sekolah dasar dengan pita merah muda menghiasi rambutnya. Tangannya menggenggam erat tangan Papinya, sementara sedan hitam mewah berhenti tepat di depan pintu masuk.
Beberapa anak yang sedang menunggu di halaman menoleh, berbisik-bisik.
“Eh, liat deh, mobilnya gede banget.”
“Itu kan mobil kayak di TV.”
Awalnya Citra tak peduli, ia hanya ingin cepat bermain lompat tali dengan teman-temannya. Tapi keesokan harinya, sesuatu berubah. Foto dirinya turun dari mobil bersama sang Papi masuk ke koran lokal dengan judul besar:
“Putri Pengusaha Ternama Masuk SD Favorit”
Sejak saat itu, suasana di sekolah tak pernah sama lagi.
Saat pelajaran, beberapa anak mulai menjauh. Ada yang berbisik di belakang, “Hati-hati, kalau bikin salah sama dia, bisa-bisa orang tuanya marah ke guru.” Saat istirahat, saat ia ikut main engklek, seorang teman berkata sinis, “Ngapain kamu ikut? Kamu kan orang kaya, pasti nggak pernah main beginian.”
Ucapan-ucapan itu menusuk hati kecil Citra.
Pernah suatu kali, ia membelikan pensil baru untuk teman sekelasnya yang kehilangan. Senyum tulus sudah terpasang di wajahnya, tapi tiba-tiba anak lain nyeletuk.
“Pasti gampang buat dia, kan? Tinggal minta uang ke Papinya.” Semua anak tertawa, sementara Citra hanya terdiam, menunduk, dan merasa kebaikannya dianggap main-main.
Malamnya, Citra menangis diam-diam di kamar. Papi yang mengetuk pintu akhirnya masuk, duduk di tepi ranjang, lalu mengusap kepalanya lembut.
“Citra, Papi minta maaf. Dunia kadang nggak adil sama anak kecil yang nggak salah apa-apa,” ucapnya pelan.
Citra menatap Papinya dengan mata berkaca-kaca. “Aku nggak mau orang-orang suka sama aku cuma karena aku anak orang kaya, Pi. Aku pengen mereka suka sama aku karena aku… aku Citra.”
Ayahnya menarik napas panjang, lalu tersenyum penuh kebanggaan.
“Kalau begitu, mulai sekarang, kita sepakat. Di sekolah, kamu jadi Citra biasa. Kamu nggak perlu cerita siapa kamu sebenarnya. Biarkan orang mengenalmu karena hatimu, bukan karena harta Papi.”
Sejak hari itu, Citra kecil mulai belajar menyembunyikan jati dirinya. Ia mengenakan kacamata tebal, merapikan rambut dengan kepang sederhana, dan menolak semua hal mencolok yang bisa menarik perhatian.
Rahasia itu terus ia jaga hingga sekarang, bertahun-tahun kemudian, di bangku SMA.
“Non, jangan bengong! Udah kesiangan, nanti ospek gimana?” suara Mbak Bi, ART kepercayaannya, membuyarkan lamunan Citra.
Gadis itu baru sadar kalau sendok di tangannya berhenti di udara sejak tadi. Pikirannya masih tertinggal pada kenangan masa kecil—kenapa ia sampai harus menyembunyikan siapa dirinya sebenarnya.
“Eh… iya, Bi. Maaf.” Citra buru-buru menaruh kembali roti di piring, lalu mengelap mulutnya dengan tisu.
Di luar, terdengar suara mesin mobil yang sudah dinyalakan. Pak Dirman, supir pribadi keluarga Mahardi yang sudah ikut bekerja sejak Citra kecil, sudah menunggu di depan dengan sedan hitam mewah berlapis kaca film gelap.
“Non, ayo, Papi udah wanti-wanti, jangan sampai terlambat di hari pertama sekolah. Apalagi ini masa orientasi,” kata Mbak Bi sambil merapikan dasi abu-abu di seragam Citra.
Citra menghela napas panjang. Hari pertama SMA.
Hari di mana ia harus sekali lagi memasang topeng: topeng seorang siswi culun, sederhana, yang tak ingin ada seorang pun tahu bahwa ia putri tunggal dari seorang CEO besar.
Langkahnya pelan menuju pintu depan. Dari balik kaca besar rumah bergaya gothic Eropa itu, ia bisa melihat Pak Dirman tersenyum ramah, berdiri tegak sambil membukakan pintu mobil.
“Selamat pagi, Non Citra. Siap ke sekolah baru?” sapa Pak Dirman.
Citra tersenyum tipis, menyembunyikan rasa deg-degan yang bergejolak. “Iya, Pak. Semoga hari ini… nggak ada yang tahu siapa aku.”
Ia melangkah masuk ke dalam mobil, sementara pintu ditutup perlahan. Sedan hitam itu kemudian meluncur keluar dari gerbang besar rumah keluarga Mahardi, mengantarkan Citra menuju dunia sekolah yang penuh kejutan baru.
