Rima terkejut sepersekian detik, lalu tertawa kecil, ringan tapi menusuk. “Selain suami pertamaku, mereka hanya pria-pria brengsek. Numpang hidup enak, tak layak dipertahankan. Tapi aku yakin… kamu bukan pria seperti mereka.”
Ardi menghela napas, menatap lurus tanpa menoleh lagi. Suaranya datar, dingin. “Aku bukan orang yang suka memanfaatkan orang lain. Tapi aku juga tidak bisa menjanjikanmu kebahagiaan. Apalagi cinta.”
Rima terkekeh lirih. Tawa yang lebih mirip bisikan tantangan.
“Kita lihat saja nanti,” ujarnya penuh percaya diri.
Ia mendekat sedikit, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Cepat atau lambat… kau akan berpaling padaku. Karena pada akhirnya, hanya aku yang bisa memberimu apa yang dia tidak bisa.”
Ardi terdiam. Rahangnya mengeras, matanya tetap menatap jauh. Dalam hatinya, hanya satu kalimat yang bergaung:
"Tak ada yang bisa menggantikan Kemala."
***
Usai menjalani cuci darah dan menebus obat, Rima mengajak Ardi dan Kemala singgah di sebuah restoran untuk makan siang sekaligus membicarakan kesepakatan mereka.
Restoran itu lengang. Mereka duduk di sudut yang agak tersembunyi, jauh dari hiruk pikuk pengunjung. Rima membuka percakapan dengan nada percaya diri, “Kalian bisa pesan apa saja.”
Ardi dengan telaten memilihkan menu khusus untuk Kemala. Saat makan, tangannya cekatan, wajahnya serius, memastikan istrinya tak salah makan. Rima tersenyum kaku. Ada semburat cemburu yang ia sembunyikan di balik senyum penuh percaya diri.
Usai makan, Rima mengeluarkan map dari tasnya dan menyodorkannya ke meja.
“Ini perjanjian kita sebelum menikah,” ucapnya, nada suaranya tenang tapi sarat dominasi.
Ardi membuka map itu. Dengan sengaja ia mendekatkan dokumen ke arah Kemala, seolah berkata:
“Kau bagian dari ini. Aku tak akan sembunyikan darimu.”
Isinya sesuai yang pernah Rima katakan. Biaya cuci darah Kemala akan ditanggung Rima. Namun, alis Ardi terangkat ketika sampai pada poin kedua.
“Jadi… aku harus mengurus usahamu?” tanyanya datar.
“Tentu saja,” jawab Rima ringan, bibirnya tersenyum tipis. “Saat kau jadi suamiku, wajar bukan kalau kau membantuku? Lagipula, kau tidak punya pekerjaan tetap. Akan lebih baik kalau kau mengurus usahaku.”
Ardi terdiam sejenak. Rahangnya mengeras. “Aku punya tanggung jawab menafkahi keluargaku.”
Rima menyandarkan tubuh ke kursi, tatapannya bergeser sekejap pada Kemala lalu kembali ke Ardi. “Soal biaya hidup, biar aku yang tanggung. Kalian bisa tinggal di rumahku, makan-minum pun kucukupi. Tak perlu lagi tinggal di kontrakan pengap itu. Jadi… kau tak perlu risau soal tanggung jawabmu pada Kemala dan anakmu.”
Suasana meja seketika hening. Hanya denting sendok dan percakapan samar dari meja-meja jauh di dari mereka.
Ardi menatapnya tajam. Suaranya rendah, tapi dingin menusuk.
“Kalau kita tinggal serumah… kau pikir itu tidak akan menyakiti hati istriku?”
Rima kembali tersenyum. “Kau justru akan lebih mudah menengok istri dan anakmu. Kau tidak kehilangan siapa pun, Ardi. Hanya berpindah rumah.”
Tatapannya menusuk Kemala, senyum itu terlalu manis untuk disebut tulus.
Kemala menghela napas pelan. Dalam hati, ia bergumam getir. "Kau sengaja, Rima. Kau ingin aku hancur perlahan, ingin aku kalah secara perlahan. Tapi sayang… aku tak akan memberimu kepuasan itu."
Ardi menggeleng keras. “Aku tidak setuju.”
Rima mengangkat alis, bibirnya melengkung licik. “Kalau begitu, anggap saja cuci darah tadi sebagai hutang. Tapi…” ia mencondongkan tubuh, tatapannya penuh tantangan. “...apa kau yakin bisa membiayai cuci darah Kemala dua minggu lagi?”
Rahang Ardi mengeras, jemarinya mencengkeram map itu terlalu kuat.
Kemala menaruh tangannya di lengan Ardi. Sentuhannya lembut, menenangkan. “Tak apa kalau aku dan Kevia harus tinggal di rumahnya,” ucapnya pelan, senyum tipis terukir di bibirnya.
Ardi menoleh cepat. “Tapi—”
Kemala menatapnya penuh keyakinan, meski tubuhnya ringkih. “Tubuhku mungkin lemah, tapi tidak dengan hati dan tekadku. Bukankah kau masih ingin aku hidup lebih lama bersamamu dan Kevia?”
Ardi tercekat, dadanya sesak oleh keteguhan yang ia lihat di mata istrinya.
"Ya Tuhan," batinnya, "...kenapa ketenanganmu justru lebih menyayat hatiku daripada tangisanmu?"
Kemala tersenyum. Senyum kecil yang rapuh, tapi mengandung keteguhan. Dalam hatinya ia berkata,
"Rima, kau pikir aku akan runtuh? Tidak. Justru kau yang memberiku alasan baru untuk bertahan. Aku ingin hidup lebih lama, bukan hanya demi Ardi… tapi terutama demi Kevia. Putri kecilku. Dan kalaupun suatu hari Ardi berpaling, aku masih punya Kevia. Buah hatiku. Cinta sejatiku. Itu cukup bagiku untuk tetap menegakkan kepala di hadapanmu."
Ardi menggenggam erat jemari Kemala, seolah ingin meminta maaf karena tak bisa melindunginya sepenuhnya.
Dan di hadapan Rima yang tersenyum penuh percaya diri, Kemala justru menatapnya balik dengan tenang. Bukan dengan amarah, tapi dengan keteguhan seorang istri dan ibu.
Seolah berkata, "Kau boleh menusukku dengan kata-kata, tapi aku akan tetap berdiri. Aku tidak akan kalah."
***
Taksi berhenti di depan gang rumah kontrakan kecil mereka. Ardi buru-buru membayar, wajahnya tegang sepanjang perjalanan. Ada banyak yang ingin ia bicarakan dengan Kemala, tapi jelas bukan di tempat itu. Supir taksi di depan terlalu dekat untuk dijadikan saksi obrolan pribadi mereka.
Jam baru menunjukkan pukul satu siang ketika Ardi dan Kemala masuk ke rumah. Suasana terasa sepi. Wajar, Kevia memang belum pulang sekolah pada jam segini. Ardi pun segera menoleh ke arah Kemala.
Ia melepas napas panjang, kasar. “Kemala…” suaranya berat. “Kenapa kau setuju tinggal di rumahnya? Kau tahu siapa Rima. Kau tahu kata-katanya…” Ia terhenti, rahangnya mengeras. Seakan tak sanggup melanjutkan karena terlalu marah.
Kemala hanya tersenyum kecil. Senyum lemah, tapi ada ketenangan aneh di sana. Ia meraih lengan suaminya, jemari ringkihnya menenangkan.
“Kalau aku menolak… kalian tak akan pernah menikah,” ucap Kemala pelan, menatap Ardi penuh kelembutan. Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan lirih, “tapi, katakan padaku, Ardi… apa kau benar-benar ingin mundur dari pernikahan itu?”
