Ardi segera menggenggam tangan istrinya lebih erat, air matanya ikut jatuh. “Jangan bicara begitu, Sayang. Kevia masih kecil. Dia masih butuh kamu. Aku pun… aku nggak siap kehilanganmu.”
Kemala memejamkan mata. Perih menusuk dadanya. Kata-kata Ardi membuat hatinya bimbang. Jika suaminya saja tak sanggup kehilangan, bagaimana dengan putri kecil mereka?
Namun di sisi lain, rasa bersalah kembali menghantam.
“Ardi… aku hanya beban. Aku membuatmu susah, membuat anak kita ikut menderita. Kalau bukan karena aku, hidup kalian pasti lebih ringan…”
Namun seketika bayangan wajah Kevia hadir. Putrinya yang masih terlalu kecil, masih butuh pelukan ibu, kasih sayang yang tak tergantikan. Hatinya remuk.
“Tapi… aku juga tak sanggup membayangkan Kevia tumbuh tanpa aku. Dia masih terlalu muda, Ardi…”
Ardi menggenggam tangannya erat, matanya basah. "Kemala... aku tak yakin bisa tanpamu..."
Kemala melihatnya. Tatapan penuh cinta dan takut kehilangan itu membuatnya runtuh. Lalu ia teringat wajah Kevia yang berbinar lega setiap kali melihatnya membuka mata, seolah berkata: syukurlah ibu masih hidup. Dan rasa sakitnya kian dalam.
Kemala menatap suaminya dengan mata basah. Hatinya berperang hebat. Ia tahu Ardi melakukannya demi dirinya, demi memperpanjang waktunya di dunia.
“Kalau… kalau dengan kau menikah lagi bisa membuatmu lebih kuat, bisa membuat Kevia tetap punya ibu, dan aku bisa bertahan sedikit lebih lama… maka lakukanlah.” Bibirnya bergetar, kalimat itu merobek hatinya sendiri. “Meski… wanita mana sanggup dimadu? Tak ada. Tapi aku tak punya pilihan lain.”
Ia memejamkan mata, air matanya kembali tumpah. “Aku juga sadar, aku tak lagi bisa melayanimu seperti dulu. Bahkan kebutuhanmu sebagai seorang pria pun sudah tak bisa kupenuhi. Wajar kalau kau butuh itu, Ardi. Dan aku… hanya bisa memberimu izin, meski hatiku hancur.”
Ardi cepat-cepat menggeleng, suaranya serak. “Jangan bicara begitu, Sayang. Aku ingin kau tetap di sisiku. Aku tak peduli soal itu. Yang kupedulikan hanya satu, kau tetap hidup bersamaku dan Kevia.”
Tangis Kemala pecah. Perasaan bersalah, cinta, dan keinginan untuk tetap hidup bercampur jadi satu, menyesakkan dadanya. Ia memeluk Ardi erat-erat, seolah pelukan itu bisa menunda perpisahan yang sudah mengintai.
Ardi perlahan melepaskan pelukan itu. Mata pria itu memerah, suaranya bergetar. “Maafkan aku, Kemala. Aku tahu ini akan menyakitimu… juga Kevia. Tapi aku nggak punya jalan lain.”
Kemala menatap wajah suaminya yang kusut. Air mata terus jatuh di pipinya yang pucat. “Ini bukan salahmu. Aku… aku yang membuat kita hidup menderita.”
Ardi menggeleng keras. “Jangan bilang begitu. Aku yang gagal jadi suami. Bahkan mencari nafkah pun aku nggak becus. Dan sekarang… aku menyeretmu ke pilihan seburuk ini.”
Kemala menunduk. “Kevia… apa dia bisa menerima ayahnya menikah lagi?”
Suara Ardi merendah, hampir tak terdengar. “Aku akan bicara dengan Kevia. Dia anak yang baik, cerdas… dia pasti mengerti.”
Namun jauh di hatinya, Ardi sadar, yang ia sebut “mengerti” hanyalah luka lain. Putrinya terpaksa dewasa sebelum waktunya, menelan pahit yang bukan untuk usianya.
Ia menempelkan kening pada kening Kemala. “Aku tak pernah ingin menduakanmu. Tapi kalau ini satu-satunya cara agar kau tetap ada di sampingku, agar Kevia tetap punya ibunya… aku rela menanggung dosanya. Asal jangan tinggalkan aku.”