Lapangan sekolah pagi itu riuh dengan suara teriakan panitia OSPEK. Semua siswa baru berbaris rapi, seragam putih abu mereka masih terlihat kaku dan bersih, kontras dengan wajah-wajah yang tegang bercampur antusias.
“Perhatikan pengumuman! Kalian akan dibagi ke dalam kelas masing-masing sesuai nama pahlawan!” suara salah satu panitia menggema lewat pengeras suara.
Citra berdiri di barisan tengah, kedua tangannya menggenggam erat tas selempangnya. Degup jantungnya masih cepat, mencoba menyesuaikan diri dengan keramaian. Ia menunduk, tak ingin menarik perhatian.
“Citra Asmarani… kelas Hasanudin!” teriak panitia sambil membaca daftar.
Citra melangkah pelan ke arah kelompok kelas Hasanudin. Dari sudut matanya, ia bisa melihat beberapa anak lain menoleh. Namun, ia segera menunduk kembali.
Tak lama, seorang suara ramah menyapanya, “Eh, sama ya kelas kita. Gue Raka.”
Citra mendongak pelan. Seorang cowok dengan senyum lebar berdiri di sampingnya. Wajahnya bersahabat, berbeda dengan aura tegang siswa baru lainnya. Ia menyodorkan tangan.
“Citra,” jawabnya lirih, menerima jabatan tangan itu.
Sebelum sempat banyak berbicara, suara tegas terdengar dari depan.
“Ayo, adek-adek kelas Hasanudin, ikut aku ke atas untuk naruh tas kalian!” perintah seorang kakak kelas dengan nada ketus.
Semua kepala menoleh. Itu Sherly—salah satu kakak kelas yang dikenal dekat dengan Rachel Aurora. Rambutnya tergerai rapi, bibirnya menyunggingkan senyum tipis tapi matanya tampak tajam.
“Cepat! Jangan bikin ribut,” tambah Sherly sambil berbalik, memimpin mereka menaiki tangga menuju lantai atas.
Raka menoleh sekilas ke Citra. “Kayaknya kakak kelas kita agak galak, ya,” bisiknya sambil nyengir.
Citra hanya tersenyum kecil. Dalam hati ia merasa lega—setidaknya, di hari pertamanya yang penuh ketegangan ini, ia sudah punya seorang teman baru.
Mereka mengikuti Sherly dan melihat kelas di lantai dua, suasana kelas Hasanudin masih kosong. Kursi-kursi tersusun rapi, papan tulis dipenuhi coretan sambutan dari panitia OSPEK.
Sherly masuk lebih dulu dengan langkah percaya diri, lalu menoleh pada adik kelasnya. “Taruh tas kalian di bangku masing-masing. Duduk rapi. Jangan ada yang berisik,” katanya ketus, seolah ia adalah komandan.
Beberapa siswa buru-buru mengikuti perintah. Kursi berderit, suara ritsleting tas terdengar di sana-sini.
Citra memilih duduk di bangku pojok dekat jendela, tempat yang menurutnya paling aman. Raka dengan santainya ikut duduk di sebelahnya.
“Eh, boleh ya gue di sini?” tanyanya sambil senyum.
Citra mengangguk pelan. “Iya…”
Raka menatapnya sebentar. “Kamu dari SMP mana? Soalnya gue belum pernah liat.”
“Dari luar kota,” jawab Citra singkat. Ia tak suka terlalu banyak menjelaskan.
Raka mengangguk paham, lalu mencondongkan tubuh sedikit. “Tenang aja, kalau ada apa-apa selama OSPEK, bareng gue aja. Kita kan sekelas.”
Citra melirik sekilas, ada kehangatan di balik tawanya. Hatinya merasa sedikit lebih ringan.
Tiba-tiba, Sherly menepuk meja guru keras-keras. “Dengar ya, adek-adek! Kalian sekarang jadi bagian dari keluarga besar SMA ini.
Tapi jangan seneng dulu. OSPEK ini bukan main-main! Kalian harus nurut sama kakak kelas. Kalau ada yang ngeyel, siap-siap kena hukuman.”
Beberapa siswa baru saling berpandangan, ada yang tegang, ada yang malah nyengir.
Raka mendekatkan mulutnya ke arah Citra, berbisik, “Tenang aja, biasanya cuma gaya doang. Tapi serem juga kalau marah, sih.”
Citra menahan tawa kecil. Untuk pertama kalinya sejak masuk sekolah, ia tidak merasa sendirian.
*
*
*
*
Suasana kelas Hasanudin makin ramai. Sherly, kakak kelas yang jadi pendamping, berdiri di depan kelas dengan tangan terlipat di dada.
“Oke, sekarang kita masuk sesi perkenalan. Satu-satu maju ke depan, sebut nama, asal sekolah, sama cita-cita kalian. Jangan lama-lama, cepet!” perintahnya dengan nada tegas.
Satu per satu siswa maju. Ada yang terbata-bata, ada juga yang pede banget sampai sok gaya. Suasana kelas bergantian antara tegang dan riuh.
