Titik Balik Sebuah Persahabatan

Keesokan harinya, sinar matahari menembus gorden tipis kamar mewah bergaya gotik itu. Pelayan sudah bersiap sejak subuh, menyiapkan segala kebutuhan sang nona muda.

“Non Citra, air hangat sudah siap,” ucap salah seorang ART dengan suara lembut.

Citra bangun pelan, matanya masih berat. Saat ia melangkah ke kamar mandi pribadinya, aroma menenangkan langsung menyambut.

Bak mandi marmer putih telah dipenuhi air hangat, dihiasi kelopak bunga rosemary yang terapung di permukaannya. Uap lembut memenuhi ruangan, memberikan sensasi relaksasi sejak pagi.

Citra merendam diri sejenak, membiarkan tubuh dan pikirannya segar. Rambut hitam panjangnya dicuci dengan shampo aroma mawar, lalu salah satu ART dengan telaten mengeringkan dan menata rambutnya.

Hari ini, gaya rambut kepang samping yang rapi kembali dipilih—sederhana, tapi tetap memancarkan sisi anggun.

Setelah berganti ke seragam putih abu-abu yang sudah disiapkan rapi di kursi ukiran dekat ranjang, Citra turun ke ruang makan.

Di meja panjang bergaya klasik Eropa, sarapan mewah telah tersaji. Ada waffle hangat dengan taburan gula halus, dilengkapi potongan stroberi segar dan sirup maple. Di sampingnya, segelas susu hangat serta jus jeruk segar siap menemani.

“Selamat pagi, Non,” sapa Bi Rini, salah satu ART yang mengurus Citra sejak kecil.

“Pagi, Bi,” jawab Citra sambil duduk. Ia menyuapkan waffle perlahan, menikmati manisnya berpadu dengan segarnya buah.

Meski sarapan penuh kehangatan, Citra tetap teringat kalau hari ini OSPEK masih menunggunya. Jantungnya sedikit berdegup kencang, membayangkan harus kembali menghadapi banyak wajah baru—dan mungkin juga Rachel.

Selesai sarapan, Pak Dirman, supir pribadi keluarga Mahardi, sudah siap menunggu di depan dengan sedan hitam elegan.

“Non, waktunya berangkat. Kita bisa kena macet kalau telat,” ujarnya sopan.

Citra mengangguk, merapikan seragamnya, lalu melangkah keluar. Dari kejauhan, megahnya rumah keluarga Mahardi terlihat bagai istana kecil.

Hari baru dimulai. Dan di sekolah, cerita baru siap menanti.

Gerbang sekolah sudah ramai oleh siswa-siswi baru yang mengenakan seragam putih abu-abu. Panas matahari pagi mulai terasa, tapi semangat para murid baru jauh lebih menyala.

Citra turun dari mobil sedan hitam keluarga Mahardi dengan langkah hati-hati. Seperti biasa, ia berusaha menunduk, tak ingin terlalu mencolok di antara kerumunan.

Jemarinya menggenggam erat tas ransel abu-abu polos yang tampak kontras dengan dirinya yang anggun.

“Eh… kamu juga kelas Hasanudin, kan?” suara riang terdengar dari samping.

Citra menoleh pelan. Seorang gadis manis berambut sebahu dengan poni rata tersenyum padanya. Wajahnya ramah, jauh dari aura sinis seperti Rachel.

“Iya… kamu juga?” tanya Citra ragu.

“Yup! Aku Kiara. Kiara Prameswari,” jawabnya ceria sambil mengulurkan tangan. “Kayaknya kemarin kita satu barisan, deh.”

Citra tertegun sebentar, lalu menyambut uluran tangan itu. “Citra… Citra Asmarani.”

Kiara langsung tersenyum lebar. “Cocok banget ya, nama kamu secantik orangnya.”

Citra refleks tersipu. Tak biasa ia mendapat pujian tulus seperti itu.

Tak lama, seorang cowok jangkung dengan rambut agak berantakan ikut mendekat. Ia membawa botol minum besar di tangannya. “Eh, kalian anak kelas Hasanudin juga, ya?”

Kiara mengangguk. “Iya, kamu siapa?”

“Gue Rio. Rio Saputra.” Senyumnya lebar dan santai, tipikal cowok yang gampang bergaul. “Wah asik nih, udah ada geng kecil sebelum masuk kelas.”

Citra hanya bisa tersenyum malu. Dalam hati ia lega—ternyata tak semua orang di sekolah ini seperti Rachel dan gengnya.

Bel berbunyi. Dari pengeras suara terdengar suara panitia OSPEK: “Seluruh siswa baru kelas Hasanudin, segera berkumpul di lapangan!”

Kiara menggandeng tangan Citra ringan. “Ayo, Cit, jangan bengong. Kita bareng-bareng ke lapangan. Biar nggak nyasar.”

Untuk pertama kalinya sejak masuk sekolah, Citra merasa tidak sendirian.

Jam istirahat pertama. Koridor lantai dua penuh siswa yang berlalu-lalang. Citra berjalan pelan sambil memeluk buku seperti biasa, mencoba mencari sudut tenang untuk membaca.

