Begitu sampai di rumah, Arin langsung masuk ke dalam kamarnya. Arin meletakkan tasnya di atas meja belajar usang yang tidak bergeser satu inchi pun sejak kepergiannya. Mata Arin terpaku pada sebuah kartu yang tergeletak di atasnya.
Itu pasti kartu undangan yang dimaksud ibunya.
Arin meraih kartu undangan itu, lalu dia amati. "Ini baru pesta pertunangan, tapi dari kartu undangannya sudah semewah ini," ucapnya tanpa berniat untuk membukanya.
"Wajar saja, Tania Putri Laksmana mana mau pesta yang biasa!" Arin melemparkan kartu kembali ke tempatnya semula kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur.
Arin perlu melemaskan otot-ototnya yang kaku setelah seharian beraktivitas. Dia baru saja tiba di kota ini dan langsung mencari ibunya di rumah Pandu Laksmana, tanpa sempat berganti baju apalagi dandan.
Tania dan Arin masih berstatus sebagai saudara sepupu, tapi Tania tidak pernah menganggapnya seperti itu. Bagi Tania, Arin adalah saingannya.
Sejak kecil Tania tidak menyukai Arin. Keluarga besar Laksamana selalu membandingkan-bandingkan mereka berdua. Arin kecil adalah anak yang ceria, pintar dan secara fisik dia sangat cantik. Arin selalu lebih unggul dalam hal apapun dan itu membuat Tania tidak suka.
Namun, sejak meninggalnya Angga Laksmana, semuanya berubah. Arin terpuruk dan itu perlahan merubah karakter Arin menjadi sosok tertutup dan pendiam.
Tania memanfaatkan kesempatan ini untuk melampiaskan rasa tidak sukanya kepada Arin. Tania kerap mem-bully Arin di sekolah. Tania melarang Arin jangan sampai memberi tahu siapapun kalau mereka masih ada hubungan saudara. Tania mengancam jika papanya akan berhenti membiayai sekolahnya jika Arin macam-macam.
Baru beberapa detik memejamkan mata, bayangan masa lalu berkelebat di pikiran Arin. Kejadian sangat memalukan yang menjadi titik paling rendah dalam hidupnya kembali muncul.
"Tidak! Aku tidak mau mengingatnya!" ucap Arin segera bangkit.
Arin meraih kembali kartu yang tadi dia lempar ke atas meja belajar. Entah kenapa tiba-tiba dia ingin tahu siapa calon tunangan Tania meski pikiran Arin sudah menebak siapa orangnya. Arin hanya ingin memastikannya.
Arin mengernyit membaca nama calon tunangan yang tertera di kartu undangan. "Bukan dia?!" gumamnya penuh tanda tanya.
Arin pikir Tania akan bertunangan dengan kekasihnya semasa SMA. Laki-laki yang tega mempermalukan Arin demi sebuah pembuktian cinta.
"Aku pikir hubungan mereka akan langgeng sampai maut memisahkan!" cibirnya. "Jika bukan dia, lalu dengan siapa? Siapa laki-laki ini?" lanjut Arin sambil terus fokus pada tulisan yang tertera.
"Tania Putri Laksmana & Gama Ernawan... " Mata Arin terus terpaku pada tulisan yang dicetak tebal dengan tinta emas itu. "Gama Ernawan... " Arin mengulang nama itu hingga beberapa kali sambil berusaha mengingat-ingat. Dia merasa tidak asing dengan nama itu.
Arin segera meraih handphone untuk mencari informasi mengenai siapa sosok calon tunangan Tania. Tidak mungkin seorang Tania bertunangan dengan laki-laki biasa.
Tertegun. Begitulah ekspresi Arin setelah dia selesai membaca artikel mengenai siapa sosok Gama Ernawan. Nama belakang laki-laki itu sudah bicara siapa dia. Dia adalah penerus perusahaan Ernawan.
"Pantas aku merasa tidak asing dengan nama itu." Arin kembali bergumam lalu melempar kartu undangan itu asal.
"Tania Laksamana bertunangan dengan seorang Gama Ernawan?! Seorang model terkenal dan pengusaha kaya raya?! Bukankah ini terlalu sempurna?!"
* * *
Pagi harinya, Arin dan Darsih menikmati sarapan di ruang makan yang tergabung menjadi satu dengan ruang tamu.
Darsih masih tinggal di rumah mereka yang dulu, rumah pemberian Pandu. Rumah itu sangat sederhana tetapi Darsih betah di sana.
