Hamil Anak Sang Pewaris
Pagi itu, London berdandan seperti biasa. Musim panas menyinarinya dengan kehangatan yang lembut, membuat kota itu tampak memesona. Di tengah hiruk pikuk, Laura Clarke, seorang wanita berusia dua puluh empat tahun, bergegas menyusuri trotoar yang ramai menuju halte bus.
Kabar baik datang menghampirinya: tawaran pekerjaan paruh waktu di salah satu hotel bintang lima ternama di kota itu. Hotel itu sedang bersiap mengadakan pesta mewah yang akan dihadiri oleh para elite London.
Kesempatan emas! Dengan langkah penuh semangat, Laura bergegas menuju hotel itu. Bukan hanya sekadar pekerjaan, ini adalah harapan. Uang tambahan itu akan sangat berarti untuk membayar utang yang ditinggalkan ayahnya sebelum meninggal.
Aroma kopi dari kedai di seberang jalan dan suara lalu lalang kendaraan bercampur menjadi simfoni kota yang khas. Laura menarik napas dalam-dalam, merasakan semangat baru membara dalam dirinya. Hari ini, seperti biasa ia akan bekerja keras.
*
Sesampainya di hotel megah itu, Laura langsung diantar menuju bagian belakang, sebuah labirin lorong yang hanya diketahui oleh para staf. Di sana, di sebuah ruangan kecil yang pengap dengan aroma sabun dan disinfektan, kepala pelayan—seorang wanita berwajah tegas dengan rambut disanggul ketat—sudah menunggunya. Sorot matanya yang tajam menelisik Laura dari ujung kepala hingga kaki, seolah menilai kelayakannya.
"Laura, ganti pakaianmu dengan seragam ini," ucap kepala pelayan itu dengan suara tanpa emosi, menyerahkan setelan seragam pelayan berwarna abu-abu. "Kau akan mengikuti Janet saat bekerja. Dia yang akan memberikan tugasmu hari ini."
"Baik," jawab Laura, berusaha menyembunyikan kegugupan yang mencengkeram hatinya. Ia menggenggam seragam itu erat-erat, merasakan kain kasar di telapak tangannya. Janet, seorang wanita muda dengan senyum ramah dan mata yang berbinar, menyambutnya dengan anggukan. Laura mengikuti Janet menyusuri lorong-lorong hotel, jantungnya berdebar-debar seiring langkahnya. Ia berusaha mencerna setiap detail: suara gemerincing peralatan makan dari restoran, aroma parfum mahal dari lobi, dan tatapan penasaran dari beberapa staf yang berpapasan dengan mereka.
Saat Janet mulai memberikan instruksi, Laura berusaha fokus dan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. Ia mengepel lantai hingga mengkilap, membersihkan kamar mandi hingga setiap sudutnya berkilau, dan menata tempat tidur dengan rapi.
*
Selama hari itu, Laura bekerja tanpa kendala berarti. Meskipun tubuhnya terasa remuk redam, semangatnya tak surut sedikit pun.
Hingga malam tiba, gemerlap pesta masih berlangsung di hotel mewah itu. Denting gelas, alunan musik, dan tawa riang menggema di setiap sudut. Jam kerja Laura akhirnya usai. Dengan wajah lelah namun puas, ia berjalan menuju ruang ganti untuk bersiap pulang.
Saat menyusuri lorong hotel yang mulai sepi, tiba-tiba Janet memanggilnya. "Laura!"
"Ya?" jawab Laura, menoleh ke arah Janet yang tampak tergesa-gesa.
"Maafkan aku," ucap Janet dengan nada menyesal. "Aku tahu ini sudah jam pulangmu, tapi bisakah kau mengantar makanan ke kamar 1145? Semua orang sedang sibuk, dan aku juga harus mengurus sesuatu. Tamu itu akan membayarmu jika kau mengantarkan makanan ini ke kamarnya."
Laura terdiam sejenak. Sebenarnya ia ingin segera beristirahat, tetapi tawaran uang tambahan itu cukup menggiurkan. "Baiklah," jawabnya akhirnya.
"Hanya mengantarkannya saja," lanjut Janet. "Setelah itu, kau langsung keluar, tak perlu menunggu sampai tamu menghabiskan makanannya."
"Aku mengerti," jawab Laura.
Laura bergegas menuju dapur hotel yang ramai. Aroma masakan yang menggugah selera menyeruak di udara, bercampur dengan suara dentingan peralatan masak dan obrolan para koki. Di tengah kesibukan itu, seorang koki pria berwajah serius menghampirinya.
"Kau yang akan mengantar makanan ini?" ucap koki itu tanpa basa-basi, menunjuk ke arah troli makanan yang sudah tertata rapi.
"Iya," jawab Laura singkat.
"Sampai di depan pintu kamar, akan ada pria yang menunggu. Kau akan diberikan uang sebelum masuk ke dalam kamar tamu tersebut," lanjut koki itu, lalu berbalik melanjutkan pekerjaannya.
Laura sedikit terkejut mendengar perkataan koki itu. Biasanya, tamu akan memberikan tip setelah makanan diantarkan. Namun, ia tidak terlalu memikirkannya. Mungkin ini adalah kebijakan khusus dari hotel untuk tamu-tamu tertentu.