Ketika giliran Raka, ia melangkah dengan santai ke depan. Senyumnya lebar, aura percaya dirinya langsung bikin beberapa siswa lain kagum.
“Nama gue Raka Guntur Darmaja,” ucapnya lantang. “Asal SMP di sini juga, jadi udah lumayan kenal sama sekolah. Cita-cita gue? Mau jadi perwira TNI, kayak bokap.”
Beberapa siswa bertepuk tangan. Sherly mengangguk singkat, agak terkesan.
Raka menoleh sekilas ke arah Citra, seakan memberi semangat.
Giliran berikutnya, Sherly melirik daftar nama. “Citra Asmarani… maju!”
Citra menelan ludah. Dengan langkah pelan, ia maju ke depan kelas. Jemarinya menggenggam pinggiran kertas buku, menahan gugup. Semua mata menatap, dan itu membuatnya makin salah tingkah.
“A… anu…” suaranya lirih. Ia menarik napas sebentar, lalu mencoba bicara lebih jelas.
“Nama saya Citra Asmarani Mahardi. Asal dari SD luar kota. Cita-cita saya…” ia berhenti sejenak, matanya menatap jendela, lalu tersenyum kecil.
“Cita-cita saya, ingin jadi insinyur robotik.”
Kelas mendadak hening. Beberapa siswa langsung berbisik-bisik, tak menyangka gadis culun dengan kacamata tebal itu punya cita-cita keren.
“Wih, robotik tuh, keren banget!” celetuk seorang siswa cowok.
“Biasanya cewek cita-citanya jadi dokter atau guru, ini malah insinyur,” tambah yang lain.
Sherly mengangkat alis, seakan tak percaya. “Robotik? Seriusan lo?”
Citra mengangguk pelan. “Iya… soalnya saya suka ngerakit dan coba-coba bikin hal baru.”
Raka yang duduk di bangkunya ikut tersenyum lebar, lalu bertepuk tangan. “Mantap, Cit! Kayak di film-film tuh, cewek jenius robotik.”
Tepuk tangan lain pun menyusul. Wajah Citra memerah, ia cepat-cepat kembali ke tempat duduknya. Hatinya campur aduk—malu, gugup, tapi juga hangat karena untuk pertama kalinya ia mendapat perhatian yang berbeda.
Dari belakang kelas, dua siswi senior yang diam-diam mengintip, Sherly dan seorang temannya, saling berbisik.
“Eh, kayaknya anak ini gak bisa dianggap remeh,” ujar temannya.
Sherly menatap tajam ke arah Citra. “Iya… gue harus lapor ke Rachel.”
Suasana kantin sekolah masih ramai oleh siswa-siswi baru yang berkerumun. Sherly duduk di pojokan bersama Rachel, wajahnya penuh semangat bercerita.
“Ra, lo harus tau deh… ada anak baru di kelas Hasanudin. Namanya Citra Asmarani. Awalnya keliatan culun banget, tapi waktu perkenalan tadi, dia bilang cita-citanya mau jadi insinyur robotik. Semua anak langsung heboh, bahkan si Raka aja keliatan kagum,” ujar Sherly sambil menyeruput minuman.
Rachel mengangkat alisnya, jemari lentiknya memainkan sedotan jus stroberi. “Insinyur robotik? Hah… cewek cupu gitu?” ia terkekeh meremehkan, tapi matanya tampak berpikir dalam.
Sherly mengangguk cepat. “Iya Ra, asli. Gue juga nggak nyangka. Dan… kayaknya Dion bakal tertarik kalau tau. Lo kan tau Dion suka banget sama orang yang punya ‘otak’.”
Nama Dion membuat wajah Rachel seketika mengeras. Ia menaruh gelasnya di meja dengan suara tak, lalu menatap Sherly tajam.
“Jangan bercanda, Sher. Dion itu cuma buat gue. Nggak ada cewek lain yang boleh nyodok masuk,” ucapnya dingin.
Salsa, yang duduk di sebelah, ikut menimpali, “Tapi Ra, kalau bener Dion mulai ngeh sama Citra, bisa ribet juga sih. Soalnya tadi aku denger beberapa anak cowok udah pada bilang Citra beda.”
Rachel diam sejenak. Kepalanya menunduk, lalu bibirnya perlahan melengkung membentuk senyum penuh siasat.
“Kalau gitu… sebelum Dion sempet melirik, kita bikin Citra tetep jadi culun yang nggak bakal dilihat siapa pun,” bisiknya. “Kalau perlu, gue yang bakal bikin dia nggak betah di sekolah ini.”
Sherly dan Salsa saling pandang, lalu tertawa kecil, seolah sudah paham ke mana arah pikiran Rachel.
Rachel menatap ke luar jendela kantin, matanya penuh tekad. Dalam hatinya ia berbisik,
“Dion cuma untuk gue. Dan gue nggak akan biarin cewek aneh itu ngerebut sorotan dariku.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!