Ardi terduduk di trotoar, tubuhnya lunglai seolah seluruh beban dunia menekan di pundaknya. Matahari sore merayap perlahan, memantulkan cahaya oranye yang membuat bayangan tubuhnya tampak lebih rapuh dari kenyataannya.
Tangannya menutup wajah, rambut acak-acakan menempel pada kening yang basah oleh keringat. Napasnya berat.
“Istriku… sudah telat cuci darah sehari,” gumamnya parau, suaranya nyaris tak terdengar. “Kesehatannya… menurun drastis. Kemana lagi aku harus mencari uang untuk Kemala?”
Ia menunduk lebih dalam, menatap aspal yang retak. Retakan itu seperti hidupnya, patah, hancur, kehilangan arah.
PHK massal telah merenggut pekerjaannya. Rumah satu-satunya sudah ia jual untuk membuka toko kelontong kecil. Baru lima bulan ia dan keluarganya merasakan sedikit harapan, tapi si jago merah mengamuk di pasar, melahap semuanya. Ardi bahkan tak sempat menyelamatkan apa pun dari usahanya.
Motor tua yang dulu setia mengantarnya bekerja pun sudah terjual, demi satu-satunya hal yang masih ia genggam. Nyawa Kemala.
Namun, nyawa itu kini seolah tergantung pada seutas benang tipis. Biaya cuci darah terlampau besar. Ia rela bekerja apa saja demi mendapatkan uang, tetapi tetap tak sanggup mengejar angka-angka yang terus menagih.
“Aku… nggak siap kehilangan Kemala.” Suaranya pecah. “Dan Kevia? Dia masih terlalu kecil… masih butuh ibunya. Tuhan… hamba harus gimana?”
Ardi menekuk tubuh, wajahnya hampir menyentuh lutut. Air matanya jatuh, bercampur dengan debu trotoar. Orang-orang lewat memerhatikannya. Ada yang mengernyit, ada yang melirik iba, lebih banyak lagi yang hanya lewat tanpa peduli.
Dunia seperti berputar tanpa sudi menoleh pada kesedihannya.
Ardi memejamkan mata, berusaha menenangkan gejolak di dadanya. Ia mencoba berpikir jernih, walau otaknya seperti dihimpit tembok tak berujung.
Lalu… suara itu terdengar.
Lembut, namun menusuk.
“Aku akan menanggung biaya cuci darah Kemala… selamanya.”
Ardi terhenyak. Kepalanya terangkat perlahan. Matanya membelalak, mencari sumber suara.
Dan saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya, napasnya tercekat.
Di depannya, berdiri seorang wanita dengan tubuh tegak, wajah terawat, sedikit lebih muda darinya. Rambut hitam bergelombang jatuh di bahu, bibirnya terukir senyum samar. Senyum yang justru membuat dada Ardi makin sesak.
Rima.
Nama itu menyalak di dalam kepalanya.
Wanita yang sejak remaja dulu tak pernah berhenti mengejarnya. Wanita yang terang-terangan menantang Kemala, namun akhirnya kalah karena hatinya, ruang yang penuh oleh cinta, hanya tertuju pada satu orang. Kemala.
Saat ia memilih Kemala sebagai pendamping hidup, Rima akhirnya menjauh. Setidaknya begitu yang Ardi kira. Tapi sekarang, bertahun-tahun kemudian, ia berdiri lagi di hadapannya. Masih dengan sorot mata yang sama. Kali ini, lebih berani, lebih matang, dan entah kenapa terasa berbahaya.
“Kau…” gumam Ardi lirih, separuh tak percaya.
Rima tersenyum. Senyum yang lembut, tapi Ardi bisa merasakan ketajaman tersembunyi di baliknya.
“Aku nggak kaya raya, Ar,” ucapnya pelan, namun setiap kata terdengar mantap. “Tapi aku lebih dari mampu… jika hanya untuk membiayai cuci darah Kemala. Aku punya dua minimarket, dan satu biro pengiriman barang. Sekarang sedang ramai. Kau tahu sendiri, orang-orang makin tergantung pada toko online.”