Dengan sedikit ragu, Laura mendorong troli makanan itu menuju kamar 1145. Lorong-lorong hotel tampak semakin sunyi dan remang-remang. Suara roda troli yang berderit memecah kesunyian malam. Jantung Laura berdegup sedikit lebih kencang, namun ia berusaha menenangkan diri.
Tak ada kecurigaan sama sekali di benaknya. Ia hanya berpikir bahwa ini adalah pekerjaan biasa yang sering dilakukan oleh para pelayan di hotel tersebut. Ia membayangkan uang tip yang akan ia terima, dan senyumnya mengembang.
*
Saat lift berdenting menandakan tiba di lantai kamar 1145, Laura melangkah keluar dan langsung mendapati seorang pria bertubuh besar, tampak seperti pengawal, berdiri tegak di depan pintu kamar yang ia cari. Pria itu berwajah garang dan sorot matanya tajam, membuat Laura sedikit gugup. Namun, ia berusaha bersikap tenang dan mendekati pria itu dengan senyum profesional.
"Ini bayaranmu. Segera pergi setelah mengantar makanan tersebut," ucap pengawal itu dengan suara berat, menyerahkan beberapa lembar uang kertas tanpa menatap Laura.
Laura hanya mengangguk, menerima uang itu dengan tangan sedikit gemetar. Setelah itu, ia memberanikan diri mengetuk pintu kamar. Tak lama kemudian, terdengar suara pria dari dalam yang menyuruhnya masuk.
"Ceklek..."
Laura membuka pintu dan perlahan melangkah masuk ke dalam kamar mewah itu. Sebagai seorang pelayan, ia sudah sering membersihkan kamar-kamar di hotel ini. Namun, kamar yang sekarang ia masuki terasa berbeda dari yang lain.
Lampu penerangan di kamar itu sangat minim, menciptakan suasana yang remang-remang dan gelap. Seketika, bulu kuduk Laura meremang. Ia merasakan hawa dingin yang aneh menyelimuti tubuhnya.
Laura merasa tidak nyaman. Ia ingin segera menyelesaikan tugasnya dan keluar dari kamar ini secepat mungkin.
Sesosok pria muncul dari balik bayangan, wajahnya nyaris tak terlihat jelas karena minimnya cahaya di kamar itu. Namun, aroma parfum mahal yang menenangkan menguar di udara, menandakan kehadirannya yang semakin mendekat.
Saat pria itu semakin dekat, Laura dapat melihat sepasang mata cokelat yang tajam menatapnya dengan dingin. Mata itu seolah menelanjanginya, membuatnya merasa sangat kecil dan tidak berdaya. Laura menelan ludahnya, merasa terintimidasi oleh tatapan mata pria itu. Jantungnya berdegup kencang, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.
"Apa yang kau lihat?" ucap pria itu dengan suara dingin yang menusuk.
Laura tersentak kaget, tersadar dari lamunannya. "Maaf, saya akan keluar sekarang," ucapnya gugup, berbalik hendak meninggalkan kamar itu secepat mungkin.
"Tunggu," perintah pria itu dengan nada tegas. "Jangan keluar sebelum aku menyuruhmu."
Langkah Laura terhenti. Ia membeku di tempatnya, tidak berani bergerak sedikit pun. Dengan ragu, ia berbalik dan berdiri di tempatnya dengan kepala tertunduk, menunggu perintah selanjutnya dari pria misterius itu.
*
Pria itu duduk dengan anggun di kursi, lalu mulai menyantap makanan yang dibawa oleh Laura. Ia mengambil beberapa suap dengan tenang, seolah tidak ada seorang pun di ruangan itu selain dirinya. Laura hanya bisa berdiri terpaku, menundukkan kepala dan menunggu pria itu selesai makan.
Namun, tiba-tiba pria itu berhenti mengunyah. Wajahnya berubah menjadi merah padam, dan matanya memancarkan kemarahan yang membara. Ada rasa aneh yang tidak seharusnya ada di dalam makanan itu. Sesuatu yang tidak beres.
Dengan gerakan cepat, pria itu berdiri dan berjalan mendekati Laura. Ia mencengkeram leher Laura dengan kasar, membuat gadis itu terkejut dan ketakutan. Laura berusaha melepaskan diri, namun cengkeraman pria itu terlalu kuat.
"Apa yang kau masukkan ke dalam makananku? Siapa yang menyuruhmu?" ucap pria itu dengan suara menggelegar, wajahnya dipenuhi emosi. Tangannya semakin kuat mencengkeram leher Laura, membuatnya sulit bernapas. Laura meronta-ronta, mencoba mengatakan sesuatu, namun suaranya tercekat di tenggorokan. Ia merasa seperti sedang dicekik oleh monster yang mengerikan.
Air mata mulai mengalir di pipi Laura. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia hanya seorang pelayan yang mengantarkan makanan. Ia tidak tahu apa-apa tentang rasa aneh di dalam makanan itu. Ia hanya korban dari situasi yang mengerikan ini. Ia takut, bingung, dan putus asa. Ia merasa hidupnya akan segera berakhir di tangan pria yang marah ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments