NovelToon NovelToon

Gadis Yang Kalian Singkirkan

1. Benalu

Arin berdiri di depan sebuah rumah yang lebih pantas disebut istana, yang sayangnya, bukan lagi menjadi miliknya. Rumah itu berubah kepemilikan hanya berselang beberapa hari setelah mamanya meninggal, dan Arin tidak bisa berbuat apa-apa.

Di dalam sana sedang berlangsung sebuah pesta, entah pesta apa.

Arin memandangi rumah itu cukup lama hingga akhirnya memutuskan untuk masuk karena teringat seseorang yang harus segera dia selamatkan.

Semua orang sedang sibuk sehingga tidak ada yang menyadari kehadiran Arin.

Arin berjalan sambil menoleh kiri kanan seperti orang kebingungan tetapi tidak juga menemukan orang yang dia cari.

Mungkin memang sudah takdir, mata Arin justru bersitatap dengan seorang perempuan yang sangat dia benci dan sudah bertahun-tahun dia hindari, yang tak lain adalah sepupunya sendiri.

Arin berhenti. Dia tetap berdiri pada tempatnya, tidak seperti dulu yang segera menyingkir, mencari jalan lain atau berjalan sambil menundukkan kepala untuk menghindari interaksi dengan perempuan itu.

Kalau memang sekarang dia harus berhadapan dengan perempuan itu lagi, maka Arin akan hadapi. Arin tidak takut lagi dengan ancaman yang dulu terasa begitu mengintimidasi.

Perempuan itu berjalan menghampiri Arin.

Arin menatap datar perempuan yang kini berdiri tepat di hadapannya. Sorot mata perempuan itu masih saja angkuh, sama seperti dulu ketika mereka masih remaja.

"Apa kabar, Sepupu? Lama kita tidak bertemu," sapa perempuan itu terdengar hangat, tetapi sorot matanya sama sekali tidak memperlihatkan kehangatan.

Arin tidak segera menjawab. Matanya balik menatap sorot mata angkuh Tania, sepupu yang dulu tidak pernah mau mengakuinya itu.

Tidak ada yang berubah dari wajah perempuan itu. Bahkan dia terlihat lebih cantik dari semasa mereka SMA dulu. Tapi itu hanya kecantikan semu. Perempuan di hadapannya itu adalah seorang model papan atas yang dituntut selalu on make up agar penampilannya terlihat tanpa cela, padahal sebenarnya biasa saja.

"Seperti yang kamu lihat," jawab Arin datar. Tidak terlihat keakraban atau sedikit saja kebahagiaan diantara dua sepupu yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu ini.

Tania menatap Arin dari kepala hingga ujung kaki. "Aku hampir tidak mengenalimu tadi. Kamu sudah ... berubah," katanya. "Aku ingat teman-teman kita dulu menyebutmu gajah bengkak. Itu lucu sekali," lanjut Tania sambil terkekeh.

"Ngomong-ngomong dimana kamu membuang lemak-lemak di tubuhmu itu? Operasi plastik? Jelas tidak mungkin. Kamu tidak punya uang sebanyak itu."

Arin tetap diam sama seperti dulu. Apapun yang Tania katakan Arin hanya diam dan menerima. Bedanya, dulu Arin diam karena takut, tapi sekarang Arin diam karena tidak mau membuat keributan.

"Tubuhmu memang sudah langsing, tetapi wajahmu masih begitu-begitu saja. Coba sekali-kali kamu memakai riasan, mungkin itu akan sedikit membantu. Dan kaca matamu itu... " menunjuk kaca mata yang bertengger di hidung mancung Arin, "itu membuatmu terlihat tua!" Tania tersenyum miring kemudian pergi.

Arin memperhatikan penampilannya sendiri setelah kepergian Tania. Saat ini dia hanya mengenakan rok span dan kemeja kerja yang sudah kusut karena sudah seharian dia pakai. Rambut dicepol dan wajah terlihat kelelahan, belum lagi mata panda karena dua malam sebelumnya dia harus lembur hingga larut membuat penampilannya semakin tidak meyakinkan. Pantas jika Tania masih menghinanya.

Arin tidak berlama-lama meratapi penampilannya. Dia bahkan tidak peduli dengan hal itu. Tujuannya ke sini hanyalah untuk menyelamatkan satu-satunya orang yang dia sayang, yaitu ibu angkatnya. Arin tidak mau sang ibu menjadi bulan-bulanan para pembantu di rumah ini.

Arin mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari keberadaan sang ibu yang entah dimana.

"Tentu saja dia tidak di sini," gumam Arin yang baru sadar jika ibunya tidak mungkin berada di depan bersama tamu-tamu kelurga Laksmana yang sangat terhormat. Ibunya pasti berada di dapur atau di bagian paling belakang rumah ini.

Arin bergegas menuju dapur.

"Ibu?! Apa yang ibu lakukan?" seru Arin melihat sang ibu sedang mencuci alat-alat masak dan tumpukan piring yang tidak terhitung jumlahnya.

Perempuan yang dipanggil ibu itu terkejut. Dia segera membasuh tangannya lalu memeluk Arin.

"Kapan kamu pulang, nak?!"

Suasana dapur yang hiruk pikuk pun terhenti karena adegan ini. Semua mata penghuni dapur tertuju ke arah dua perempuan beda usia yang sedang berpelukan itu.

Setelah mengurai pelukan mereka, Arin menggandeng tangan perempuan yang dia panggil ibu itu. "Kita pulang, Bu."

"Tapi, Rin... " Darsih bingung tidak bisa menolak keinginan Arin tetapi juga tidak bisa mengiyakannya.

"Darsih, apa dia Non Arin yang gemuk itu?" sela salah seorang pembantu.

"Iya, dia Non Arin. Cantikkan?" Darsih tersenyum dengan bangga.

Tempat itu berisi para pembantu keluarga Laksamana, sekitar delapan orang yang rata-rata sudah lama mengabdi di sana. Tentu mereka tahu siapa Arin, meski sekarang terlihat berbeda.

"Sejak dulu memang Non Arin ini cantik. Hanya saja nasibnya tidak secantik wajahnya," balas pembantu itu sambil menatap kagum wajah Arin. "Wajahnya selalu mengingatkan saya pada almarhum Nyonya Lusi, sama cantiknya."

Arin tersenyum sopan kepada pembantu yang dia ingat bernama Tini itu.

"Kamu masih saja membanggakan dia padahal sampai sekarang dia tidak jadi apa-apa. Apa tidak sayang seumur hidup kamu bekerja hanya untuk menghidupi anak orang?" sahut yang lain bernada sinis. "Aku kasihan sama kamu, Darsih. Niatnya ngangkat anak, bukannya meringankan bebanmu tapi malah jadi benalu!" tukas pembantu yang lain yang membuat senyum di wajah Arin hilang seketika.

"Arin bukan benalu!" tegas Darsih. "Asal kamu tahu, Arin sudah menjadi orang sukses di luar kota! Kamu tidak tahu apa-apa, jadi jangan bicara seenaknya!"

"Sukses apanya?!! Kalau dia sudah sukses, lalu buat apa kamu buruh cuci piring di keluarga Laksamana?! Kalau dia jadi orang sukses seharusnya kamu tinggal enak-enak di rumah, terima duit dari dia sebagai balas budi karena kamu telah merawatnya. Lah, ini buktinya? Kamu masih kerja serabutan tidak jelas! Apa jangan-jangan, dia tidak tahu balas budi?! Darsih... Darsih... mau saja dijadikan keset sama anak pemalas ini!"

"Dulu memang dia majikanmu, tapi setelah orang tuanya meninggal dia bukan apa-apamu lagi. Bukan tanggung jawabmu juga. Lebih baik kamu simpan uangmu untuk biaya hari tuamu nanti. Aku hanya mengingatkan daripada nanti kamu menyesal!" timpal yang lainnya.

"Lihat Non Tania! Dia sudah kaya tetapi masih mau bekerja keras merintis karir modelnya mulai dari nol tanpa bantuan orang tua. Padahal dia bisa berfoya-foya menghabiskan harta orang tuanya tanpa perlu susah bekerja. Sementara dia... " menunjuk Arin dengan dagunya, "sudah bagus kamu mau merawatnya, eh... malah ngelunjak minta kuliah di luar kota. Apa dia tidak sadar biaya kuliah mahal dan kamu hanya buruh serabutan?! Masih mending kalau orang tuanya meninggalkan warisan, nyatanya orang tuanya pergi meninggalkan hutang!"

Kalimat-kalimat pedas untuk Arin terus bersahutan. Tadi Arin yang menarik tangan Darsih, sekarang Darsih yang justru menarik tangan Arin mengajaknya segera meninggalkan tempat ini. Dia tidak sampai hati jika Arin harus mendengar semua ini.

