Jam kerja berakhir, Kody keluar dari ruangannya. Di luar, Alex sudah siap menunggunya, setia mengantar pulang sang pemimpin.
Mereka berdua berjalan menuju lift, turun ke lantai basement tempat mobil mewah Kody terparkir.
Alex membukakan pintu mobil untuk Kody, yang tampak sedikit lelah dengan beban pekerjaan hari ini.
"Apa Anda akan langsung pulang, Tuan?" tanya Alex, mencoba membaca suasana hati atasannya.
Kody mengabaikan pertanyaan itu. "Kau sudah menyuruh seseorang untuk mengawasi Laura Clarke?" tanyanya dengan nada datar.
"Sudah, Tuan. Hari ini Laura hanya diam di apartemennya. Dia hanya keluar sekali untuk membeli makanan, lalu kembali lagi," jawab Alex, memberikan laporan singkat.
Kody terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada yang tak terbantahkan, "Kita pergi ke tempat tinggalnya sekarang."
"Ya? Ke apartemen Laura, Tuan?" tanya Alex, terkejut dan sedikit ragu. Ia takut salah mendengar perintah atasannya.
Kody menoleh, menatap Alex dengan tatapan tajam. "Apa perlu aku mengulang kalimat yang sama?"
"Baik, saya mengerti," ucap Alex cepat, lalu menjalankan mesin mobil. Dengan cekatan, ia membelah jalanan kota, menuju ke lokasi apartemen Laura.
*
Di sebuah apartemen kumuh di pinggiran kota London, Laura meringkuk di antara selimut lusuhnya.
Cahaya matahari yang masuk melalui jendela yang retak tidak mampu menghangatkan tubuhnya yang menggigil.
Ia tidak pergi bekerja hari ini. Tubuhnya terasa remuk, bukan hanya karena sakit fisik, tapi juga karena luka yang menganga di hatinya akibat kejadian semalam di hotel.
Bayangan malam itu terus menghantuinya, berputar-putar seperti mimpi buruk yang tak berujung.
Ia mencoba memejamkan mata, berharap bisa melupakan semuanya, tapi yang ada hanya kilasan-kilasan adegan yang membuatnya mual dan jijik.
Dirinya bahkan tidak tahu nama pria yang sudah merenggut kesuciannya malam itu.
Wajahnya kabur, hanya menyisakan rasa sakit dan trauma yang mendalam. Sebuah mimpi buruk yang akan selalu membekas dalam hidup Laura.
Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Ia merasa kotor, hina, dan tak berharga.
Namun, di tengah keputusasaan itu, secercah harapan muncul. Ia tidak boleh menyerah. Ia harus tetap tegar dan mulai membenahi diri untuk melanjutkan hidupnya.
Dengan susah payah, Laura bangkit dari tempat tidur. Ia berjalan menuju kamar mandi, menatap dirinya di cermin.
Wajahnya pucat, matanya sembab, tapi ada tekad yang membara di sana. Ia akan bangkit dari keterpurukan ini. Ia akan membuktikan bahwa dirinya lebih kuat dari apa yang telah terjadi.
*
Sore ini, Laura memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya yang masih terasa sakit.
Ia berbaring di sofa usang, mencoba menenangkan pikirannya yang terus dihantui bayangan malam kelabu itu. Keheningan apartemen yang sempit itu memberinya sedikit ketenangan.
Tiba-tiba, suara ketukan kuat dan kasar mengagetkannya. Jantung Laura berdegup kencang.
Ia merasa sudah tahu siapa yang datang ke apartemennya dengan mengetuk pintu sekeras itu.
Dengan malas, Laura bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada beban besar yang menghimpit dadanya.
Ceklek...
Dua pria berwajah menakutkan berdiri di depan pintu apartemen Laura. Aura intimidasi terpancar dari mereka, membuat Laura semakin menciut.
"Kau berada di rumah ternyata, Laura. Aku kira kau sudah kabur," ucap salah satu pria yang memiliki bekas luka mengerikan di pipinya. Suaranya serak dan mengancam.
Laura, dengan wajah datar yang menyembunyikan ketakutan, memberikan sebuah amplop putih kepada pria itu. "Ini bayaran bulan ini," ucapnya lirih, menyerahkan uang untuk membayar utang yang ditinggalkan ayahnya sebelum meninggal.
"Kau mendapatkan uang lebih cepat daripada sebelumnya," ucap pria itu sambil tersenyum sinis saat menghitung uang tersebut. Matanya berbinar melihat tumpukan uang di tangannya.