Ardi mengembuskan napas berat, kasar, seolah dadanya sesak. “Kalau aku mundur, bagaimana dengan biaya cuci darahmu?” Jemarinya mengusap wajahnya yang tegang. “Aku ingin kau tenang, Mala. Tapi kalau kita tinggal di rumah Rima… aku takut kau bukan hanya sakit tubuh, tapi juga hatimu.”
Mata Ardi bergetar, memandang istrinya dengan perasaan bercampur antara cinta, bersalah, dan takut kehilangan.
Kemala menggenggam tangannya, suaranya pelan tapi mantap, “Ardi… kalau kita memilih terpisah, apa kau yakin Rima akan berhenti mengusik kita? Dia tak akan membiarkan aku dan Kevia hidup tenang. Jadi biarlah… aku memilih bertahan. Aku tak akan menyerah. Demi kau… dan demi Kevia.”
Ardi terdiam. Tangannya terulur menggenggam tangan istrinya erat-erat.
“Kemala…” gumamnya lirih.
Ia menatap dalam mata istrinya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Bukan pasrah, bukan sekadar menerima. Ada kilat tekad, ada api kecil yang menyala di sana. Sesuatu yang membuat dada Ardi sesak, campuran harapan dan ketakutan.
Jika mereka tinggal di rumah Rima nanti… apa Kemala benar-benar sanggup? Apa perempuan ini tidak akan semakin hancur?
Ardi menunduk, mencium jemari rapuh itu, lalu berbisik, “Semoga kau cepat mendapatkan donor ginjal… agar kita bisa kembali hidup bertiga, seperti dulu.” Ia kemudian merengkuh tubuh istrinya, memeluk erat seakan takut kehilangan.
Kemala bersandar di dadanya, menghirup aroma yang begitu akrab. Hangat. Nyaman. Tapi hatinya justru semakin getir.
“Ardi…” bisiknya pelan, “apa kita tak berdosa… menjadikan pernikahan hanya untuk membayar biaya pengobatanku?”
Pelukan Ardi mengeras. Suaranya pecah, rendah namun penuh keyakinan. “Aku tak bisa hidup dengan wanita yang tak kucintai. Jangan pernah ragukan itu.”
Kemala terdiam. Dadanya perih mendengar kalimat itu. Indah, sekaligus menyakitkan. Ia tahu Ardi mencintainya. Tapi bagaimana nanti, setelah ia dan Rima resmi menikah? Akankah cinta itu tetap sama?
Kemala memejamkan mata, menahan air bening yang nyaris jatuh. Dalam hatinya ia berbisik, “Andai suatu hari kau berpaling… aku akan belajar mengikhlaskan, meski perih. Asal kau bahagia, aku rela. Kau sudah terlalu banyak berkorban untukku. Terima kasih, Ardi…”
Dalam pelukan hangat itu, Kemala tersenyum tipis. Senyum yang tak lagi rapuh. Senyum seorang perempuan yang sudah memilih untuk tetap bertahan, seberat apa pun jalan di depannya.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
TIIINNN!!!
CKKIITTT!!!
“Akh!”
Kevia terperanjat. Ketika menoleh, matanya menangkap kilatan lampu depan mobil yang melaju cepat ke arahnya. Jaraknya terlalu dekat. Dunia seakan berhenti sejenak.
To be continued
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments
Fadillah Ahmad
Kenapa Kok di Sebut Buah hati Kak Nana? Apakah Hati Bisa Berbuah? Kok di Sebut Buah Hati kak Nana?
2025-08-21
2
Fadillah Ahmad
Jangan Terlalu Percaya diri dulu Ardi,nanti Kayak Si Kian lagi,katanya ia nggk akan mencintai Kanaya,eh tiba-tiba malah Mencinati,bahkan Memiliki Anak Pula. Jadi Jangan Terlalu Percaya diri bung...
2025-08-21
1
Cicih Sophiana
semoga Ardi tdk akan mencintai Rima... walau Rima sdh memberikan apa pun itu... cinta dan kedudukan cinta Ardi hanya untuk Kemala tergoyahkan... apa mungkin? mungkin aja sih tergantung kak Nana😁
2025-08-25
1