Ardi terdiam. Kata-kata itu menancap seperti paku di benaknya. Menanggung biaya cuci darah Kemala… selamanya? Dari mulut Rima? Wanita yang dulu menjadi saingan istrinya?
Tak masuk akal. Tak bisa dipercaya.
“Bagaimana?” suara Rima kembali mengalun, kali ini lebih halus, nyaris seperti bisikan. “Kita bicara di mobilku.”
Perkataannya lebih mirip ajakan yang tak memberi pilihan.
Ardi menunduk. Ragunya menjerit, logikanya menolak, namun bayangan wajah Kemala yang pucat dan tubuhnya yang melemah menghantam lebih keras. Demi wanita yang ia cintai, demi putrinya yang masih terlalu kecil untuk kehilangan ibunya, ia tak punya banyak waktu untuk ragu.
Pelan, berat, Ardi mengangguk.
Senyum Rima mengembang. Ada kilatan yang tak bisa disembunyikan dari matanya. Entah itu kebahagiaan… atau mungkin awal dari sebuah kemenangan yang sejak lama ia nantikan.
Begitu duduk di mobil, Ardi langsung bersuara, tanpa menatap wanita di sampingnya, jelas enggan berlama-lama dengan Rima.
“Di dunia ini nggak ada yang gratis.” Suaranya parau, membelah keheningan mobil. Tatapan Ardi lurus ke depan, rahangnya mengeras. “Kau pasti punya syarat untuk membantuku, kan? Apalagi… dulu kau saingan Kemala.”
Rima terkekeh lirih. Senyumannya penuh percaya diri.
“Ardi sayang,” ucapnya manis, “kau memang nggak pernah berubah. To the point. Dan itu selalu bikin aku tertarik.” Ia mencondongkan tubuh, mata berkilat. “Ya, kau benar. Tak ada yang gratis di dunia ini.”
Ardi menghela napas, firasatnya terbukti.
“Aku bersedia menanggung semua biaya cuci darah Kemala… selamanya,” kata Rima datar, tapi dengan senyum penuh kemenangan. “Hitam di atas putih. Tapi syaratnya... ceraikan dia.”
Ardi menoleh, tersenyum pahit. “Sudah kuduga. Tapi sejak janji suci itu terucap, aku bersumpah… Kemala tetap satu-satunya istriku. Dunia akhirat.”
Rima mendengus, lalu bersandar santai. Senyumannya melebar, tapi dingin.
“Kalau begitu… kau akan membiarkannya mati?”
Ardi memejamkan mata, dadanya terasa sesak. Ia sudah mencoba segala cara untuk bertahan. Pagi hingga sore ia bekerja serabutan, berjualan keliling, menjadi kuli bangunan, kuli panggul, memeras tenaga hingga tulangnya seakan berteriak.
Saat matahari turun, ia masih memungut botol bekas hingga larut malam. Tidurnya hanya sebentar. Sebelum fajar, ia kembali menyusuri tumpukan sampah demi beberapa rupiah. Namun sekeras apa pun ia berjuang, uang itu selalu habis, tak pernah cukup untuk membayar cuci darah rutin Kemala.
“Tuhan… aku nggak siap kehilangannya…” hatinya terasa diremas tiap kali bayangan kehilangan itu datang. Bayangan Kemala pergi selamanya hanya karena ia tak mampu membiayai hidupnya, itu terlalu menyakitkan.
Rima menatapnya, senyum miring terbit di bibirnya. "Oke." Ia mencondongkan wajah, suaranya terdengar dingin. “Aku tak memintamu menceraikannya. Dia tetap jadi istrimu. Tapi sebagai imbalan… kau menikah denganku.”
Rima kembali menyandarkan punggung ke kursi, lalu menatap Ardi dengan penuh percaya diri. "Tak apa aku jadi yang kedua. . Itu cukup untuk membuktikan, bahwa aku bisa memiliki dirimu.”
Tangannya terulur, mengusap rahang Ardi dengan lembut. Refleks, Ardi menepis kasar. Wajahnya menegang, antara muak dan putus asa.
Rima tidak marah. Ia hanya tersenyum kecut, lalu menembakkan kata-kata berikutnya dengan kejam, tanpa jeda, seperti peluru.
“Kau tak punya pekerjaan tetap. Kemala akan mati kalau tak cuci darah. Anakmu, Kevia, akan kehilangan ibunya. Kalian tinggal di kontrakan sempit dua kamar yang bahkan bocor kalau hujan. Kau pikir masa depan anakmu akan seperti apa?”
Ardi terdiam. Kata-kata itu menohok, karena semua benar.
“Aku memberimu kesempatan menyelamatkan istrimu,” Rima melanjutkan, nadanya kini lembut tapi mencekik. “Menyelamatkan masa depan putrimu. Semua bisa kau dapatkan hanya dengan satu kata: ya. Tapi kalau kau menolak… berarti kau lebih mementingkan egomu. Cinta mulia yang kau banggakan itu? Ego, Ardi. Kau tega membiarkan mereka hancur hanya karena kau tak mau mengorbankan harga diri.”
Ardi terdiam.
Ego? Bukan. Ini tentang cinta, tentang janji yang pernah ia ucapkan di depan Tuhan. Tapi apa arti janji jika ia hanya bisa duduk di samping ranjang Kemala, menatap istrinya sekarat karena tak ada uang? Apa arti setia kalau akhirnya hanya menyisakan penyesalan di hadapan putrinya yang kehilangan ibu?
Ardi menatap kosong ke luar jendela. Hatinya berteriak menolak, tapi logikanya dicekik realita. Bayangan wajah Kemala yang lemah, Kevia yang masih terlalu kecil… semuanya menekan dadanya.
Ia tahu, sekali ia mengangguk, hidupnya tak lagi sama. Tapi jika tidak… ia mungkin akan kehilangan segalanya.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Sayang…” panggilnya lirih. Suaranya bergetar. “Aku… ingin menikah lagi.”
To be continued
Rima melirik ke arah Ardi. Senyum kecil melengkung di bibirnya, tenang tapi penuh kuasa.
“Ini memang keputusan berat,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan menggoda. “Karena itu, aku akan memberimu waktu untuk berpikir. Tapi ingat, Ardi… Kemala tak punya banyak waktu untuk menunggumu. Apalagi hanya untuk merenung.”
Ardi terdiam. Dadanya sesak seperti terhimpit batu besar. Rasanya ia sedang berada di persimpangan jalan gelap. Jika ia berhenti terlalu lama, kendaraan dari belakang akan menghantam, menghancurkannya bersama semua yang ia lindungi.
Tanpa berkata apa-apa, Rima mengeluarkan secarik kertas kecil dari tasnya. Ia menuliskan nomor telepon, lalu menyelipkannya ke tangan Ardi. Gerakannya halus, seperti menaruh beban tak kasatmata di genggaman pria itu.
Ardi terdiam, menatap kertas itu sejenak. Tangannya mengepal di pangkuan, wajahnya kaku menahan gejolak yang ingin meledak. “Aku… akan bicarakan ini dengan anak dan istriku.” Suaranya datar, nyaris tanpa jiwa.
Ia meraih tuas pintu, membukanya tanpa menoleh, tanpa pamit, tanpa senyum.
Langkahnya berat, tapi mantap. Setiap gerakan seperti membawa beban dosa yang belum terjadi tapi sudah menghantuinya.
Rima menatap punggung Ardi yang menjauh. Senyum miring mengembang, seperti seorang yang tahu jalannya menuju kemenangan terbuka lebar.
“Kau masih tetap tampan, meski usiamu sudah menua…” bisiknya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Dan sialnya… aku masih menginginkanmu. Meski kini kulitmu kusam, tubuhmu kurus tak terurus karena terlalu keras bekerja dan kurang istirahat…”
Ia bersandar ke jok, matanya menyipit, kilat obsesi dan dendam menyala di sana.
“Kali ini, Ardi… pria yang selalu menolakku itu, akan kugenggam sepenuhnya.” Rima menatap telapak tangannya yang mengepal, seakan Ardi sudah terkunci di sana. Senyum puas mengembang di bibirnya. “Dan kau, Kemala…” ia tertawa pelan, namun sorot matanya menusuk dingin.
“Dulu, semua orang memujamu, Kemala. Kecerdasanmu, kecantikanmu… membuatku seolah hanya bayangan yang tak pernah dianggap. Setiap pria yang kusukai, satu per satu berpaling padamu."
Rima terdiam, rahangnya mengeras. “Bahkan Ardi… cinta pertamaku. Lelaki yang tumbuh bersamaku sejak kecil, yang sempat hilang sekian lama. Saat ia kembali, aku berharap semesta memberiku kesempatan. Tapi ternyata cukup sekali ia menatapmu. Sekali saja, dan hatinya jatuh padamu. Bukan padaku. Seakan aku hanyalah batu pijakan yang tak pernah ia lihat.”
Lalu, Rima tersenyum, tapi licik, pahit, penuh racun yang disimpan bertahun-tahun.
“Tapi sekarang? Kau hanya wanita berpenyakit. Rapuh. Tak berdaya. Kau akan tetap hidup… karena aku akan memastikan cuci darahmu terjamin. Tapi aku tak akan membiarkanmu sembuh. Aku ingin kau panjang umur hanya untuk menyaksikan lelaki yang kau cintai tidur sekamar… dan menghabiskan malam denganku.”
Tawa kecilnya bergema di dalam mobil. Lembut, tapi menusuk.
Seperti lolongan kemenangan seorang wanita yang akhirnya berhasil menjerat masa lalunya.
***
Di sisi lain, Ardi melangkah pulang dengan langkah gontai. Kepalanya dipenuhi suara-suara yang saling beradu, seperti palu menghantam besi panas.
“Menikah lagi?” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan yang ia sendiri takut dengar.
Tanpa sadar, ia tertawa getir. Pahit. Asing. Pikiran itu menusuk jiwanya seperti duri yang tak bisa dicabut.
Tak pernah sekali pun terlintas untuk menduakan Kemala. Bahkan saat tubuh istrinya rapuh, terikat oleh sakit yang tak kunjung sembuh, cintanya tak pernah goyah. Ia tak bisa berpaling darinya.
"Kini, aku dipaksa memilih," lirihnya, tersenyum pahit.
Menyelamatkan Kemala dengan melukai hati anak-istrinya, bahkan dirinya sendiri, atau menolak peluang itu, yang berarti tak lama lagi akan kehilangan wanita yang paling ia cintai. Dan Ardi tahu, ia tak pernah siap kehilangan Kemala.
“Kenapa aku harus dihadapkan pada pilihan seperti ini?” bisiknya lagi, suaranya serak.
Meski Ardi sudah terdaftar sebagai peserta BPJS, beban biaya keluarga tak serta-merta hilang begitu saja. Cuci darah memang ditanggung penuh, tapi kenyataannya ada banyak hal lain di luar itu.
Obat-obatan tambahan yang tak tercakup dalam daftar BPJS, vitamin penunjang, obat antivirus, hingga obat untuk menstabilkan tekanan darah, semua itu harus ia beli sendiri. Belum lagi biaya laboratorium tertentu, diet khusus rendah garam dan protein, serta ongkos transportasi pulang-pergi rumah sakit dua kali seminggu.
Semua itu perlahan menggerus tabungan keluarga. Satu per satu aset mereka terjual, hingga akhirnya tak ada lagi yang tersisa selain tempat berteduh sederhana di sebuah kontrakan kecil yang mereka sebut rumah. Bukti nyata bahwa penyakit itu bukan hanya menggerogoti tubuh sang istri, tetapi juga kehidupan seluruh keluarga.
Ardi terbiasa menunduk lama di depan daftar belanja bulanan. Pekerjaan yang dulu ringan di tangan Kemala, kini terasa berat di pundaknya. Ia harus memilih dengan hati-hati, mana yang benar-benar prioritas, mana yang bisa ditunda.
Dan setiap kali menerima nota obat dari apotek, jantungnya terasa seperti ditusuk. Nominal itu sering lebih besar dari uang yang ia genggam. Dengan berat hati, ia kerap hanya menebus setengah resep, sisanya menunggu hingga punya cukup uang, seolah penyakit bisa sabar menanti.
Pikirannya terus berkecamuk hingga akhirnya ia tiba di depan kontrakan kecil itu. Ia berhenti, menatap pintu yang kusam.
Matanya terpejam. Tangan terkepal.
"Aku harus kuat. Aku harus mengambil keputusan terbaik untuk keluargaku… meski itu akan menyakitkan."
Ia membuka mata, ada keteguhan baru yang berusaha ia tanamkan di sana, meski rapuh. Tangannya meraih gagang pintu.
Begitu pintu terbuka, aroma sederhana rumah menyambutnya. Aroma yang mengingatkannya… untuk siapa semua ini ia jalani.
Dari dapur mungil di belakang terdengar suara spatula beradu dengan wajan. Tanpa perlu melihat, ia tahu siapa di sana. Kevia, putrinya yang baru SMP, sedang memasak makan malam seadanya. Usianya masih terlalu muda, tapi sudah harus memikul beban yang seharusnya jauh di luar genggamannya.
Ardi menelan perih di tenggorokan lalu melangkah ke kamar. Di sana, Kemala terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, napasnya pendek-pendek. Namun ketika menyadari Ardi hadir, matanya terbuka perlahan. Senyum samar terbit di wajahnya, rapuh tapi penuh cinta.
“Kau sudah pulang?” suaranya lirih, seakan setiap kata mencuri sisa tenaga yang dimilikinya.
Ardi tersenyum tipis. Senyum yang hanya berhenti di bibir, tak sanggup menyeberang ke matanya. Ia duduk di tepi ranjang, mengusap rambut istrinya dengan lembut. Sakit rasanya, menyadari belakangan ini ia lebih sering berada di luar rumah mencari uang, daripada menemani wanita yang sudah memberikan segalanya untuknya.
Tangannya menggenggam jemari Kemala. Hangat, tapi entah kenapa, kali ini kehangatan itu tak mampu menenangkan hatinya. Justru membuat dadanya kian bergejolak, karena apa yang akan ia katakan terasa seperti belati bagi dirinya sendiri.
“Sayang…” panggilnya lirih. Suaranya bergetar. “Aku… ingin menikah lagi.”
Kepala Kemala seketika terangkat, matanya membesar seakan dipukul palu godam. Hatinya seakan diremas tak kasat mata. Namun bukannya marah, ia justru tersenyum tipis. Senyum yang lebih mirip luka.
“Karena aku sudah tak bisa melayanimu, ya? Karena aku hanya jadi bebanmu?” bisiknya. Bibirnya bergetar, menahan air mata yang mendesak keluar.
Ardi buru-buru menggeleng, wajahnya menunduk dalam, suaranya serak. “Bukan, Sayang. Aku ingin menikah lagi… bukan karena aku tak puas denganmu. Bukan karena cintaku berkurang. Justru sebaliknya. Aku ingin melakukannya supaya kau bisa tetap hidup. Supaya kau bisa terus bersamaku, bersama Kevia.”
Kemala menatapnya, bingung. “Apa maksudmu?”
Ardi menghela napas panjang, lalu menatap istrinya dengan mata basah. “Aku sudah berusaha sekuat tenaga, bekerja siang malam. Tapi aku tak mampu membiayai cuci darahmu lagi. Ada seseorang… yang bersedia menanggung semua biaya. Selamanya. Asal aku mau menikah dengannya.”
Kemala terdiam, jantungnya berdetak tak karuan. “Siapa…?” suaranya lirih, penuh rasa tak percaya.
“Rima,” ucap Ardi akhirnya. Nama itu terdengar seperti palu terakhir yang menghantam dadanya. “Dia bersedia menanggung semua… asal aku menikahinya. Tapi aku tak akan menceraikanmu. Kau tetap istriku, sampai kapan pun.”