Dari kejauhan, Rachel sudah memperhatikannya. Di sebelahnya, Sherly dan Salsa tersenyum penuh rencana.

“Sher, Salsa… kalian tau kan apa yang harus dilakukan?” bisik Rachel.

Sherly mengangguk, lalu pura-pura berdiri di dekat jendela dengan segelas jus mangga. Begitu Citra lewat, brak! Sherly “tidak sengaja” menabrak bahunya, membuat jus itu tumpah tepat ke seragam putih Citra.

“Aduh! Astaga, maaf banget… aku nggak sengaja!” ucap Sherly dengan nada dibuat-buat, tapi cukup keras agar banyak orang menoleh.

Citra terdiam, menatap noda kuning lengket di bajunya. Wajahnya langsung merah padam, antara malu dan bingung.

Salsa menutup mulut seolah terkejut, lalu berbisik cukup keras agar orang sekitar mendengar. “Ya ampun… baju seragamnya kotor banget. Baru masuk sekolah udah jorok gitu, sih.”

Beberapa murid mulai cekikikan. Ada yang berbisik-bisik sambil melirik ke arah Citra.

Rachel melangkah maju, pura-pura sok peduli, lalu mengambil tisu dari tasnya. “Citra, nih, pake tisu. Jangan nangis ya… tapi lain kali hati-hati dong. Kalau begini, Dion bisa ilfeel loh kalau liat cewek jorok.”

Kalimat terakhir itu disengaja Rachel ucapkan keras-keras, membuat semua orang yang tadinya hanya melihat, kini langsung terfokus pada nama Dion.

Citra menunduk makin dalam, hatinya terasa diremas. Ia ingin sekali menghilang dari tempat itu.

Tiba-tiba, sebuah suara memecah keramaian.

“Kenapa ribut-ribut?”

Raka muncul sambil membawa botol minumnya. Tatapannya langsung tertuju pada Citra yang penuh noda jus. Tanpa pikir panjang, ia melepas jaket abu-abunya dan menyampirkannya ke bahu Citra.

“Udah, nggak usah malu. Yuk kita ke toilet, gue temenin bersihin,” ucap Raka dengan tenang.

Koridor yang tadinya dipenuhi tawa langsung terdiam. Sherly dan Salsa saling pandang panik. Rachel menggertakkan gigi, bibirnya tetap tersenyum padahal dalam hatinya mendidih.

“Raka?! Kenapa malah dia yang nolong?!” batinnya penuh amarah.

Citra menoleh sekilas pada Raka, matanya berkaca-kaca, lalu mengangguk kecil. Untuk pertama kalinya, ada yang membelanya di depan semua orang.

Dan Rachel sadar, rencananya tidak berjalan mulus.

Citra berdiri kikuk di depan wastafel toilet perempuan. Seragam putihnya masih terlihat kusam meski sudah dibersihkan dengan air.

Tangannya sibuk mengucek noda jus mangga yang membandel, sementara jaket abu-abu milik Raka masih tersampir di bahunya.

Dari pintu, Raka bersandar santai dengan tangan masuk ke saku celana. Ia memperhatikan Citra cukup lama, lalu akhirnya membuka suara.

“Lo… Citra Asmarani Mahardi, ya?”

Citra tersentak, jemarinya terhenti di atas kain seragamnya. Perlahan ia menoleh, menatap Raka dengan mata membesar.

“Kenapa lo… nanya gitu?” suaranya pelan, nyaris berbisik.

Raka mengangkat alis, tatapannya penuh selidik. “Soalnya nama lo nggak asing. Gue pernah denger bokap gue nyebut nama ‘Mahardi’. Pengusaha besar, kan? Rumah lo gede banget di daerah atas itu.”

Citra buru-buru menunduk, menahan degup jantung yang makin kencang. Ia menggenggam erat ujung seragamnya.

“Lo salah orang, mungkin. Gue cuma… Citra biasa.”

Raka mendekat beberapa langkah, kini jaraknya hanya sejengkal dari Citra. Suara langkah sepatunya bergema di lantai keramik toilet.

“Tapi… dari cara lo ngomong, dari cara lo bawa diri… gue yakin lo bukan anak biasa.”

Citra mendongak, menatap Raka. Ada ketegangan di udara, matanya beradu dengan tatapan jernih milik cowok itu.

“Apa gunanya lo tau siapa gue sebenernya? Semua orang bakal mandang gue beda kalau tau,” ucap Citra lirih, nyaris bergetar.

Raka terdiam sejenak. Lalu perlahan, ia tersenyum samar.

“Kalau gue sih nggak peduli lo anak siapa. Mau Mahardi, mau bukan. Yang gue liat… lo cuma cewek yang lagi berusaha sembunyiin sisi aslinya.”

Citra tercekat. Ada rasa hangat menjalar dalam dadanya, sesuatu yang baru pertama kali ia rasakan—dimengerti.

“Udah,” Raka menepuk pelan bahu Citra sebelum mundur. “Lo nggak usah takut. Gue nggak bakal buka mulut.”

Citra menatapnya lama, lalu mengangguk kecil. Senyumnya samar, tapi tulus. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tahu rahasianya… tapi memilih untuk melindungi, bukan menggunakannya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!