Dengan posisi Arin yang sekarang, dia lebih dari mampu untuk merenovasi rumah itu atau bahkan membelikan rumah baru untuk Darsih. Tapi, Darsih tidak mau keluar dari sana. Dia ingin mempertahankan rumah itu seperti apa adanya.
"Ibu benar-benar tidak mau pindah? Aku belikan rumah baru atau ibu mau rumah ini direnovasi? Bujuk Arin untuk yang kesekian kalinya. "Akan lebih baik lagi kalau ibu mau tinggal bersamaku di kota X."
"Jawaban Ibu masih sama, Rin. Tidak akan berubah sampai kapanpun!"
Arin hanya bisa menghela nafasnya. Sulit sekali membujuk ibunya.
"Ibu takut akan lupa semua kenangan itu jika rumah ini direnovasi."
Kenangan, hal itu jugalah yang membuat Arin tidak nyaman untuk tinggal di rumah ini lagi. Bukan karena kondisinya yang sederhana melainkan karena kenangan yang ada di dalamnya. Kenangan yang tidak ingin Arin ingat.
"Aku sudah melupakannya, Bu. Kenapa ibu masih terus mengingatnya? Aku sudah move on dengan hidupku, ibu juga seharusnya begitu," tutur Arin sambil mengunyah makanannya, berusaha bersikap biasa.
Memang Arin sudah melanjutkan hidupnya dengan baik, tetapi bukan berarti Arin sudah berhasil melupakan kejadian memalukan itu.
Dari luar memang semua terlihat baik-baik saja. Mudah juga bagi Arin untuk berkata dirinya sudah melupakan itu semua. Tetapi tidak ada yang tahu gejolak di hati Arin setiap kali mengingat kejadian itu. Rasa malu dan sakit itu akan selalu membekas di hatinya.
"Apa maksudmu Ibu harus melupakan kejadian dimana Ibu membuka pintu dan menemukan kamu tergelak bersimbah darah?"
"Cukup, Ibu! Jangan bicarakan itu!" Arin melirik sekilas bekas sayatan di pergelangan tangan kirinya. "Aku melakukan itu karena waktu itu aku sangat bodoh! Aku sangat menyesal dan aku tidak mau mengingatnya!" tegasnya.
"Apa kamu akan melupakannya begitu saja? Karena kejadian itu, orang-orang menyebutmu 'Gadis tidak bermoral'! Kamu bahkan kehilangan beasiswamu karena kasus itu! Mimpimu kandas, Rin. Bagaimana kamu bisa diam saja dan menerima itu semua sementara orang yang telah menghancurkan hidupmu hidup bahagia?"
"Jejak digital tidak tidak akan pernah hilang. Bukalah internet dan kamu akan menemukan berita tentangmu masih tertulis di sana meski sudah bertahun-tahun lamanya. Dan itu semua karena ulah Tania!" tutur Darsih dengan suara tegas dan menggebu.
Arin terdiam tidak bisa menyangkal. Semua yang dikatakan ibunya benar.
"Datanglah ke pesta itu!" ucap Darsih kembali melunak.
"Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Mereka sudah sangat sering menyakitimu. Kamu pasti sudah kebal. Lagipula kamu sudah bisa membela diri sekarang. Aku lebih khawatir kalau kamu tidak datang dan pestanya berjalan lancar. Mereka akan sangat bahagia," tutur Darsih melihat keraguan di mata Arin.
Arin mengernyit. "Aku tidak mengerti maksud ibu."
Arin memang membenci Tania, sampai kapanpun dia tidak akan pernah lupa apa yang telah sepupunya itu lakukan kepadanya. Tetapi untuk membalas, sepertinya Arin tidak ingin melakukannya. Yang lalu biarlah berlalu. Toh hidupnya sekarang sudah baik-baik saja.
Memang Arin gagal menjadi dokter seperti yang dia cita-citakan, tetapi sekarang dia memimpin sebuah perusahaan. Apalagi yang harus dia keluhkan? Itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan meskipun Arin merasa ada sesuatu yang kurang.
"Kamu harus datang dan mencuri perhatian semua orang. Setidaknya kamu bisa membuat mereka merasa kesal di hari yang seharusnya penuh kebahagiaan."
"Ibu ingin aku merusak pesta pertunangan Tania?!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Soraya
penasaran lanjut thor
2025-08-20
1