Air mata Kemala pecah, jatuh membasahi pipi yang pucat. “Ardi… semua yang kau lakukan, siang malam bekerja, memeras tubuh, dan sekarang… menikah dengan wanita lain… semuanya demi aku? Cukup, Ardi. Cukup. Aku tak ingin membebanimu lagi.” Suaranya pecah, tubuhnya bergetar. “Aku rela… kalau memang waktuku harus berakhir.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Ardi segera menggenggam tangan istrinya lebih erat, air matanya ikut jatuh. “Jangan bicara begitu, Sayang. Kevia masih kecil. Dia masih butuh kamu. Aku pun… aku nggak siap kehilanganmu.”
Kemala memejamkan mata. Perih menusuk dadanya. Kata-kata Ardi membuat hatinya bimbang. Jika suaminya saja tak sanggup kehilangan, bagaimana dengan putri kecil mereka?
Namun di sisi lain, rasa bersalah kembali menghantam.
“Ardi… aku hanya beban. Aku membuatmu susah, membuat anak kita ikut menderita. Kalau bukan karena aku, hidup kalian pasti lebih ringan…”
Namun seketika bayangan wajah Kevia hadir. Putrinya yang masih terlalu kecil, masih butuh pelukan ibu, kasih sayang yang tak tergantikan. Hatinya remuk.
“Tapi… aku juga tak sanggup membayangkan Kevia tumbuh tanpa aku. Dia masih terlalu muda, Ardi…”
Ardi menggenggam tangannya erat, matanya basah. "Kemala... aku tak yakin bisa tanpamu..."
Kemala melihatnya. Tatapan penuh cinta dan takut kehilangan itu membuatnya runtuh. Lalu ia teringat wajah Kevia yang berbinar lega setiap kali melihatnya membuka mata, seolah berkata: syukurlah ibu masih hidup. Dan rasa sakitnya kian dalam.
Kemala menatap suaminya dengan mata basah. Hatinya berperang hebat. Ia tahu Ardi melakukannya demi dirinya, demi memperpanjang waktunya di dunia.
“Kalau… kalau dengan kau menikah lagi bisa membuatmu lebih kuat, bisa membuat Kevia tetap punya ibu, dan aku bisa bertahan sedikit lebih lama… maka lakukanlah.” Bibirnya bergetar, kalimat itu merobek hatinya sendiri. “Meski… wanita mana sanggup dimadu? Tak ada. Tapi aku tak punya pilihan lain.”
Ia memejamkan mata, air matanya kembali tumpah. “Aku juga sadar, aku tak lagi bisa melayanimu seperti dulu. Bahkan kebutuhanmu sebagai seorang pria pun sudah tak bisa kupenuhi. Wajar kalau kau butuh itu, Ardi. Dan aku… hanya bisa memberimu izin, meski hatiku hancur.”
Ardi cepat-cepat menggeleng, suaranya serak. “Jangan bicara begitu, Sayang. Aku ingin kau tetap di sisiku. Aku tak peduli soal itu. Yang kupedulikan hanya satu, kau tetap hidup bersamaku dan Kevia.”
Tangis Kemala pecah. Perasaan bersalah, cinta, dan keinginan untuk tetap hidup bercampur jadi satu, menyesakkan dadanya. Ia memeluk Ardi erat-erat, seolah pelukan itu bisa menunda perpisahan yang sudah mengintai.
Ardi perlahan melepaskan pelukan itu. Mata pria itu memerah, suaranya bergetar. “Maafkan aku, Kemala. Aku tahu ini akan menyakitimu… juga Kevia. Tapi aku nggak punya jalan lain.”
Kemala menatap wajah suaminya yang kusut. Air mata terus jatuh di pipinya yang pucat. “Ini bukan salahmu. Aku… aku yang membuat kita hidup menderita.”
Ardi menggeleng keras. “Jangan bilang begitu. Aku yang gagal jadi suami. Bahkan mencari nafkah pun aku nggak becus. Dan sekarang… aku menyeretmu ke pilihan seburuk ini.”
Kemala menunduk. “Kevia… apa dia bisa menerima ayahnya menikah lagi?”
Suara Ardi merendah, hampir tak terdengar. “Aku akan bicara dengan Kevia. Dia anak yang baik, cerdas… dia pasti mengerti.”
Namun jauh di hatinya, Ardi sadar, yang ia sebut “mengerti” hanyalah luka lain. Putrinya terpaksa dewasa sebelum waktunya, menelan pahit yang bukan untuk usianya.
Ia menempelkan kening pada kening Kemala. “Aku tak pernah ingin menduakanmu. Tapi kalau ini satu-satunya cara agar kau tetap ada di sampingku, agar Kevia tetap punya ibunya… aku rela menanggung dosanya. Asal jangan tinggalkan aku.”
Tangis Kemala kembali pecah. Dadanya sesak oleh perasaan yang campur aduk, cinta, sakit hati, takut, dan sayang yang terlalu besar untuk melepaskan. Ia hanya bisa memeluk Ardi erat, seolah pelukan itu bisa menunda kenyataan pahit yang sebentar lagi akan tiba.
Saat langkah kecil mendekat, Ardi dan Kemala buru-buru menghapus air mata yang masih membasahi pipi.
Kevia muncul dengan langkah hati-hati, kedua tangannya memegang nampan berisi sepiring kecil makanan hangat yang ia masak sendiri.
“Ayah sudah pulang?” tanya Kevia. Rambutnya tampak sedikit berantakan, matanya berbinar meski sorot lelah tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Namun, senyum tulus tetap merekah di bibir mungilnya.
“Iya, Sayang,” jawab Ardi dengan senyum tipis yang dipaksakan di tengah badai hatinya. “Makanan buat Ibu, ya?”
Kevia mengangguk. Tapi dahi mungilnya sempat berkerut ketika melihat mata orang tuanya basah, meski jelas-jelas tadi telah diusap. Namun ia tak bertanya. Hanya tersenyum lagi, menahan rasa ingin tahu.
“Sini, biar Ayah aja yang nyuapin Ibu. Kamu istirahat dulu, ya,” ucap Ardi lembut.
Kepercayaan itu cukup. Kevia menyerahkan nampan pada ayahnya. Ardi kemudian membantu Kemala duduk dengan penuh hati-hati, lalu menyuapinya dengan telaten, seakan setiap sendok nasi adalah doa agar istrinya tetap bertahan hidup. Kevia menatap sebentar, lalu beranjak kembali ke dapur, melanjutkan pekerjaan rumah lain yang menunggu.
Beberapa menit kemudian, Ardi sudah duduk di lantai beralas tikar tipis yang mulai usang. Bersama Kevia, ia menyantap masakan sederhana yang dibuat anaknya. Sambal, sayur rebus, tempe, dan sedikit ikan asin. Makanan yang miskin rupa, namun kaya rasa, karena dimasak dengan cinta dan ketulusan seorang anak yang terlalu cepat dewasa.
“Masakan Kevia makin enak, tidak kalah dari masakan ibu,” puji Ardi tulus. Memang benar, masakan putrinya itu lezat.
Kevia tersenyum malu-malu, namun jelas tampak kebahagiaan di wajahnya mendengar pujian ayahnya.
Ardi balas tersenyum sambil mengusap kepala putrinya dengan penuh sayang. Dalam hati ia berjanji, “Akan Ayah korbankan apa pun demi melihat senyum ini, juga senyum ibumu.”
Usai makan, Ardi menatap putrinya lama. Hatinya tercekat. Ruang kecil yang sekaligus menjadi ruang tamu, ruang makan, dan ruang keluarga, mendadak terasa terlalu sesak menampung semua beban pikirannya.
“Via…” suara Ardi bergetar. “Ayah ingin bicara sesuatu.”
Kevia menoleh cepat. “Ada apa, Yah?” tanyanya polos, meski insting halusnya menangkap kegelisahan yang menggantung di udara.
Ardi menghela napas panjang, seakan menarik keberanian terakhir dari udara yang berat itu. Tangannya meraih jemari kecil putrinya, menggenggam erat.
“Maafkan Ayah, Via…” suaranya nyaris pecah. “Ayah akan menikah lagi.”
Kevia terdiam. Matanya membesar, tubuhnya kaku. Kata-kata itu seperti batu besar yang dilemparkan ke dalam hatinya.