Tangis Kemala kembali pecah. Dadanya sesak oleh perasaan yang campur aduk, cinta, sakit hati, takut, dan sayang yang terlalu besar untuk melepaskan. Ia hanya bisa memeluk Ardi erat, seolah pelukan itu bisa menunda kenyataan pahit yang sebentar lagi akan tiba.
Saat langkah kecil mendekat, Ardi dan Kemala buru-buru menghapus air mata yang masih membasahi pipi.
Kevia muncul dengan langkah hati-hati, kedua tangannya memegang nampan berisi sepiring kecil makanan hangat yang ia masak sendiri.
“Ayah sudah pulang?” tanya Kevia. Rambutnya tampak sedikit berantakan, matanya berbinar meski sorot lelah tak bisa sepenuhnya disembunyikan. Namun, senyum tulus tetap merekah di bibir mungilnya.
“Iya, Sayang,” jawab Ardi dengan senyum tipis yang dipaksakan di tengah badai hatinya. “Makanan buat Ibu, ya?”
Kevia mengangguk. Tapi dahi mungilnya sempat berkerut ketika melihat mata orang tuanya basah, meski jelas-jelas tadi telah diusap. Namun ia tak bertanya. Hanya tersenyum lagi, menahan rasa ingin tahu.
“Sini, biar Ayah aja yang nyuapin Ibu. Kamu istirahat dulu, ya,” ucap Ardi lembut.
Kepercayaan itu cukup. Kevia menyerahkan nampan pada ayahnya. Ardi kemudian membantu Kemala duduk dengan penuh hati-hati, lalu menyuapinya dengan telaten, seakan setiap sendok nasi adalah doa agar istrinya tetap bertahan hidup. Kevia menatap sebentar, lalu beranjak kembali ke dapur, melanjutkan pekerjaan rumah lain yang menunggu.
Beberapa menit kemudian, Ardi sudah duduk di lantai beralas tikar tipis yang mulai usang. Bersama Kevia, ia menyantap masakan sederhana yang dibuat anaknya. Sambal, sayur rebus, tempe, dan sedikit ikan asin. Makanan yang miskin rupa, namun kaya rasa, karena dimasak dengan cinta dan ketulusan seorang anak yang terlalu cepat dewasa.
“Masakan Kevia makin enak, tidak kalah dari masakan ibu,” puji Ardi tulus. Memang benar, masakan putrinya itu lezat.
Kevia tersenyum malu-malu, namun jelas tampak kebahagiaan di wajahnya mendengar pujian ayahnya.
Ardi balas tersenyum sambil mengusap kepala putrinya dengan penuh sayang. Dalam hati ia berjanji, “Akan Ayah korbankan apa pun demi melihat senyum ini, juga senyum ibumu.”
Usai makan, Ardi menatap putrinya lama. Hatinya tercekat. Ruang kecil yang sekaligus menjadi ruang tamu, ruang makan, dan ruang keluarga, mendadak terasa terlalu sesak menampung semua beban pikirannya.
“Via…” suara Ardi bergetar. “Ayah ingin bicara sesuatu.”
Kevia menoleh cepat. “Ada apa, Yah?” tanyanya polos, meski insting halusnya menangkap kegelisahan yang menggantung di udara.
Ardi menghela napas panjang, seakan menarik keberanian terakhir dari udara yang berat itu. Tangannya meraih jemari kecil putrinya, menggenggam erat.
“Maafkan Ayah, Via…” suaranya nyaris pecah. “Ayah akan menikah lagi.”
Kevia terdiam. Matanya membesar, tubuhnya kaku. Kata-kata itu seperti batu besar yang dilemparkan ke dalam hatinya.
Ardi buru-buru melanjutkan, takut anak itu salah paham. “Bukan karena Ayah nggak mencintai Ibu lagi. Justru karena Ayah terlalu mencintai Ibu… Ayah nggak rela kehilangan dia. Ayah sudah berusaha, Via. Ayah bekerja siang malam, banting tulang… tapi uang Ayah nggak cukup. Ibu nggak bisa menunggu, Sayang. Ibu butuh cuci darah sekarang… bukan nanti.”
Baru saat itu air mata Kevia jatuh. Tertahan sejenak, lalu pecah tanpa bisa dikendalikan.