"Kita pulang sekarang, Rin," ucapnya tidak tega.

2. Datanglah ke Pesta!

Arin hanya diam selama perjalanan pulang. Kata-kata para pembantu tadi begitu membekas di hati Arin. Mereka dulu bekerja untuk keluarga Arin. Tetapi, setelah Arin miskin, mereka seperti sangat membenci Arin.

"Tidak usah kamu dengarkan omongan mereka tadi!" kata Darsih penuh sesal. Seandainya tadi dia menuruti kata-kata Arin untuk segera pergi tentu Arin tidak perlu mendengar semua hinaan tadi.

Darsih dulunya adalah pembantu di rumah Arin. Dia memutuskan untuk berhenti bekerja di keluarga Laksmana saat Arin di usir dari rumahnya.

Memang waktu itu Pandu, adik dari almarhum papa Arin, memberi Arin sebuah rumah. Dia sengaja membeli rumah itu untuk ditinggali Arin. Meskipun sangat sederhana, Arin sangat bersyukur atas pemberian Om nya itu.

Tapi Arin masih terlalu kecil untuk tinggal sendirian. Darsih yang mengetahui hal itu tidak tega lalu memutuskan untuk menemani Arin tinggal di rumah itu hingga kemudian mengangkatnya menjadi anak lalu mereka tinggal bersama.

Arin sendiri tidak begitu mengerti bagaimana keluarganya bisa tiba-tiba menjadi miskin. Waktu itu dirinya baru berusia sepuluh tahun. Yang dia ingat adalah Angga Laksamana, papanya mengalami kecelakaan yang menyebabkan koma. Setelah satu bulan tidak sadar, Angga dinyatakan meninggal dunia.

Beberapa hari setelah kematian Angga, Pandu Laksamana, adik Angga memberitahu kalau perusahaan yang dimiliki Angga mengalami kebangkrutan. Semua aset peninggalan Angga disita untuk melunasi hutang.

Lusi, mama Arin terkejut mendengar hal itu. Dia terkena serangan jantung lalu meninggal beberapa hari kemudian. Setelah itu hidup Arin berubah seratus delapan puluh derajat. Arin yang tadinya Nona muda berubah menjadi yatim piatu dan tidak punya apa-apa.

"Tetapi yang mereka katakan memang benar. Selama ini aku hanya beban bagi ibu. Aku memang hanya bisa merepotkan ibu," lirih Arin, menundukkan kepala untuk menyembunyikan rasa bersalahnya.

"Siapa bilang? Ibu merasa sangat beruntung karena kamu mau menganggap aku sebagai ibumu." Tatapan mata Darsih yang begitu tulus seakan ikut meyakinkan jika dia mengatakan yang sebenarnya.

"Maafkan aku, Bu. Seharusnya aku tidak melanjutkan kuliah di luar kota. Seharusnya aku tahu diri dan memikirkan kondisi keuangan ibu. Ibu pasti sangat kesusahan karena aku." Jasa Darsih kepada Arin benar-benar tidak terhitung. Perempuan itu rela berkorban demi dirinya padahal mereka tidak ada hubungan keluarga. Entah bagaimana nasib Arin jika tidak ada Darsih.

Memang biaya sekolah Arin ditanggung oleh Pandu hingga dia lulus SMA. Tetapi Darsih yang merawat dan membesarkan Arin juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Apalagi pekerjaan Darsih yang hanya buruh serabutan, tentu kehadiran Arin membuat hidupnya semakin berat. Tapi Darsih ikhlas melakukannya. Dia menyayangi Arin seperti anaknya sendiri karena memang sudah mengenal Arin sejak dia masih bayi.

"Kamu bicara apa? Menguliahkanmu di luar kota adalah keinginan ibu. Kasus itu telah menghancurkan hidupmu. Kamu tidak punya masa depan di kota ini, Rin. Kamu tahu itu!" balas Darsih dengan suara tegas.

"Kenapa ibu mau datang ke rumah itu?!" Tidak mau mengingat kasus memalukan itu, Arin pun mengalihkan pembicaraan.

"Ibu bekerja, Rin. Mereka ada pesta dan kekurangan orang di bagian dapur, jadi ibu diminta untuk bantu-bantu. Bukankah ibu sudah memberitahu kamu lewat pesan, kemarin?"