Ardi buru-buru melanjutkan, takut anak itu salah paham. “Bukan karena Ayah nggak mencintai Ibu lagi. Justru karena Ayah terlalu mencintai Ibu… Ayah nggak rela kehilangan dia. Ayah sudah berusaha, Via. Ayah bekerja siang malam, banting tulang… tapi uang Ayah nggak cukup. Ibu nggak bisa menunggu, Sayang. Ibu butuh cuci darah sekarang… bukan nanti.”
Baru saat itu air mata Kevia jatuh. Tertahan sejenak, lalu pecah tanpa bisa dikendalikan.
“Menikah lagi… demi Ibu?” suaranya lirih, nyaris berbisik.
Ardi tak sanggup lagi. Ia merengkuh tubuh mungil anaknya ke dalam pelukan. “Maaf, Sayang… maaf. Ayah gagal jadi kepala keluarga. Membuat kamu harus kerja di rumah, masak, menggantikan Ibu. Membuat kamu harus dewasa sebelum waktunya. Membuat kamu… ikut menderita.” Suaranya pecah, tenggelam dalam tangisan yang ia tahan terlalu lama. “Ayah nggak punya jalan lain.”
Di dalam pelukan itu, Kevia memejamkan mata. Hanya tangisan yang bisa keluar dari tubuh rapuhnya. Namun di balik tangisan itu, ia tahu satu hal, Ayahnya sudah berjuang sampai titik darah penghabisan. Dan demi Ibunya… bahkan rela melukai hatinya sendiri.
Dengan suara bergetar, ia berbisik, “Kalau itu bisa bikin Ibu tetap hidup… Via rela, Yah.”
Ardi memeluknya lebih erat, seolah ingin melindungi putri kecil itu dari semua luka dunia. “Maaf…” ucapnya lagi, tenggelam dalam keputusasaan. Ia tahu, seribu kata maaf pun tak akan cukup menebus luka yang ditorehkannya pada hati putrinya.
Di balik pintu kamar yang setengah terbuka, Kemala berdiri kaku. Tangannya gemetar saat menutup mulutnya rapat, berusaha menahan isak agar tidak terdengar. Namun, tubuhnya tak bisa membohongi hati, air mata jatuh deras membasahi pipi, mengalir tanpa henti.
Suara percakapan di luar sana bagai pisau yang menusuk dadanya. Kata-kata suami yang terucap lirih, penuh luka, menggema di telinganya, membuat napasnya sesak.
Rasa bersalah menghimpit, menjerat jiwanya.
"Semua ini salahku…" batinnya menjerit.
Ia merasa kehadirannya hanya menjadi sumber penderitaan. Suami yang harus memeras tubuh, anak yang kehilangan kehangatan rumah.
Kemala menekuk lutut, merapat ke lantai dingin, lalu berbisik lirih dalam doa yang patah, “Tuhan… aku tak tahu harus bagaimana. Aku hanya ingin melihat mereka bahagia lagi. Tersenyum… seperti dulu. Meskipun tanpa aku.”
Dan malam itu, tangisnya pecah tanpa bisa terbendung, menyatu dengan sunyi.
Malam itu, di ruang kecil beralas tikar tipis, tiga hati terluka dalam diam. Seorang istri yang merasa menjadi beban, seorang ayah yang merasa gagal, dan seorang anak yang terlalu cepat belajar arti pengorbanan.
...🌸❤️🌸...
"Maaf ya, novel kali ini benar-benar mengaduk-aduk emosi. Menguras bak mandi… eh, maksudnya menguras air mata 🤭🙏.
Tapi don't worry, be happy. Endingnya gak bakal bikin nyesek, kok. Gak bakal bikin kalian niat lempar bunga ke penulis lengkap sama potnya 🤭😂. Ada bahagia setelah badai menerpa🌤️.
Siapin tisu dulu sebelum baca, tapi jangan lupa juga siapin senyum manis buat endingnya.
Ingat, habis hujan pasti ada pelangi 🌈.
Jadi plis, jangan sampai ada yang komplain sambil bawa dukun online gara-gara aku sukses bikin kalian nangis 🤭😂🙏.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!