“Menikah lagi… demi Ibu?” suaranya lirih, nyaris berbisik.
Ardi tak sanggup lagi. Ia merengkuh tubuh mungil anaknya ke dalam pelukan. “Maaf, Sayang… maaf. Ayah gagal jadi kepala keluarga. Membuat kamu harus kerja di rumah, masak, menggantikan Ibu. Membuat kamu harus dewasa sebelum waktunya. Membuat kamu… ikut menderita.” Suaranya pecah, tenggelam dalam tangisan yang ia tahan terlalu lama. “Ayah nggak punya jalan lain.”
Di dalam pelukan itu, Kevia memejamkan mata. Hanya tangisan yang bisa keluar dari tubuh rapuhnya. Namun di balik tangisan itu, ia tahu satu hal, Ayahnya sudah berjuang sampai titik darah penghabisan. Dan demi Ibunya… bahkan rela melukai hatinya sendiri.
Dengan suara bergetar, ia berbisik, “Kalau itu bisa bikin Ibu tetap hidup… Via rela, Yah.”
Ardi memeluknya lebih erat, seolah ingin melindungi putri kecil itu dari semua luka dunia. “Maaf…” ucapnya lagi, tenggelam dalam keputusasaan. Ia tahu, seribu kata maaf pun tak akan cukup menebus luka yang ditorehkannya pada hati putrinya.
Di balik pintu kamar yang setengah terbuka, Kemala berdiri kaku. Tangannya gemetar saat menutup mulutnya rapat, berusaha menahan isak agar tidak terdengar. Namun, tubuhnya tak bisa membohongi hati, air mata jatuh deras membasahi pipi, mengalir tanpa henti.
Suara percakapan di luar sana bagai pisau yang menusuk dadanya. Kata-kata suami yang terucap lirih, penuh luka, menggema di telinganya, membuat napasnya sesak.
Rasa bersalah menghimpit, menjerat jiwanya.
"Semua ini salahku…" batinnya menjerit.
Ia merasa kehadirannya hanya menjadi sumber penderitaan. Suami yang harus memeras tubuh, anak yang kehilangan kehangatan rumah.
Kemala menekuk lutut, merapat ke lantai dingin, lalu berbisik lirih dalam doa yang patah, “Tuhan… aku tak tahu harus bagaimana. Aku hanya ingin melihat mereka bahagia lagi. Tersenyum… seperti dulu. Meskipun tanpa aku.”
Dan malam itu, tangisnya pecah tanpa bisa terbendung, menyatu dengan sunyi.
Malam itu, di ruang kecil beralas tikar tipis, tiga hati terluka dalam diam. Seorang istri yang merasa menjadi beban, seorang ayah yang merasa gagal, dan seorang anak yang terlalu cepat belajar arti pengorbanan.
...🌸❤️🌸...
"Maaf ya, novel kali ini benar-benar mengaduk-aduk emosi. Menguras bak mandi… eh, maksudnya menguras air mata 🤭🙏.
Tapi don't worry, be happy. Endingnya gak bakal bikin nyesek, kok. Gak bakal bikin kalian niat lempar bunga ke penulis lengkap sama potnya 🤭😂. Ada bahagia setelah badai menerpa🌤️.
Siapin tisu dulu sebelum baca, tapi jangan lupa juga siapin senyum manis buat endingnya.
Ingat, habis hujan pasti ada pelangi 🌈.
Jadi plis, jangan sampai ada yang komplain sambil bawa dukun online gara-gara aku sukses bikin kalian nangis 🤭😂🙏.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Anitha Ramto
nyesek banget Kemala..hatinya penuh luka bagaikan di tusuk pedang yang tajam,tapi apalah daya tidak ada pilihan lain suaminya harus nikah lagi demi Ibu...Viapun merelakannya😭
2025-08-20
3
Felycia R. Fernandez
ini Kemala sakit apa sih??
klo ginjal kenapa gak cari pendonor??
dari pada cuci darah terus...
kamu harus punya taktik Ardi...
cepat sembuh kan istrimu...
agar kalian dapat berkumpul lagi bersama
2025-08-20
2
Siti Jumiati
lanjut kak q akan tetap menunggu,dan membaca kelanjutan ceritanya sampai selesai.
walaupun baca ceritanya sambil mengalir air mata seperti air sungai yang mengalir.../Sob/
2025-08-21
2