"Setiap bulan aku mengirim uang untuk Ibu? Apa uang yang aku kirimkan tidak cukup? Apa perlu aku tambah lagi? Lagipula ibu seharusnya tidak boleh bekerja terlalu berat. Ingat hipertensi ibu," tutur Arin mengingat ibunya menderita hipertensi yang sudah menahun.

Perempuan itu tersenyum penuh kasih. "Ibu sehat-sehat saja, Rin. Uang yang kamu kirim juga sudah lebih dari cukup, malah kebanyakan. Tapi ini bukan soal jumlah. Ibu sudah terbiasa bekerja. Rasanya badan ibu sakit-sakit kalau ibu hanya berdiam diri di rumah," kilah Darsih.

Bukan uang tujuan utamanya bekerja di rumah keluarga Laksmana. Ada sesuatu yang tidak bisa dia beritahukan kepada Arin karena memang belum saatnya.

"Tapi aku khawatir. Perasaanku tidak tenang. Karena itulah aku segera pulang untuk memastikan," tutur Arin mengingat bagaimana buruknya sifat Tania dan mamanya.

Padahal bukan sekali ini Darsih bekerja di rumah keluarga Laksmana hanya saja Arin tidak mengetahuinya.

Arin hanya pulang beberapa kali selama delapan tahun kepergiannya. Itu pun hanya untuk mengunjungi Darsih, tidak dengan keluarga besarnya yang lain.

"Kamu tadi bertemu Om dan tantemu?" tanya Darsih. Arin hanya menggelengkan kepala.

"Sudah bertahun-tahun kamu pergi. Dari kamu lulus SMA sampai sekarang kamu sudah memimpin sebuah perusahaan. Apakah belum cukup?" tanya Darsih lagi.

Saat ini Arin memimpin sebuah perusahaan di kota X. Tuan Aji Saka, pemilik perusahaan yang Arin pegang, memiliki beberapa perusahaan yang tersebar di kota-kota besar di negara ini dan Arin dipercaya untuk mengelola salah satunya.

"Ibu sudah bilang padamu kalau minggu depan pesta pertunangan Tania. Undangan untukmu sudah dititipkan kepada ibu. Datanglah!"

"Buat apa?" tanya Arin tak bersemangat.

"Buat mengingatkan orang-orang kalau kamu masih ada. Kamu anak Angga Laksmana. Pemilik sah... " Darsih tidak melanjutkan kalimatnya.

"Pemilik sah apa? Rumah itu, maksud ibu?" tanya Arin. Darsih hanya mengangguk mengiyakan, takut kelepasan bicara.

"Tidak, Bu. Rumah itu sudah menjadi milik Om Pandu. Dia menebusnya dari bank setelah rumah itu dinyatakan disita." Setidaknya, seperti itulah yang Arin dengar.

"Aku tidak mau mengusik Om Pandu. Tante Fatma dan Tania memang jahat. Tetapi Om Pandu tidak. Dia sudah cukup baik dengan membiaya sekolahku selama ini."

"Dia memiliki delapan pembantu yang tinggal di rumahnya, tetapi tidak bisa memberikan satu kamar saja untuk keponakannya?" cibir Darsih.

"Apa ibu lupa jika dia memberiku sebuah rumah? Dia memberikannya setelah aku diusir. Aku yakin tante Fatma tidak tahu jika rumah yang kita tinggali adalah pemberian Om Pandu," bela Arin.

Arin tahu arah pembicaraan Darsih. Sampai saat ini Arin tidak tahu kenapa ibu angkatnya itu tidak begitu menyukai Omnya. Padahal menurut Arin, Pandu sangatlah baik, berbeda dari istri dan anaknya. Seringkali Arin harus meyakinkan ibunya kalau Pandu tidaklah jahat.

"Om Pandu tidak jahat, Ibu," ulang Arin. "Dia hanya takut kepada Tante Fatma. Om Pandu mau saja menerimaku tapi dia tidak bisa karena menjaga perasaan istrinya."

"Terserah kamu, Rin." Darsih mengalah untuk menutup perdebatan tentang Pandu.

"Yang jelas ibu ingin kamu datang ke pesta itu. Tania sudah menghancurkan hidupmu. Dia hidup bahagia sementara kamu terus berkutat dengan luka. Ibu tidak terima. Ibu ingin kamu membalasnya!" kata Darsih berapi-api. Arin yang menjadi korban kejahatan Tania tetapi Darsih terlihat lebih menyimpan dendam kepadanya.

"Datanglah ke pesta itu. Setidaknya, lakukanlah sesuatu yang akan dia ingat seumur hidupnya seperti kamu mengingat perbuatannya kepadamu!"

3. Datanglah ke Pesta 2

Begitu sampai di rumah, Arin langsung masuk ke dalam kamarnya. Arin meletakkan tasnya di atas meja belajar usang yang tidak bergeser satu inchi pun sejak kepergiannya. Mata Arin terpaku pada sebuah kartu yang tergeletak di atasnya.

Itu pasti kartu undangan yang dimaksud ibunya.

Arin meraih kartu undangan itu, lalu dia amati. "Ini baru pesta pertunangan, tapi dari kartu undangannya sudah semewah ini," ucapnya tanpa berniat untuk membukanya.

"Wajar saja, Tania Putri Laksmana mana mau pesta yang biasa!" Arin melemparkan kartu kembali ke tempatnya semula kemudian merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

Arin perlu melemaskan otot-ototnya yang kaku setelah seharian beraktivitas. Dia baru saja tiba di kota ini dan langsung mencari ibunya di rumah Pandu Laksmana, tanpa sempat berganti baju apalagi dandan.

Tania dan Arin masih berstatus sebagai saudara sepupu, tapi Tania tidak pernah menganggapnya seperti itu. Bagi Tania, Arin adalah saingannya.

Sejak kecil Tania tidak menyukai Arin. Keluarga besar Laksamana selalu membandingkan-bandingkan mereka berdua. Arin kecil adalah anak yang ceria, pintar dan secara fisik dia sangat cantik. Arin selalu lebih unggul dalam hal apapun dan itu membuat Tania tidak suka.

Namun, sejak meninggalnya Angga Laksmana, semuanya berubah. Arin terpuruk dan itu perlahan merubah karakter Arin menjadi sosok tertutup dan pendiam.

Tania memanfaatkan kesempatan ini untuk melampiaskan rasa tidak sukanya kepada Arin. Tania kerap mem-bully Arin di sekolah. Tania melarang Arin jangan sampai memberi tahu siapapun kalau mereka masih ada hubungan saudara. Tania mengancam jika papanya akan berhenti membiayai sekolahnya jika Arin macam-macam.

Baru beberapa detik memejamkan mata, bayangan masa lalu berkelebat di pikiran Arin. Kejadian sangat memalukan yang menjadi titik paling rendah dalam hidupnya kembali muncul.

"Tidak! Aku tidak mau mengingatnya!" ucap Arin segera bangkit.

Arin meraih kembali kartu yang tadi dia lempar ke atas meja belajar. Entah kenapa tiba-tiba dia ingin tahu siapa calon tunangan Tania meski pikiran Arin sudah menebak siapa orangnya. Arin hanya ingin memastikannya.

Arin mengernyit membaca nama calon tunangan yang tertera di kartu undangan. "Bukan dia?!" gumamnya penuh tanda tanya.

Arin pikir Tania akan bertunangan dengan kekasihnya semasa SMA. Laki-laki yang tega mempermalukan Arin demi sebuah pembuktian cinta.

"Aku pikir hubungan mereka akan langgeng sampai maut memisahkan!" cibirnya. "Jika bukan dia, lalu dengan siapa? Siapa laki-laki ini?" lanjut Arin sambil terus fokus pada tulisan yang tertera.

"Tania Putri Laksmana & Gama Ernawan... " Mata Arin terus terpaku pada tulisan yang dicetak tebal dengan tinta emas itu. "Gama Ernawan... " Arin mengulang nama itu hingga beberapa kali sambil berusaha mengingat-ingat. Dia merasa tidak asing dengan nama itu.

Arin segera meraih handphone untuk mencari informasi mengenai siapa sosok calon tunangan Tania. Tidak mungkin seorang Tania bertunangan dengan laki-laki biasa.

Tertegun. Begitulah ekspresi Arin setelah dia selesai membaca artikel mengenai siapa sosok Gama Ernawan. Nama belakang laki-laki itu sudah bicara siapa dia. Dia adalah penerus perusahaan Ernawan.

"Pantas aku merasa tidak asing dengan nama itu." Arin kembali bergumam lalu melempar kartu undangan itu asal.

"Tania Laksamana bertunangan dengan seorang Gama Ernawan?! Seorang model terkenal dan pengusaha kaya raya?! Bukankah ini terlalu sempurna?!"

* * *

Pagi harinya, Arin dan Darsih menikmati sarapan di ruang makan yang tergabung menjadi satu dengan ruang tamu.

Darsih masih tinggal di rumah mereka yang dulu, rumah pemberian Pandu. Rumah itu sangat sederhana tetapi Darsih betah di sana.

Dengan posisi Arin yang sekarang, dia lebih dari mampu untuk merenovasi rumah itu atau bahkan membelikan rumah baru untuk Darsih. Tapi, Darsih tidak mau keluar dari sana. Dia ingin mempertahankan rumah itu seperti apa adanya.

"Ibu benar-benar tidak mau pindah? Aku belikan rumah baru atau ibu mau rumah ini direnovasi? Bujuk Arin untuk yang kesekian kalinya. "Akan lebih baik lagi kalau ibu mau tinggal bersamaku di kota X."

"Jawaban Ibu masih sama, Rin. Tidak akan berubah sampai kapanpun!"

Arin hanya bisa menghela nafasnya. Sulit sekali membujuk ibunya.

"Ibu takut akan lupa semua kenangan itu jika rumah ini direnovasi."

Kenangan, hal itu jugalah yang membuat Arin tidak nyaman untuk tinggal di rumah ini lagi. Bukan karena kondisinya yang sederhana melainkan karena kenangan yang ada di dalamnya. Kenangan yang tidak ingin Arin ingat.

"Aku sudah melupakannya, Bu. Kenapa ibu masih terus mengingatnya? Aku sudah move on dengan hidupku, ibu juga seharusnya begitu," tutur Arin sambil mengunyah makanannya, berusaha bersikap biasa.

Memang Arin sudah melanjutkan hidupnya dengan baik, tetapi bukan berarti Arin sudah berhasil melupakan kejadian memalukan itu.

Dari luar memang semua terlihat baik-baik saja. Mudah juga bagi Arin untuk berkata dirinya sudah melupakan itu semua. Tetapi tidak ada yang tahu gejolak di hati Arin setiap kali mengingat kejadian itu. Rasa malu dan sakit itu akan selalu membekas di hatinya.

"Apa maksudmu Ibu harus melupakan kejadian dimana Ibu membuka pintu dan menemukan kamu tergelak bersimbah darah?"

"Cukup, Ibu! Jangan bicarakan itu!" Arin melirik sekilas bekas sayatan di pergelangan tangan kirinya. "Aku melakukan itu karena waktu itu aku sangat bodoh! Aku sangat menyesal dan aku tidak mau mengingatnya!" tegasnya.

"Apa kamu akan melupakannya begitu saja? Karena kejadian itu, orang-orang menyebutmu 'Gadis tidak bermoral'! Kamu bahkan kehilangan beasiswamu karena kasus itu! Mimpimu kandas, Rin. Bagaimana kamu bisa diam saja dan menerima itu semua sementara orang yang telah menghancurkan hidupmu hidup bahagia?"

"Jejak digital tidak tidak akan pernah hilang. Bukalah internet dan kamu akan menemukan berita tentangmu masih tertulis di sana meski sudah bertahun-tahun lamanya. Dan itu semua karena ulah Tania!" tutur Darsih dengan suara tegas dan menggebu.

Arin terdiam tidak bisa menyangkal. Semua yang dikatakan ibunya benar.

"Datanglah ke pesta itu!" ucap Darsih kembali melunak.

"Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan. Mereka sudah sangat sering menyakitimu. Kamu pasti sudah kebal. Lagipula kamu sudah bisa membela diri sekarang. Aku lebih khawatir kalau kamu tidak datang dan pestanya berjalan lancar. Mereka akan sangat bahagia," tutur Darsih melihat keraguan di mata Arin.

Arin mengernyit. "Aku tidak mengerti maksud ibu."

Arin memang membenci Tania, sampai kapanpun dia tidak akan pernah lupa apa yang telah sepupunya itu lakukan kepadanya. Tetapi untuk membalas, sepertinya Arin tidak ingin melakukannya. Yang lalu biarlah berlalu. Toh hidupnya sekarang sudah baik-baik saja.

Memang Arin gagal menjadi dokter seperti yang dia cita-citakan, tetapi sekarang dia memimpin sebuah perusahaan. Apalagi yang harus dia keluhkan? Itu adalah sebuah prestasi yang membanggakan meskipun Arin merasa ada sesuatu yang kurang.

"Kamu harus datang dan mencuri perhatian semua orang. Setidaknya kamu bisa membuat mereka merasa kesal di hari yang seharusnya penuh kebahagiaan."

"Ibu ingin aku merusak pesta pertunangan Tania?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!