Laura hendak menutup pintu apartemennya, namun pria itu menahannya dengan kedua tangannya yang besar dan kasar.
"Ini saranku. Jika kau mau, aku bisa mengenalkanmu dengan pria-pria tua kaya. Agar kau tak perlu bekerja keras untuk membayar utang ayahmu. Sangat disayangkan wajah dan tubuh indahmu tidak kau manfaatkan untuk hal yang bisa membuat hidupmu lebih baik," ucap pria itu dengan nada merendahkan.
BRAK...
Suara pintu apartemen yang dibanting menutup menggema di ruangan sempit itu. Laura menutup pintu dengan kuat, berusaha mengusir bayangan menjijikkan pria itu dari benaknya.
"Kalau kau berubah pikiran, hubungi aku, Laura!" teriak pria itu dari luar apartemen Laura. Suaranya terdengar mengejek dan merendahkan.
Laura bersandar di pintu, tubuhnya gemetar. Air mata kembali mengalir di pipinya. Ia merasa jijik dan marah pada dirinya sendiri. Kenapa hidupnya harus seperti ini?
*
Di sisi lain, Kody dan Alex yang sedang berjalan di lorong gedung menuju apartemen Laura mendengar percakapan pria itu dengan Laura. Suara-suara kasar dan merendahkan itu membuat rahang Kody mengeras.
Ia menghentikan langkahnya saat melihat kedua pria itu tersenyum menyeringai berjalan keluar setelah menerima uang dari Laura. Tatapan Kody berubah menjadi dingin dan mematikan.
Lorong apartemen yang sempit membuat kedua pria itu tidak bisa lewat karena terhalang oleh Kody dan Alex yang berdiri di tengah lorong tersebut. Mereka berdua tampak kesal dan tidak sabar.
"Shit... tidak bisakah kalian minggir?" ucap salah satu pria dengan nada kasar, merasa jalannya terhambat.
Kody mengabaikan pertanyaan itu. "Berapa semua utang wanita itu?" ucap Kody dingin, menatap tajam kedua pria itu. Matanya memancarkan aura kekuasaan yang membuat kedua pria itu sedikit bergidik.
Kedua pria itu sedikit bersekutu melihat tatapan tajam Kody seakan mengintimidasi mereka. Mereka saling berpandangan, merasa tidak nyaman dengan kehadiran Kody.
"Siapa kau? Apa kau akan membayar semua utangnya?" ucap salah satu pria, mencoba bersikap berani meskipun ada sedikit keraguan dalam suaranya.
"Berapa semua utangnya?" ucap Kody dengan penuh penekanan. Suaranya rendah dan mengancam, membuat kedua pria itu semakin gugup.
Alex sedikit kaget dengan ucapan Kody, bosnya, yang menanyakan utang Laura. Ia punya firasat jika Kody akan membayar semua utang ayah Laura yang sudah meninggal.
"Jika termasuk dengan bunganya, semua menjadi satu juta dollar," ucap pria itu, menyebutkan angka yang fantastis.
"T-tunggu, kau... Kody Cappo?" ucap pria satunya lagi yang mengenal sosok Kody, suaranya bergetar ketakutan. Wajahnya pucat pasi saat menyadari siapa yang sedang berdiri di hadapan mereka.
"Kody? Kody seorang mafia itu?" ucap pria satunya lagi dengan nada panik.
Keduanya menatap Kody dengan wajah yang gugup dan ketakutan. Mereka tahu betul siapa Kody Cappo.
Kody Cappo bukan hanya dikenal sebagai pebisnis sukses di Eropa, namun ia juga dikenal sebagai mafia yang paling ditakuti. Kekuasaannya tak terbatas, dan siapa pun yang berani melawannya akan merasakan akibatnya.
"Alex, selesaikan utang Laura saat ini juga," perintah Kody dengan nada dingin yang menusuk tulang. Matanya masih menatap tajam kedua pria itu, seolah siap menerkam mereka kapan saja. "Dan kalian berdua, jangan pernah menampakkan wajah kalian lagi di hadapan Laura jika tidak ingin hidup kalian berakhir."
Kedua pria itu langsung menunduk ketakutan, tidak berani menatap mata Kody. Mereka tahu bahwa ancaman Kody bukanlah isapan jempol belaka. Kody Cappo adalah sosok yang kejam dan tidak mengenal ampun.
Alex, dengan sigap, membawa kedua pria itu keluar dari sana untuk menyelesaikan semua utang yang dimiliki Laura. Ia tahu bahwa Kody tidak main-main dengan ucapannya.
versi Asia
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments